Mohon tunggu...
Tia Sulaksono
Tia Sulaksono Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Random writer, suka menulis apapun. Buku solo: Petualangan Warna-Warni (kumpulan cerpen anak), JERAT KELAM (antologi cerpen horor). Dan 17 buku antologi puisi dan cerpen.

Perempuan biasa yang terbuat dari bahan organik tanpa pemanis buatan. Hanya ingin dikenal melalui karyanya. Betina misterius dan keras kepala. Jangan panggil bu, karena bukan ibu-ibu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mobil Besar yang Melintas dan Debu-Debu

30 September 2024   17:25 Diperbarui: 30 September 2024   17:49 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marwi akan terus mengingat percakapan malam itu. Malam yang membuatnya tiba-tiba kehilangan ibu. Entah bagaimana ceritanya, bangun tidur tubuhnya terasa panas. Tak jauh darinya, api berkobar dengan bunyi memilukan. Sebelum tubuhnya diangkat oleh bapak kepala desa, sekilas tampak bayangan sang bapak menjauh.

Marwi menghela napas dengan berat ketika mengingat semua itu. Mata Marwi kembali mengamati tiga deret rak buku yang akhir-akhir ini sudah mulai penuh. Mereka, buku itu, adalah ibu baginya. Selembar ibu yang memeluk hatinya saat terluka.

Kakinya melangkah pelan ke arah deretan rak. Debu masih meliuk di antaranya. Mobil besar pun masih gaduh di luar sana, meski hujan makin deras. Kini debu-debu kecil itu semakin nyata membentuk kepala kemudian rambut, lengan, kaki, hingga akhirnya seluruh tubuh secara utuh yang bisa ia sentuh.

"Ibu, Kau datang. Akhirnya datang menjemputku. Aku lelah menunggu. Dokter-dokter itu hanya memberiku harapan palsu. Lihat ini!" Marwi memasukkan tangan kirinya ke dalam saku meraih beberapa butir monoamine yang dikemas dalam tabung kecil. Ia menunjukkan ke bayangan ibunya, lalu membantingnya ke lantai. Sedetik kemudian ia menghambur ke pelukan sang debu serupa ibu dan menumpahkan tangis.

***

"Saya bisa membayangkan di lokasi ini akan berdiri sebuah cafe tematik yang pasti ramai pengunjung dari segala usia nantinya," kata seorang lelaki berkemeja rapi. Matanya tak lepas mengamati mobil-mobil besar yang hilir mudik membawa bahan material dan sebagian dari yang hilir mudik itu adalah mobil penghancur.

Sebuah mobil lain datang dengan bak terbuka untuk mengangkut perabotan yang tersisa. Meja kursi lapuk, rak buku yang sebagian dimakan rayap, komputer tua penuh sarang laba-laba, dan tentu saja buku-buku usang tak berbentuk. Kesemuanya dimasukkan sekenanya ke bak belakang mobil.

"Tunggu!" Tiba-tiba seorang pekerja berteriak menarik perhatian pria berkemeja rapi. Mata pekerja itu menatap satu titik, di mana tadinya terletak rak kayu yang roboh. "Rumah bekas perpustakaan tua ini ternyata ada orangnya," lanjut pekerja tersebut dengan cemas di antara bunyi dinding dan atap yang runtuh menimpa bumi.

***

Berita yang tersiar di surat kabar online: seorang pustakawan yang bulan lalu dinyatakan hilang, ditemukan tak bernyawa, sedang memeluk buku saat perobohan gedung tua yang rencana akan didirikan cafe kekinian. Beberapa butir obat yang disinyalir sebagai anti depresan dosis tinggi tergeletak tak jauh darinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun