Mohon tunggu...
Tia Sulaksono
Tia Sulaksono Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Random writer, suka menulis apapun. Buku solo: Petualangan Warna-Warni (kumpulan cerpen anak), JERAT KELAM (antologi cerpen horor). Dan 17 buku antologi puisi dan cerpen.

Perempuan biasa yang terbuat dari bahan organik tanpa pemanis buatan. Hanya ingin dikenal melalui karyanya. Betina misterius dan keras kepala. Jangan panggil bu, karena bukan ibu-ibu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Pucat Berkarat

12 September 2024   19:32 Diperbarui: 13 September 2024   12:20 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada betina terseduh di cangkir kopiku sore itu. Samar terlihat wajah terbungkus kulit kuning sederhana. Wajah yang tak secantik Irish Bella, tetapi mampu memutar balikkan duniaku. Dia berdiri, hanya berdiri. Sesekali bergerak menyibak rambut yang tak seberapa panjang. Gerakan itu meninggalkan aroma biskuit panggang yang menghampiri hidungku. Seketika dada ini serasa dihimpit berton-ton batu bata. Sesak.


Aku terpaku. Ingin menoleh ke arah sumber bayangan, kemudian berpikir jika kualihkan pandanganku, rupa jelita di cangkir bisa saja menghilang. Menit selanjutnya, kuberanikan diri menggerakkan kepala ke belakang. Seseorang yang bayangannya baru tercetak di cangkir, kini memenuhi mataku. Mulutku terbuka tertutup, ragu ingin menyapa.


"Kurasa kau lebih cantik tanpa ampas kopi yang mengelilingi." Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulut sialku.


Kedua tanganku segera membungkamnya agar tak keceplosan lagi. Kegugupan ini membuat otak tak terkendali. Mata gadis itu melotot bingung, menimbulkan percikan-percikan listrik menyengat seluruh nadiku. Aku membayangkan sesuatu terjadi dalam tubuhku. Gumpalan darah yang menuju jantung bersenggolan satu sama lain, mendorong jantungku ingin meloncat keluar. Gaduh sekali.


Sejenak aku menoleh kaca pembatas untuk menata rupa. Bukan kalangan pria tampan memang, tapi cukup rapi. Kujamin aku takkan memalukan jika diajak kondangan.


"Maaf, aku tadi melihat bayanganmu dalam cangkir kopiku." Kuharap kalimat klarifikasiku dapat dia mengerti.


Jarinya menyibak poni sambil berkata, "Oh."


Oh, hanya oh. Tak ada yang lain. Aku menatapnya, menunggu sesuatu keluar dari bibir berlapis merah jambu -- entah merah jambu ataukah fuschia gadis-gadis itu menyebutnya, aku tak paham.


"Namaku Tawang," ujarku tiba-tiba.


"Terima kasih infonya."


Alisku menaut. Perkenalanku tak bersambut. Gadis beraroma biskuit panggang menjauh lima meter dariku tanpa menyebutkan namanya. Gadis mahal, pikirku berbangga hati, hingga dua orang lelaki menyapanya dengan Vanilla, dan dia menyambut ceria.


Kuberalih memandangi kopi hitamku. Kosong. Jiwaku ikut kosong. Kini yang tercetak di sana hanya bayangan matahari sebulat telur ceplok. Betina tadi menyuguhkan pemandangan berbeda, perasaan juga. Haiku Matsuo Basho menggema di telinga. Seekor katak nyemplung ke kolam sunyi meninggalkan bunyi plung. Setelah katak pergi, kesunyian lebih terasa lagi. Seperti itu gambarannya.


Huft hah. Perasaan macam apa ini? Hidup di dunia selama 23 tahun tak pernah merasakan hal seaneh ini. Teringat akan cerita teman-teman dekatku kala jatuh cinta di masa putih biru. Ah, tak mungkin. Cinta itu hanya fatamorgana.


Cinta itu tidak ada, fatamorgana belaka selama bapakku adalah dukun. Hanya dengan membakar dupa, mulut komat kamit membaca mantra, dan menyembur sebuah foto, cinta dapat dihadirkan. Kemudian lenyap begitu saja ketika daya magisnya sudah hilang dan bapakku berhenti di bayar tentu saja.


Jin peliharaan bapakku takkan bekerja jika tak disuap -- jin yang menurutku bodoh karena beberapa kali gagal ketika diberi perintah. Semakin mahal harga mahar, makin lama cinta bertahta. Begitu kata-kata bapak yang sering kudengar.


Namun cinta tak pernah hadir menggetarkanku selama ini. Mungkin saja aku tak percaya akan keberadaannya. Mungkin saja ini karma -- balasan bapakku yang sering mempermainkan hati. Akhirnya hatiku mati suri.


Aku lebih memilih memanjakan sapi. Memijatnya dan memberikan mereka rasa bahagia sebelum diperah pemilik peternakan. Entah musim kawin keberapa yang kulewatkan, aku masih saja bercengkerama bersama para sapi.


