Mohon tunggu...
Erwin Basrin
Erwin Basrin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas dan Bekerja di Akar Foundation

Aku ini adalah seseorang yang berharap menjadi jutaan rintik hujan yang turun di sore hari….Sebuah rintik hujan yang sederhana!!!, kesederhanaannya dalam menyapa, kesederhanaannya dalam memberikan kesejukkan dan kesederhanaannya dalan memainkan denting gerimisnya..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memahami Dualisme dan Ketegangan-ketegangan dalam Agama

21 November 2017   14:16 Diperbarui: 21 November 2017   14:45 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada semua agama yang hidup pasti terdapat ketegangan. Penyebabnya terletak pada kesadaran beragama itu sendiri, sejalan dengan garis yang memisahkan antara Tuhan yang disembah dan umat yang menyembahnya, atau antar perasaan kesucian dan perasaan bedosanya. Semua agama menyatakan bahwa Tuhan berbeda dengan sesuatu yang lain. Tetapi pada saat yang sama, umat menyebahnya menyadari akan dekatnya Tuhan, dan ketidakmungkinannya untuk memisahkan antara ide tentang Tuhan dan pengalaman spiritual dirinya sendiri. 

Dalam pengalaman-pengalaman atau ibadat-ibadat pada setiap agama, yang merupakan ajaran dari para pendirinya, kedua unsur itu senantiasa berdampingan yang, sampai tingkatan tertentu, terpadu satu sama lain. Karena kedua unsur itu terpadu erat dalam pengalaman spiritual mereka, maka disitulah keduanya memperoleh kekuatan kreatif. 

Tetapi dalam kehidupan para pemeluk agama-agama tersebut timbul ketegangan. Secara parsial untuk sementara waktu, sebagian besar umat beragama akan cenderung mengikuti salah satu di antara kedua pilihan tersebut dan akan menyembah Tuhan yang lebih transendental1atau Tuhan yang lebih imanen. 

Di dalam Islam pun terdapat ketegangan seperti ini, di dalam Al Quran transedensi Allah dinyatakan berkali-kali secara mutlak sehingga kelihatan tidak memberi peluang sama sekali kepada ajaran imanensi. Namun demikian transedensi Tuhan yang tidak dapat dibayangkan ini tidak mengecualikan sifat-sifat cinta dan kehalusan yang dimiliki-Nya, dan karena itu Allah ada bersama-sama sedemikian rupa dalam kehidupan spiritual manusia sehingga dikatakan bahwa Allah "lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri."

Belakangan ini, saya melihat ada kecenderungan baru dalam pemikiran "gerakan" Islam untuk menampilkan ajaran-ajaran spekulatif dengan memaksakan argumen logika terhadap hal-hal yang bisa dikatakan terlalu jauh. Dengan memulai dari premis kongkrit yang ada, argumen tersebut diajukan dengan mengunakan qiyas atau silogisme. 

Pencampuradukan antara wacana religius mistis dan diskursus ideologis yang tidak suci mencapai efikasi mobilisasional maksimum dan pengaruh yang deskruktif terhadap penataan semantik masyarakat. Pencampuradukan ini menimbulkan inversi nilai-nilai yang bisa jadi menjadi sangat berbahaya. Secara sederhananya begini, membicarakan Tuhan dalam pegertian figur manusia yang, menalari Tuhan dengan pemikiran manusia. Kondisinya belum begitu bahaya jika dibandingkan dengan antroposofisme2, ajaran religio-politik yang perhatian dipusatkan pada manusia, bukan Tuhan.

Saya merasa bersalah bila berasumsi bahwa formulasi teologik mengenai ajaran Islam manapun secara pasti menunjukan realitas yang hidup dalam pemikiran dan pengalaman umat Muslim, walaupun saya sama sekali tidak akan mengingkarinya secara a priori. Memang bisa dikatakan, salah satu gambaran yang paling membingungkan dalam sistim ajaran Islam adalah bahwa hubungan antara formulasi lahiriah dan fungsi atau realitas batiniah sering merupakan hubungan yang sama sekali tidak langsung.

Ajaran Islam ortodoks tentang taqdir misalnya, dalam formulasi teologiknya diambil dari sederatan dalil logika yang dimaksudkan untuk mengemukakan imbauan paling kuat mengenai limitasi teoritik terhadap kemahakuasaan Allah dan dikuatkan dengan kecenderungan dominan walaupun sama sekali tidak bersifat ekslusif dalam ayat-ayat Al Quran yang berkaitan dengan masalah kebebasan kehendak. 

Ajaran ini pada umumnya disebut sebagai penyebab timbulnya apa yang disebut dengan jabariyyahatau "fatalisme muslim". Saya kira argumen lain bisa dikemukan untuk mendukung pendapat yang berlawanan dengannya yaitu qadariyyah, dan bagai manapun juga, fatalisme dikalangan muslim tidak berlaku sangat luas melampui apa yang terdapat di kalangan umat manapun. 

Dimana kemiskinan dan kebodohan menimbulkan sikap pasrah dalam menghadapi berbagai penyakit jasmani, bencana alam, dan tindakan kekerasan. Orang Muslim senatiasa memikirkan hari esok, dia berkeyakinan bahwa perbuatan-perbuatan yang dikehendakinya akan menimbulkan akibat-akibat yang dikehendeki pula.

Dan, Islam sejak lama digambarkan sebagai agama "totaliter." Tetapi semua gagasan keagamaan yang memberi bentuk kepada pandangan imajinatif dan kandungan pemikiran manusia dan yang menentukan perbuatan dari kehendak manusia secara potensial atau secara prinsipil bersifat totaliter. Gagasan-gagasan itu harus berusaha menerapkan pembakuan-pembakuan dan aturan-aturannya sendiri mengenai semua kegiatan dan lembaga sosial sampai dengan hukum dan pemerintahan. 

Agama Yahudi dalam pengertian ini juga bersifat totaliter dan demikian juga dengan agama Kristen. Bila kita melupakan hal ini, maka hal itu hanya dikarenakan oleh kenyataan bahwa sejak tahun-tahun pertama agama Kristen dipaksakan untuk mengakui otoritas hukum Romawi dan karena, ketika ia tampak memperoleh kemenangan melalui perjuangan panjangnya dengan feodalisme jermanik di abad pertengahan, ia terpaksa mendapatkan serangan dari dua musuh baru yang pantang kompromi yaitu humanisme dan sains.

Dan sainns itu sendiri semakin berkembang menjadi gagasan totaliter, setelah menghancurkan perlawanan agama dengan kerja samanya dengan humanisme dan liberalisme ekonomi. Bila boleh kita menilai dengan ramalan-ramalan untung-ruginya, totalitarianisme ilmiah itu memang benar-benar sedang mempersiapkan diri untuk menguasai dunia secara keras dan kejam melampui semua yang pernah dialami umat manusia selama ini. 

Tetapi, totalitarianisme dalam keyakinan agama hanya belenggu yang ringan dan mudah saja. Walaupun para pemegang otoritas agama itu "tidak jelas pemikirannya," setidak-tidaknya mereka mengakui nilai dan keperibadian setiap orang dan karenanya mereka memberikan kebebasan yang agak longgar. Dalam Islam, sebagaimana telah kita lihat, kebebasan ini dikembangkan lebih jauh dengan kelonggaran organisasi. Tetapi, seperti semua pemerintahan totaliter, ia berusaha mengawasi atau mencegah pengkomunikasian dan penyebaran "pemikiran-pemikiran yang membahayakan."

