Hatiku terasa berdenyut. Aku harus apa setelah ini? Sementara wajah Vanilla tak sedikitpun hilang dari ingatan. Bahkan sekarang baunya mulai mengusik ketenanganku. Aroma biskuit panggang yang tajam.
"Saya datang lagi, Ki. Saya ingin menambah pesona kecantikan saya hingga makin banyak lagi lelaki yang jatuh cinta."
Terdengar suara merdu dari ruang praktik bapak. Entah karena rasa rindu yang membuncah ataukah aku sudah gila. Suara itu, seperti suara yang menyebutkan kata 'oh' dan 'terima kasih infonya'.
Tanpa sadar, kakiku bergerak ke arah sumber suara. Mengintip dari luar ruangan yang hanya dibatasi kelambu tipis. Seketika mataku melotot seolah ingin keluar dari cangkangnya setelah melihat pemandangan di dalam sana. Kurasa wajahkupun memucat.
Seorang gadis tampak mengiris jari tengahnya, yang lalu mengucurkan sedikit darah pada sebuah cawan. Tangan yang tak tergores masih saja sempat menyibakkan poninya. Mulutku tanpa sadar memanggil gadis itu lirih, "Vanilla." Aku melangkah mundur kemudian pergi dengan perasaan tak utuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H