Mohon tunggu...
Erwin Basrin
Erwin Basrin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas dan Bekerja di Akar Foundation

Aku ini adalah seseorang yang berharap menjadi jutaan rintik hujan yang turun di sore hari….Sebuah rintik hujan yang sederhana!!!, kesederhanaannya dalam menyapa, kesederhanaannya dalam memberikan kesejukkan dan kesederhanaannya dalan memainkan denting gerimisnya..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memahami Dualisme dan Ketegangan-ketegangan dalam Agama

21 November 2017   14:16 Diperbarui: 21 November 2017   14:45 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama Yahudi dalam pengertian ini juga bersifat totaliter dan demikian juga dengan agama Kristen. Bila kita melupakan hal ini, maka hal itu hanya dikarenakan oleh kenyataan bahwa sejak tahun-tahun pertama agama Kristen dipaksakan untuk mengakui otoritas hukum Romawi dan karena, ketika ia tampak memperoleh kemenangan melalui perjuangan panjangnya dengan feodalisme jermanik di abad pertengahan, ia terpaksa mendapatkan serangan dari dua musuh baru yang pantang kompromi yaitu humanisme dan sains.

Dan sainns itu sendiri semakin berkembang menjadi gagasan totaliter, setelah menghancurkan perlawanan agama dengan kerja samanya dengan humanisme dan liberalisme ekonomi. Bila boleh kita menilai dengan ramalan-ramalan untung-ruginya, totalitarianisme ilmiah itu memang benar-benar sedang mempersiapkan diri untuk menguasai dunia secara keras dan kejam melampui semua yang pernah dialami umat manusia selama ini. 

Tetapi, totalitarianisme dalam keyakinan agama hanya belenggu yang ringan dan mudah saja. Walaupun para pemegang otoritas agama itu "tidak jelas pemikirannya," setidak-tidaknya mereka mengakui nilai dan keperibadian setiap orang dan karenanya mereka memberikan kebebasan yang agak longgar. Dalam Islam, sebagaimana telah kita lihat, kebebasan ini dikembangkan lebih jauh dengan kelonggaran organisasi. Tetapi, seperti semua pemerintahan totaliter, ia berusaha mengawasi atau mencegah pengkomunikasian dan penyebaran "pemikiran-pemikiran yang membahayakan."

Ada baiknya kita memperhatikan secara lebih cermat berbagai implikasi dari konsep "pemikiran-pemikiran yang membahayakan" ini. Berbahaya terhadap apa? Terhadap nasib seseorang? Bagaimanapun juga, bila seseorang memilih untuk menghadapi resiko siksa di neraka, ia merupakan persoalan pribadinya. Taruklah, untuk memurnikan ajaran dan pembebasan umat, yang barangkali dapat dikatakan dalam bahaya karena adanya kerancuhan? Mungkin, tetapi ini agak kurang konsisten dalam masyarakat yang mengakui "konsensus" atau Ijmasebagai sesuatu yang bersifat normatif. 

Tetapi ketidaksamaan pendapat mengenai ajaran dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan, dan ini merupakan persoalan yang paling rumit untuk dipecahkan. Konsepsi yang menalandasinya adalah bahwa suatu kelompok masyarakat tidak dapat stabil bila ia tidak diwarnai dengan etika yang bersumber pada keyakinan agama yang benar. 

Etika itu tidak dapat stabil bila keyakinan agama itu tidak terbebaskan dari berbagai pengaruh ajaran yang menyimpang. Jadi, tidak hanya pelestarian etika yang lebih penting dari pada fleksibilitas dan keselarasan dalam masyarakat, tetapi ia merupakan satu-satunya syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berkembang ke arah yang benar, yaitu menuju integrasi sosial pada tingkatan yang lebih tinggi dan menuju kehidupan perorangan yang lebih berimbang.

Dalam menghadapi persoalan-persoalan etika dan lembaga-lembaga sosial, kita menyaksikan dorongan dari kalangan yang benar-benar pembaharu tetapi dilupuhkan sendiri oleh berbagai kontradiksi intelektual dalam dirinya dan diselewengkan oleh nafsu yang berlebih-lebihan sehingga membentuk dirinya menjadi apologetika3. 

Gambaran sederhananya begini, dalam sikap mental di kalangan hampir semua umat muslim terdapat unsur kuat yang barangkali bisa kita sebuat sebagai "bahan baku panteisme4," yang saya maksudkan disini  misalnya, adalah warisan animisme primitif, kepercayaan terhadap adannya roh-roh dan segala macam kekuatan gaib dan sihir. Meskipun di antara kepercayaan-kepercayaan dan ibadat-ibadat animistik ini secara tegas ditolak oleh Islam dan dinyatakan tidak termasuk bagian dari ajarannya, beberapa di antaranya mendapatkan pengakuan dan memberi jalan kepada penyembahan para wali, habib dan kepercayaan terhadap tingkatan wali-wali, yang memiliki kemampuan untuk berhubungan langsung dengan Allah di dunia ini, dan unsur-unsur sejenis lainnya, yang meresap masuk ke dalam pemikiran umat.

Saat ini pemikiran umat, banyak sekali makmum "panteisme" yang berpikir secara normatif dan apologetika. Mereka beranggapan bahwa norma yang dihasilkan pemikirannya bersifat absolut dan universal. Ini terutama terjadi dalam pemikiran yang menyeret-nyeret agama kedalam sistem sosial, politik, ekonomi dan bahkan pemikiran-pemikiran di bidang internal agamapun "panteisme" mendulang makmum. 

Pemikiran akulah yang benar karena itu harus diikuti. Dalam keadaan seperti ini, kita dengan mudah jatuh pada kebekuan dan kebuntuan pemikiran kita. Apa yang dinamis menjadi statis, apa yang cair dan dapat dibentuk, menjadi beku dan menutup terjadinya perkembangan. Semua pihak merasa dirinya paling benar.

Kesimpulan praktis dari tulisan sederhana ini adalah bahwa jalan menuju pemaduan "ketegangan" adalah meninjau kembali metode ilmiah yang mereka gunakan dan mencoba memperluas dan memperdalam jangkauannnya. Jalan itu justru sebaiknya dicari dalam revaluasi data pemikirannya melalui pengembangan pemikiran yang holistik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun