"Thur, ambil dulu kertasmu, jangan lupa bawa pulpen!"
Kalau sudah ada perintah seperti itu, saya sudah tahu apa yang akan kukerjakan selanjutnya. Menulis surat untuk adik-adik ibuku.
Sebagai anak yang paling besar, ibuku tidak pernah lalai berkirim kabar dan menanyakan kabar adik-adiknya. Ibuku tetap berupaya menjalankan tanggung jawabnya sebagai anak sulung dalam memperhatikan adik-adiknya, walau dengan hanya cara berkirim surat.
Saat itu, surat adalah sarana komunikasi satu-satunya yang bisa dilakukan. Tidak seperti sekarang, banyak pilihan.
Oh iya, sebagai informasi, ibuku memiliki enam saudara, hanya ibuku yang tinggal di Sumatera. Sementara yang lainnya tinggal di Pulau Jawa. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana rasanya kalau saatnya menulis surat sekaligus kepada semua adik-adik ibuku.
Nah, untuk urusan tulis menulis surat, saya selalu yang dipercaya ibu. Dan hal itu sudah saya lakoni sejak duduk di bangku SD hingga SMA. Saya tidak tahu mengapa saya yang selalu dipilih ibu untuk menulis surat tersebut.
Menurutku, ibuku memiliki kemampuan untuk mengenali potensi anak-anaknya dan bagaimana cara menggalinya.
Suatu waktu, saya coba protes. "Bu, kenapa saya melulu yang disuruh kalau urusan tulis menulis surat? Bukankah yang lain bisa?" Maksudnya, saudara-saudaraku yang lain.
Tahu apa yang terjadi? Ibuku tidak pernah sekalipun menggubris pertanyaanku. Ibuku hanya bilang, "Kalau mau cepat bermain, ayo segera dikerjakan."
Sebenarnya mengapa saya protes?