Seorang gadis dengan tahi lalat di lidahnya yang menjulur-julur, berjalan melintasi keramaian. Tahi lalat itu hitam bulat sempurna menyembul antara papila. Letaknya tepat di ceruk sulkus median. Konon menurut kabar yang terbawa angin, ia adalah putri sang angkara yang terlahir ketika bulan bulat merona.Â
"Gadis iblis," bisik seorang perempuan sembari terus membetulkan cepol rambutnya agar lebih tinggi.
"Lihatlah tatapan matanya!" sahut yang lain pada Mirah, perempuan bercepol tadi. Seperti biasa, jika ada sesuatu yang tak sesuai kelaziman penduduk desa, maka mulut-mulut akan menjadi lebih panjang.Â
"Mulutnya berbisa khas perempuan penggoda. Hati-hati suamimu, Rah." Dipanasi seperti itu, dada Mirah terbakar. Rambut cepolnya ia bongkar dan pasang lagi lebih tinggi, seolah hendak menunjukkan keangkuhannya.
"Kata kang Sapar dia tledhek desa Kedungmati." Mirah membuat suara lagi. Sementara tangannya sibuk mengemas barang belanjaan milik pelanggannya menggunakan keranjang kayu.
"Desa yang hilang itu?"Â
"Ya. Sepertinya dia juga tak makan makanan manusia." Dan cerita-ceritapun terus bergulir dengan tambahan bumbu perkiraan yang dilebihkan agar terdengar menarik. Selalu seperti itu.
Gadis itu bernama Srikanti. Tak seorangpun mengetahui dengan pasti dari mana asalnya. Semua informasi tentangnya hanyalah kabar burung. Srikanti datang bersama rombongan penari atau biasa disebut tledhek, yang menghibur di pendopo kademangan tiap Jumat malam.
Dalam setiap tarian Srikanti, mengundang angin. Angin itu meliuk di antara pepohonan lalu mematahkannya beberapa. Membuat dingin sekaligus panas suasana. Para lelaki akan betah berlama-lama memandangnya. Tak ada yang bisa lepas dari pesona Srikanti.
***