Ada baiknya kita memperhatikan secara lebih cermat berbagai implikasi dari konsep "pemikiran-pemikiran yang membahayakan" ini. Berbahaya terhadap apa? Terhadap nasib seseorang? Bagaimanapun juga, bila seseorang memilih untuk menghadapi resiko siksa di neraka, ia merupakan persoalan pribadinya. Taruklah, untuk memurnikan ajaran dan pembebasan umat, yang barangkali dapat dikatakan dalam bahaya karena adanya kerancuhan? Mungkin, tetapi ini agak kurang konsisten dalam masyarakat yang mengakui "konsensus" atau Ijmasebagai sesuatu yang bersifat normatif. 

Tetapi ketidaksamaan pendapat mengenai ajaran dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan, dan ini merupakan persoalan yang paling rumit untuk dipecahkan. Konsepsi yang menalandasinya adalah bahwa suatu kelompok masyarakat tidak dapat stabil bila ia tidak diwarnai dengan etika yang bersumber pada keyakinan agama yang benar. 

Etika itu tidak dapat stabil bila keyakinan agama itu tidak terbebaskan dari berbagai pengaruh ajaran yang menyimpang. Jadi, tidak hanya pelestarian etika yang lebih penting dari pada fleksibilitas dan keselarasan dalam masyarakat, tetapi ia merupakan satu-satunya syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berkembang ke arah yang benar, yaitu menuju integrasi sosial pada tingkatan yang lebih tinggi dan menuju kehidupan perorangan yang lebih berimbang.

Dalam menghadapi persoalan-persoalan etika dan lembaga-lembaga sosial, kita menyaksikan dorongan dari kalangan yang benar-benar pembaharu tetapi dilupuhkan sendiri oleh berbagai kontradiksi intelektual dalam dirinya dan diselewengkan oleh nafsu yang berlebih-lebihan sehingga membentuk dirinya menjadi apologetika3. 

Gambaran sederhananya begini, dalam sikap mental di kalangan hampir semua umat muslim terdapat unsur kuat yang barangkali bisa kita sebuat sebagai "bahan baku panteisme4," yang saya maksudkan disini  misalnya, adalah warisan animisme primitif, kepercayaan terhadap adannya roh-roh dan segala macam kekuatan gaib dan sihir. Meskipun di antara kepercayaan-kepercayaan dan ibadat-ibadat animistik ini secara tegas ditolak oleh Islam dan dinyatakan tidak termasuk bagian dari ajarannya, beberapa di antaranya mendapatkan pengakuan dan memberi jalan kepada penyembahan para wali, habib dan kepercayaan terhadap tingkatan wali-wali, yang memiliki kemampuan untuk berhubungan langsung dengan Allah di dunia ini, dan unsur-unsur sejenis lainnya, yang meresap masuk ke dalam pemikiran umat.

Saat ini pemikiran umat, banyak sekali makmum "panteisme" yang berpikir secara normatif dan apologetika. Mereka beranggapan bahwa norma yang dihasilkan pemikirannya bersifat absolut dan universal. Ini terutama terjadi dalam pemikiran yang menyeret-nyeret agama kedalam sistem sosial, politik, ekonomi dan bahkan pemikiran-pemikiran di bidang internal agamapun "panteisme" mendulang makmum. 

Pemikiran akulah yang benar karena itu harus diikuti. Dalam keadaan seperti ini, kita dengan mudah jatuh pada kebekuan dan kebuntuan pemikiran kita. Apa yang dinamis menjadi statis, apa yang cair dan dapat dibentuk, menjadi beku dan menutup terjadinya perkembangan. Semua pihak merasa dirinya paling benar.

Kesimpulan praktis dari tulisan sederhana ini adalah bahwa jalan menuju pemaduan "ketegangan" adalah meninjau kembali metode ilmiah yang mereka gunakan dan mencoba memperluas dan memperdalam jangkauannnya. Jalan itu justru sebaiknya dicari dalam revaluasi data pemikirannya melalui pengembangan pemikiran yang holistik. 

Hanya pemikiran holistiklah yang dapat mengembalikan kelenturan yang dituntut  oleh tugas ini, demi keberhasilannya dalam membebaskan pandangan gerakan nalar abadi dari kelusuan, penafsiran-penafsiran yang berhenti, dan tambahan disana-sini karena campur tangan perangkat dan kehendak manusiawi. 

Dengan demikian hanya, pemikiran sejarahlah yang mengajarkan kepada manusia atas tindakan yang benar sesuai dengan keluhuran martabat dan kahalusannya, yang dapat menjinakan kecongkakan teologis dan ilmiahnya. Ini bukanlah proses yang mudah dilakukan, atau senantiasa merupakan proses yang menyenangkan. 

Pengalaman menunjukan betapa mendalamnya unsur emosi mempengaruhi semua pemikiran kita, betapa ia senantiasa menganggu upaya dan penilaian kita terhadap berbagai fakta, betapapun ketatnya kita berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya, dan betapa ampuhnya ia membelokkan perhatian kita kepada sesuatu yang tidak ingin kita lihat. 

Jika meminjam Karl Mannheim, dalam sejarah umat manusia belum pernah ada yang mampu mempertahankan suatu tingkatan budaya yang pernah dicapainya tanpa menjaga kesinambungannya dengan para pengemban warisan kultural sebelumnya dan dengan cara-cara mereka untuk merasionalisakan dan meningkatkannya.

Akhirnya, dari ketegangan-ketegangan yang terjadi dapatkah kita mengamati petunjuk-petunjuk atas adanya gerakan dalam pemikiran Islam dan agama ke arah yang lebih baik? Memang petunjuk itu sedikit sekali, tetapi ada. Tetapi yang tidak ingin kita lihat berapa di permukaan, kalangan ortodoks tampaknya tengah mengerahkan kemampuan mereka untuk merumuskan suatu ajaran, stigmatisasi atas pribumi, non muslim, 212 dan seterusnya bisa jadi sebagai implementasi "panteisme." 

Namun, karena kekakuan dan tuntutannya untuk berkompromi dengannya, ternyata bertentangan tidak hanya dengan pandangan revolusioner dari para "pembaharu" tetapi juga bahkan bertentangan dengan watak tradisi Islam yang penuh toleransi. Tetapi boleh jadi ekses dari formalitas kaum ortodoks ini sendiri merupakan suatu tanda yang mengkhawatirkan. 

Sehingga, kita harus membuang kerangka dualistik pengetahuan yang menjebak nalar melawan imajinasi, sejarah melawan mitos, benar melawan salah, baik melawan buruk dan akal melawan iman. Kita harus mempostulasikan corak rasionalitas yang berubah dan menyambut baik, corak rasionalitas yang konsisten dengan operasi-operasi psikologis yang oleh Al Quran di tempatkan di dalam kalbu dan yang oleh antropologi kotemporer dicoba untuk diperkenalkan kembali di bawah label citra.  

1Transenden, berasal dari bahasa Latin Transcendere adalah kondisi berada di luar lawannya adalah imanen, dalam metafisika dan teologi, Tuhan dikataakan transenden dalam hal sempurna, tidak dapat dipahami, jauh dari alam dan tidak terikat dengan manusia biasa.  

2Antroposopfisme adalah sistem ajaran religio-politik, terdiri dari berbagai macam unsur, termasuk neo-teosifi, reinkarnasi, okultisme (simbolisme warna-warna).

3Apologi atau apologetika yaitu ucapan atau tulisan untuk membela diri, dalam ilmu agama apologi dimaksudkan sebagai usaha untuk membuktikan bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang lain bahwa agamanyalah yang baik.

4Panteisme dalah kepercayaan yang menyataan bahwa segala sesuatu adalah tuhan atau tuhan adalah segala sesuatu, yakni memasukkan segala sesuatu ke dalam tuhan dan mengingkari personalitas kepada tuhan atau sesuatu yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun