Mohon tunggu...
Tia Sulaksono
Tia Sulaksono Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Random writer

Perempuan biasa yang suka menulis apapun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mobil Besar yang Melintas dan Debu-Debu

30 September 2024   17:25 Diperbarui: 30 September 2024   17:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain dengan Canva (dokumen pribadi TiSu)

Ada mobil besar melintas di depan perpustakaan. Mobil itu menderu-deru meminta perhatian. Suaranya bersahut-sahutan bersama gemuruh guntur awal musim hujan. Debu sisa musim kemarin beterbangan, berhimpitan masuk ke dalam ruangan meninggalkan sesak. Debu itu meliuk-liuk samar merupa bentuk.

Marwi terbatuk sejenak. Pandangannya tegak lurus penuh harap pada mobil besar. Mungkin saja mobil itu membawa banyak buku untuk perpustakaan kecilnya. Atau mungkin mengangkut pemustaka yang haus akan aksara.

Ia banyak berharap pada mobil besar itu. Ia bahkan berharap pada debu beterbangan yang mulai mewujudkan diri di depan matanya. Debu yang perlahan menyatu di tengah dua rak buku, menyerupai satu sosok yang ia kenal baik.

"Ibu!" pekik Marwi.

Buliran air mata tak mampu dibendungnya. Seperti sudah menjadi skenario sang pencipta, hujan akhirnya turun di luar sana. Air mata dan hujanpun berlomba menetes. Marwi mengerang lirih. Otaknya terasa membeku. Entah karena hawa dingin dari guyuran derasnya hujan ataukah efek obat yang bergelayut di sakunya -- sebutir sudah ia telan. Marwi menepuk pipinya sekali. Kesadaran adalah hal penting saat ini. Padahal tak satupun yang bisa ia pikirkan. Bentukan debu itu masih meliuk di hadapannya.

"Ayolah jangan seperti ini," bisiknya pada diri sendiri. Ia masih setengah tak percaya dengan debu yang meliuk-liuk tadi.

Pandangannya beralih pada deretan tulisan dalam komputer kotrek di hadapannya -- komputer turun temurun warisan kepala desa ini dulu, ketika Marwi mengajukan proposal pendirian perpustakaan. Begitupun penamaan kotrek sendiri yang ia dengar dari pendahulunya, pendahulu dari pendahulunya juga. Entah apa artinya, abaikan saja.

Yang jelas mata berkaca minus itu makin tertutup kabut. Tangan kurusnya mengusap sejenak butiran yang masih meleleh pelan di pipi. Sebaris tulisan yang ia ketik, timbul tenggelam dalam pandangannya. Memudar. Sedangkan daftar rencana pengadaan buku dan kodefikasi belum setengahnya ia kerjakan.

Perpustakaan yang ia dirikan memang kecil, tapi bagi Marwi aktivitas di dalamnya cukup menyita waktu. Seluruh isi ruangan ia perlakukan dengan sangat baik. Buku ia tata rapi, kertas terlipat diluruskannya pelan, dan rak ia bersihkan hingga sekat terkecil.. Ada beberapa coretan pensil tipis, ia hapus sebersih mungkin. Hah, pemustakalah yang paling membuatnya sibuk. Mereka mengambil buku, membacanya, dan meletakkan begitu saja seolah barang sudah tak berguna. Seandainya boleh memaki, Marwi ingin memaki mereka dengan julukan tak beradab. Namun ia sadar, tanpa mereka perpustakaan ini tak ada jiwanya.

Mereka tak pernah tahu betapa buku yang mereka tinggalkan di meja sekenanya, adalah harta berharga bagi Marwi. Ya, ia begitu mencintai buku-buku. Karena itulah dengan penuh perjuangan ia dirikan perpustakaan tersebut. Angan Marwi melayang pada masa kecilnya.

"Apakah orang kaya itu orang yang suka membaca?" tanya Marwi kecil pada ibunya.

Di bawah cahaya sentir, buku usang yang ia kumpulkan saat memulung, bertumpuk begitu saja. Tumpukannya tidak tinggi, kira-kira sekitar empat atau lima buku. Harta karun itu ia pungut ketika sedang memulung di komplek orang kaya.

Seorang wanita berbaju seadanya duduk di sebelah tumpukan buku. Tangannya sibuk melipat kardus. Kardus itu akan dijualnya esok pagi.

"Orang yang kelak akan kaya, adalah orang yang rajin belajar, juga suka membaca buku pengetahuan," sahut ibunya lembut. Tangannya cekatan membersihkan kemudian melipat sesuai jejak lipatan pada kardus bekas.