Aku lelah menunggu rasa itu hadir. Daun ketelapun sudah mengeluarkan umbi. Dan sekarang lelaki berkarat ini merasa jatuh cinta -- mungkin. Bapak, bisakah menolong anakmu ini?


***


Aroma bebungaan menguar di antara kabut dini hari bercampur dupa. Menyelimuti dua mahluk yang kadang tampak, kadang tenggelam di balik putihnya asap. Aku memandang mereka dari jauh dengan hampa. Seperti sudah terbiasa melihatnya.


Bapakku seorang dukun sakti kata orang. Kesaktiannya tentu saja diturunkan padaku perlahan, secara sengaja ataupun tidak. Karena aku adalah anak satu-satunya. Untuk saat ini kemampuanku hanya melihat dan berkomunikasi dengan jin berbentuk menyeramkan itu.


"Jangan gagal lagi."


"Baik, Ki," sahut sang jin yang mampu kudengar.


Kali ini jin itu berjanji takkan gagal seperti dulu. Seketika ingatanku melayang pada sepuluh tahun lalu, ketika rumah kami kedatangan seorang gadis anak pejabat, katanya. Bapak memberi tugas peliharaannya untuk memikat seseorang. Dengan perantara sehelai rambut sang pria, gadis itu berharap si pujaan hati takluk kemudian mendatanginya saat malam Minggu tiba. Namun sayang, setelah ditunggu-tunggu yang datang cuma sapu. Memang salah si anak pejabat itu, mengapa terlalu percaya pada pembantunya yang malah memberikan sehelai sapu ijuk.


Rupanya jin bapak tak bisa membedakan mana sapu, mana rambut. Itulah mengapa kukatakan kalau ia bodoh. Bapakpun terus menerus menceritakan kegagalan itu di depanku seolah bercerita tentang naiknya harga sembako.


Huft hah. Sekarang aku tak berbeda dengan para tamu yang sering datang -- meminta tolong bapak untuk memikat seseorang. Berbekal foto yang kutemukan di media sosial Vanilla, kuharap jin itu berhasil membuat cinta pertamaku bertekuk lutut padaku. Ritualpun selesai, kulihat jin bapak menggenggam selembar foto di tangan berkerutnya.


"Aku harus menemukan manusia di foto ini," gumamnya sebelum ia melayang di antara atap rumah. Aku hanya mencebik, sedikit tak yakin.


Berhari-hari, berbulan-bulan, aku terus menunggu. Bapak tak memberi kabar. Dia sibuk dengan tamu yang kian banyak. Aku merasa tersisihkan. Apa bapak tak sungguh-sungguh menolongku? Apa karena aku tak membayar? Bukankah dukun itu bapakku.


"Maaf, Ki. Saya tidak mampu menemukan orang yang dimaksud den Tawang."


Aku bangkit dari tempat tidur ketika mendengar suara sosok yang kukenal. Jin itu telah kembali. Aku menajamkan telinga.


"Saya sudah berkeliling dari kampung ke kampung. Tak satupun wajah yang saya kenal. Wajah gadis-gadis itu beda semua sama yang di foto," lanjutnya dengan suara terdengar takut-takut. Pastilah ia takut jika bapakku menghukumnya.


Sepi. Aku tak mendengar suara bapak. Aku juga tak bisa melihat bagaimana reaksi bapak saat mendengar harapan anaknya pupus. Entah apa yang salah. Memang yang kulihat foto itu berbeda dengan aslinya. Mungkin inilah yang ramai disebut oleh para perempuan pemerah sapi sebagai foto dengan filter. Tapi jin bodoh itu, sungguh bodoh. Bagaimana sesosok jin tak mempunyai kemampuan untuk mengenali manusia yang menjadi targetnya.


Hatiku terasa berdenyut. Aku harus apa setelah ini? Sementara wajah Vanilla tak sedikitpun hilang dari ingatan. Bahkan sekarang baunya mulai mengusik ketenanganku. Aroma biskuit panggang yang tajam.


"Saya datang lagi, Ki. Saya ingin menambah pesona kecantikan saya hingga makin banyak lagi lelaki yang jatuh cinta."


Terdengar suara merdu dari ruang praktik bapak. Entah karena rasa rindu yang membuncah ataukah aku sudah gila. Suara itu, seperti suara yang menyebutkan kata 'oh' dan 'terima kasih infonya'.


Tanpa sadar, kakiku bergerak ke arah sumber suara. Mengintip dari luar ruangan yang hanya dibatasi kelambu tipis. Seketika mataku melotot seolah ingin keluar dari cangkangnya setelah melihat pemandangan di dalam sana. Kurasa wajahkupun memucat.

Seorang gadis tampak mengiris jari tengahnya, yang lalu mengucurkan sedikit darah pada sebuah cawan. Tangan yang tak tergores masih saja sempat menyibakkan poninya. Mulutku tanpa sadar memanggil gadis itu lirih, "Vanilla." Aku melangkah mundur kemudian pergi dengan perasaan tak utuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun