Mohon tunggu...
Tia Sulaksono
Tia Sulaksono Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Random writer, suka menulis apapun. Buku solo: Petualangan Warna-Warni (kumpulan cerpen anak), JERAT KELAM (antologi cerpen horor). Dan 17 buku antologi puisi dan cerpen.

Perempuan biasa yang terbuat dari bahan organik tanpa pemanis buatan. Hanya ingin dikenal melalui karyanya. Betina misterius dan keras kepala. Jangan panggil bu, karena bukan ibu-ibu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Pucat Berkarat

12 September 2024   19:32 Diperbarui: 13 September 2024   12:20 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Jangan gagal lagi."


"Baik, Ki," sahut sang jin yang mampu kudengar.


Kali ini jin itu berjanji takkan gagal seperti dulu. Seketika ingatanku melayang pada sepuluh tahun lalu, ketika rumah kami kedatangan seorang gadis anak pejabat, katanya. Bapak memberi tugas peliharaannya untuk memikat seseorang. Dengan perantara sehelai rambut sang pria, gadis itu berharap si pujaan hati takluk kemudian mendatanginya saat malam Minggu tiba. Namun sayang, setelah ditunggu-tunggu yang datang cuma sapu. Memang salah si anak pejabat itu, mengapa terlalu percaya pada pembantunya yang malah memberikan sehelai sapu ijuk.


Rupanya jin bapak tak bisa membedakan mana sapu, mana rambut. Itulah mengapa kukatakan kalau ia bodoh. Bapakpun terus menerus menceritakan kegagalan itu di depanku seolah bercerita tentang naiknya harga sembako.


Huft hah. Sekarang aku tak berbeda dengan para tamu yang sering datang -- meminta tolong bapak untuk memikat seseorang. Berbekal foto yang kutemukan di media sosial Vanilla, kuharap jin itu berhasil membuat cinta pertamaku bertekuk lutut padaku. Ritualpun selesai, kulihat jin bapak menggenggam selembar foto di tangan berkerutnya.


"Aku harus menemukan manusia di foto ini," gumamnya sebelum ia melayang di antara atap rumah. Aku hanya mencebik, sedikit tak yakin.


Berhari-hari, berbulan-bulan, aku terus menunggu. Bapak tak memberi kabar. Dia sibuk dengan tamu yang kian banyak. Aku merasa tersisihkan. Apa bapak tak sungguh-sungguh menolongku? Apa karena aku tak membayar? Bukankah dukun itu bapakku.


"Maaf, Ki. Saya tidak mampu menemukan orang yang dimaksud den Tawang."


Aku bangkit dari tempat tidur ketika mendengar suara sosok yang kukenal. Jin itu telah kembali. Aku menajamkan telinga.


"Saya sudah berkeliling dari kampung ke kampung. Tak satupun wajah yang saya kenal. Wajah gadis-gadis itu beda semua sama yang di foto," lanjutnya dengan suara terdengar takut-takut. Pastilah ia takut jika bapakku menghukumnya.


Sepi. Aku tak mendengar suara bapak. Aku juga tak bisa melihat bagaimana reaksi bapak saat mendengar harapan anaknya pupus. Entah apa yang salah. Memang yang kulihat foto itu berbeda dengan aslinya. Mungkin inilah yang ramai disebut oleh para perempuan pemerah sapi sebagai foto dengan filter. Tapi jin bodoh itu, sungguh bodoh. Bagaimana sesosok jin tak mempunyai kemampuan untuk mengenali manusia yang menjadi targetnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun