Pernah menerima dan membaca sebuah pesan seperti tulisan berikut? Saya sendiri berkali-kali menerima pesan tersebut melalui sebuah whatsapp group. Menurut saya tulisan tersebut sangat relevan dengan situasi dan permasalahan terkini.
*
Konon, suatu sore Socrates bertemu dengan seorang kenalannya. Kenalannya berkata " Apakah Anda sudah tau cerita tentang teman Anda?
"Tunggu sebentar" jawab Socrates,
"Sebelum Anda mengatakan sesuatu tentang teman saya, saya mau tanya tiga pertanyaan berikut" kata Socrates.
"Pertama tentang kebenaran, apakah Anda yakin akan bahwa yang Anda katakan tentang teman saya adakah sebuah kebenaran?"
"Tidak terlalu," jawab pria itu. "Saya pun sebenarnya hanya mendengar cerita tersebut dari orang lain."
"Baiklah" Jawab Socrates, "Jadi Anda tidak benar - benar tahu akan kebenaran cerita yang akan Anda katakan kepada saya mengenai teman saya tersebut?"
"Kedua tentang kebaikan, apakah yang Anda ceritakan itu adalah suatu hal yang baik mengenai teman saya?"
"Tidak, itu adalah hal yang kurang baik" Jawab pria itu.
"Oh.. begitu?" Socrates berkata sambil mengangguk -angguk kecil, Â "Anda bermaksud menceritakan hal yang tidak baik mengenai teman saya, disamping itu Anda tidak tahu pasti kebenarannya?, Tapi baiklah, cerita Anda bisa saja tidak perlu saya abaikan setelah Anda menjawab pertanyaan saya yang ketiga" Kata Socrates.
"Ketiga tentang kebergunaan, apakah menurut Anda bahwa cerita tersebut akan berguna untuk saya?"
"Tidak terlalu." Jawab pria tersebut.
"Ok, Baiklah" Jawab Socrates sambil tersenyum, " Melihat jawaban Anda tadi, bahwa Anda tidak tahu persis akan kebenaran cerita itu, kemudian itu adalah hal yang tidak baik, dan juga tidak berguna bagi saya, maka sebaiknya  Anda tidak perlu menyampaikannya kepada saya".
"Mungkin kita bisa membicarakan hal yang lain" Socrates mengakhiri ucapannya dengan senyuman.
*
Hingga sekarang, saya pun tidak tahu persis siapa yang menulis cerita tersebut, yang saya tahu bahwa cerita tersebut telah menyebar kemana-mana. Bahkan cerita itu setidaknya sangat bermanfaat untuk masyarakat luas dan mampu mengingatkan bahwa pentingnya menyaring informasi yang hendak kita terima.
Sebagai seorang guru, saya pun sering mengutip cerita tersebut dalam pembelajaran di kelas. Setidaknya melalui cerita tersebut siswa-siswiku di kelas memiliki prinsip dan pegangan dalam menerima pesan dan juga dalam menyebarkannya.
Terlebih di era digital dan internet seperti sekarang, dimana proses penerimaan dan penyebaran informasi tersebut, menjadi begitu mudah bagi seseorang. Hanya dengan sebuah gadget di tangan, sebuah informasi bisa tersebar hingga keseluruh penjuru dunia dalam waktu sekejap.
Jika informasi tersebut memiliki aspek kebenaran, kebaikan dan kebergunaan bagi khalayak umum, tentu tidak akan menjadi masalah. Sebaliknya akan menjadi masalah ketika informasi tersebut memiliki unsur ketidakbenaran atau kebohongan, tentu sangat bisa menyesatkan dan menimbulkan dampak-dampak yang lebih buruk.
Akhir-akhir ini, kita memang sering mendengar masalah demikian. Bahkan realitanya semakin marak penyebaran informasi yang tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun istilah yang sering kita dengar untuk hal yang demikian sering disebut dengan hoax.
Merujuk pada defenisi berdasarkan www.kbbionline.com bahwa hoak tersebut merupakan sebuah kata yang menunjukkan ketidakbenaran suatu informasi, berita bohong, atau ketidakjelasan sumbernya.
Sebagai pengguna gadget yang aktif menggunakan media sosial, saban hari tentu kita akan disuguhi dengan beragam jenis informasi. Pertanyaannya, sudahkah kita mampu mengetahui tentang informasi yang memiliki nilai kebebaran? Sejatinya kita harus memiliki bekal untuk memilih dan memilah dari berbagai informasi tersebut.
Barangkali informasi dari Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho, yang saya kutip dari website kominfo berikut bisa membantu kita untuk mengidentifikasi hoax tersebut.
Pertama, kita semestinya waspada dengan judul yang provokatif. Jika menemukan hal tersebut, sebaiknya kita mencari referensi berupa informasi serupa dari situs online resmi, kemudian bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda. Dari proses pembandingan tersebut, diharapkan kita bisa mengetahui kebenaran informasi tersebut.
Kedua, kita harus mencermati situs yang digunakan untuk menyebarkan informasi tersebut. Jika meragukan, kita bisa mengakses situs berita resmi yang ada ditangan dewan pers.
Ketiga, kita harus mencermati fakta yang digunakan. Misalnya, kita bisa mencermati apakah fakta tersebut berasal dari sumber resmi, apakah informasi yang disajikan bedasarkan fakta atau opini yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Keempat, jika informasi tersebut berupa foto, maka kita bisa menguji keaslian foto tersebut. Salah satu cara untuk mengecek keaslian foto, tentu kita bisa memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag and drop ke kolom pencarian Google Images.
Kelima, kita juga bisa menyiasatinya dengan bergabung dengan group-group anti hoax di berbagai media sosial. Setidaknya, ketika kita memiliki kedaguan dengan sebuah informasi, maka kita bisa menyampaikan hal tersebut di dalam group anti hoax tersebut.
Jika mengikuti cara-cara yang diuraikan di atas, mungkin kesannya terlalu merepotkan dan menyita banyak waktu. Tetapi menurut hemat saya, itulah mahalnya sebuah kebenaran. Terkadang untuk menguji dan memastikan kebenaran tersebut kita butuh pengorbanan.
Sebenarnya, mengapa kita harus seserius itu menyikapi sebuah informasi? Sebab dampak hoax tersebut bukan saja hanya menyesatkan, tapi bisa merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bisa merusak relasi antar individu dan kelompok. Menimbulkan kecurigaan pada orang atau kelompok lain. Menimbulkan perpecahan antar kelompok. Menimbulkan permusuhan dan pemberontakan.
Peran Guru sebagai Pejuang Anti Hoax
Semua harus sepakat bahwa hoax itu harus diperangi oleh semua pihak. Guru adalah salah satu yang harus ada dalam jajaran peperangan tersebut, mengingat guru itu sebenarnya memiliki peran strategis untuk memengaruhi siswa didik sebagai generasi penerus yang harus memiliki sikap atau tindakan yang positif dan benar. Dan realitanya, bahwa siswa-siswi zaman sekarang adalah generasi yang dekat dengan gadget, yang mungkin berpotensi atau berkesempatan melakukan praktek hoax dengan media sosial yang dimiliki. Tentu jika siswa-siswi tersebut tidak memiliki pegangan dan bimbingan.
Untuk itu, sebagai seorang guru harus memiliki pribadi yang bisa diandalkan. Sehingga memiliki daya untuk mengedukasi siswa-siswinya, sehingga siswa-siswi tersebut tidak terjerumus dengan pelanggaran nilai dan norma yang berlaku di masyarakat serta aturan hukum yang telah diatur oleh negara.
Peran guru dalam edukasi tentu merupakan peran yang paling efektif daripada hanya sebatas memberikan aturan dan larangan. Mengedukasi anak tentang alasan-alasan untuk tidak melakukan praktek hoax dan kerugiaan-kerugian yang bisa ditimbulkan bagi diri sendiri, keluarga dan orangtua. Dengan demikian siswa-siswi didik tersebut memiliki kemampuan untuk memilih dan mimilah dalam melakukan sebuah tindakan.
Mengutip semboyan yang pernah diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara, maka guru itu pun harus bisa menjadi guru yang "Ing Ngarso Sung Tulodo", "Ing Madya Mangun Karsa", dan "Tut Wuri Handayani".
Artinya, guru harus bisa menjadi teladan dan berintegritas. Menunjukkan bahwa guru tersebut memiliki citra yang baik tidak ikut melakukan praktek hoax. Dengan demikian siswa-siswa didik memiliki sosok yang bisa dijadikan contoh.
Guru pun harus berada diantara siswa untuk menginspirasi dan mendorong anak didik. Bukan saja hanya tidak melakukan praktek hoax tapi bisa menjadi agen-agen sosial untuk mensosialisasikan tentang anti hoax tersebut. Sebagai penerapan sosialisasi tersebut, di dalam pembelajadan nilai dan norma sosial, siswa-siswi didik saya, mencoba untuk membuat poster sebagai bentuk kampanye anti hoax.
Berharap dengan demikian, siswa-siswi didik tersebut terlatih dan terbiasa anti hoax. Dengan demikian, Â siswa-siswi didik tersebut mampu untuk memiliki pikiran yang positif yang akan menciptakan tindakan dan kebiasaan positif. Hingga pada akhirnya akan muncul budaya-budaya anti hoax.
Menjadi Pribadi yang Anti Hoax
Sebenarnya, bukan semata karena profesi guru saja maka harus anti hoax. Terlepas pribadi saya atau rekan-rekan lainnya yang berprofesi sebagai guru. Mari kita perangi hoax dengan panggilan nurani. Sebab masyarakat dan bangsa kita saat ini membutuhkan pribadi-pribadi yang demikian.
Anti hoax adalah salah satu wujud nasionalisme dan patriotisme. Membangun pribadi yang anti hoax berarti kita sedang mendukung bangsa ini untuk untuk tidak meracuni pikiran orang lain. Menjauhkan perpecahan dan potensi permusuhan dari setiap anak bangsa.
Berpikir dua atau tiga kali tentu jauh lebih baik ketika kita berhadapan dengan media sosial yang saat ini sedang mendominasi penyebaran informasi. Sehingga kita pun tidak akan pernah turut ambil bagian untuk menyebarkan informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya dan kebenarannya.
Anti hoax adalah tanggung jawab kita bersama. Jadi demi kemajuan bangsa ini mari kita jaga niat kita, jari-jari kita, sehingga kita pun turut ambil andil dalam kemajuan bangsa kita.
Salam
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H