"Aku akan banyak membaca. Biar menjadi kaya."

Marwi mengepalkan tangan kecilnya sebagai bentuk janji untuk terus mencari ilmu. Ia akan bertindak sesuai namanya, Marwito. Menurut cerita sang ibu, saat melahirkan Marwi, dibantu dukun beranak di kampungnya. Dukun beranak mengajak seorang pemuda kota. Pemuda yang bersama rombongannya sedang mengadakan bakti sosial itu, tiba tiba mengajukan nama untuk bayi Marwito. Ia pikir bayi itu adalah perempuan makanya diberi nama Marwita yang artinya mencari ilmu.

"Hanya ingin kaya?"

"Iya. Kenapa?"

"Kaya saja tidak cukup. Harta akan habis jika tak pandai mengelolanya. Baiknya jadilah pandai dan bijak."

Marwi mengangguk. Buku ia tutup. Hujan mulai deras. Ia cemas gubuknya banjir karena lantai tanahnya sudah becek. Ia bangkit membantu ibunya memindahkan kardus-kardus harta bendanya.

Dalam hati ia terus berdoa. Dalam doanya, ia menyelipkan harapan agar kelak menjadi orang pandai dan sukses. Ia ingin membahagiakan ibunya. Ia juga berharap ibunya selalu sehat dan mendampinginya meraih kesuksesan. Tak satupun doa terselip untuk bapaknya.

Marwi akan terus mengingat percakapan malam itu. Malam yang membuatnya tiba-tiba kehilangan ibu. Entah bagaimana ceritanya, bangun tidur tubuhnya terasa panas. Tak jauh darinya, api berkobar dengan bunyi memilukan. Sebelum tubuhnya diangkat oleh bapak kepala desa, sekilas tampak bayangan sang bapak menjauh.

Marwi menghela napas dengan berat ketika mengingat semua itu. Mata Marwi kembali mengamati tiga deret rak buku yang akhir-akhir ini sudah mulai penuh. Mereka, buku itu, adalah ibu baginya. Selembar ibu yang memeluk hatinya saat terluka.

Kakinya melangkah pelan ke arah deretan rak. Debu masih meliuk di antaranya. Mobil besar pun masih gaduh di luar sana, meski hujan makin deras. Kini debu-debu kecil itu semakin nyata membentuk kepala kemudian rambut, lengan, kaki, hingga akhirnya seluruh tubuh secara utuh yang bisa ia sentuh.

"Ibu, Kau datang. Akhirnya datang menjemputku. Aku lelah menunggu. Dokter-dokter itu hanya memberiku harapan palsu. Lihat ini!" Marwi memasukkan tangan kirinya ke dalam saku meraih beberapa butir monoamine yang dikemas dalam tabung kecil. Ia menunjukkan ke bayangan ibunya, lalu membantingnya ke lantai. Sedetik kemudian ia menghambur ke pelukan sang debu serupa ibu dan menumpahkan tangis.

***

"Saya bisa membayangkan di lokasi ini akan berdiri sebuah cafe tematik yang pasti ramai pengunjung dari segala usia nantinya," kata seorang lelaki berkemeja rapi. Matanya tak lepas mengamati mobil-mobil besar yang hilir mudik membawa bahan material dan sebagian dari yang hilir mudik itu adalah mobil penghancur.

Sebuah mobil lain datang dengan bak terbuka untuk mengangkut perabotan yang tersisa. Meja kursi lapuk, rak buku yang sebagian dimakan rayap, komputer tua penuh sarang laba-laba, dan tentu saja buku-buku usang tak berbentuk. Kesemuanya dimasukkan sekenanya ke bak belakang mobil.

"Tunggu!" Tiba-tiba seorang pekerja berteriak menarik perhatian pria berkemeja rapi. Mata pekerja itu menatap satu titik, di mana tadinya terletak rak kayu yang roboh. "Rumah bekas perpustakaan tua ini ternyata ada orangnya," lanjut pekerja tersebut dengan cemas di antara bunyi dinding dan atap yang runtuh menimpa bumi.

***

Berita yang tersiar di surat kabar online: seorang pustakawan yang bulan lalu dinyatakan hilang, ditemukan tak bernyawa, sedang memeluk buku saat perobohan gedung tua yang rencana akan didirikan cafe kekinian. Beberapa butir obat yang disinyalir sebagai anti depresan dosis tinggi tergeletak tak jauh darinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun