Siang dan malam yeng mama
Jalan kesana kemari
Sanak saudara mama
semua tidak peduli
Sapa suru datang Jakarta
Sapa suru datang Jakarta
Sandiri suka, sandiri rasa
Eh doe sayang
Sapa suru datang Jakarta
Sapa suru datang Jakarta
Sandiri suka, sandiri rasa
Eh doe sayang
Sungguh tiada kuduga aah…
Hidup akan merana
Tinggalkan kampung desa
dapatkan gubuk di kota
Waktu itu saya menyadari ungkapan yang dilayangkan tentang Jakarta, “Kejamnya Ibu tiri, lebih kejam ibukota”. Saya pun akhirnya sempat mundur dan memutuskan meninggalkan Jakarta pertengahan 2002. Saya berkesimpulan bahwa Jakarta tidak cocok untukku dan tidak siap menghadapinya lagi. Saya berangkat ke Pekanbaru (Riau), sambil mengajar bimbingan belajar (bimbel), sembari mencari pekerjaan yang saya impikan. Tapi hasilnya sama saja, susahnya mencari pekerjaan yang diidam-idamkan. Karena itu, saya hanya bertahan tiga bulan disana.
Akhirnya kakiku melangkah kembali ke Jakarta menjelang akhir 2002. Apapun yang terjadi, bagaimanapun kenyataannya, tekadku bulat. Harus bisa bertahan di Jakarta, dengan dua permasalahan yang selalu ingin kuhindari, macet dan banjir. Saya yakin berdoa dan berusaha adalah bahwa saya akan berhasil di Jakarta.
Saya mulai bekerja di Jakarta, berkeluarga. Ujian pun kembali menghadang. Tahun 2006 rumah kontrakan kami pun banjir sampai sekitar 70 Cm. Padahal selama ini daerah itu dinyatakan tidak pernah banjir. Saya, istri dan anak yang masih berumur setahun harus mengungsi, perabotan dan barang-barang banyak yang rusak, pasrah saja waktu itu.
Kemudian, yang membuatku lelah, saban hari saya harus kenyang menikmati asap kendaraan yang sudah tua di Jakarta. Tetapi keyakinan saya bahwa Jakarta suatu kelak akan menjadi kota yang indah dan ramah bagi warganya. Setidaknya harapan itulah yang membuatku tetap bisa menikmati berbagai aktifitas di Jakarta.
Jakarta Kini di Mataku
Saat ini saya tinggal dan bekerja di pinggir Jakarta Timur, tepatnya Bekasi. Tetapi walaupun demikian, saya masih memiliki aktifitas yang tergolong tinggi di Jakarta. Saya melihat kemajuan Jakarta yang semakin baik dan humanis.
Dari sisi transportasi, saya melihat banyak kemajuan. Saya bandingkan ketika saya tiba sekitar enambelas tahun yang lalu. Asap bis umum mengepul, belum lagi harus berlari mengejarnya. Bahkan turun dari bis harus ekstra hati-hati, umumnya supir tancap gas sebelum penumpang turun dengan baik dari bis. Penuh berdesakan dan tak tahunya kalau disamping sudah ada copet.
Sekarang, saya sudah jarang melihat lagi transportasi yang demikian. Kehadiran Trans Jakarta telah memberikan keamanan dan kenyamanan. Halte busway lebih tertata dengan baik untuk para penunggu Trans Jakarta. Belum lagi sistem pembayaran lebih praktis dan murah. Bahkan asap yang dulu paling kuhindari, sekarang sudah sangat jarang kutemui.