Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Jakarta Dulu-Sekarang di Mataku

25 Januari 2017   12:55 Diperbarui: 11 Desember 2017   10:58 17981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

#BangunJakarta

Dari dulu hingga sekarang, Jakarta telah menjadi sorotan dan fokus dari seluruh masyarakat Indonesia. Hal yang wajar, sebab Jakarta adalah pusat pemerintahan negara kita. Bukan itu saja, Jakarta juga merupakan pusat kegiatan perekonomian, pusat perdagangan, pusat jasa perbankan dan keuangan.

Oleh karena itu, secara otomastis Jakarta pun cenderung tumbuh dan berkembang lebih cepat dibandingkan daerah lainnya di Indonesia.Inilah salah satu alasan dan daya tarik masyarakat dari daerah meninggalkan kampung halamannya, serta berlomba-lomba mengadu nasib di ibukota negara kita, Jakarta.

Disamping itu, tentu ada daya dorong daerah juga berkontribusi dalam hal itu. Misalnya terbatasnya lapangan kerja bagi masyarakat daerah. Beralih fungsinya lahan-lahan pertanian menjadi pemukiman penduduk.

Dengan demikian, dari dari tahun ke tahun jumlah penduduk Jakarta pun semakin meningkat dan semakin padat. Karena itu, secara perlahan berkembang pula permasalahan turunan dari kepadatan penduduk tersebut, seperti pengangguran, banjir, kriminalitas, kemacetan, dan lain sebagainya.

Ceritaku tentang Jakarta

Saya adalah salah seorang dari daerah yang merantau dan ikut meramaikan pembagian ‘kue’ di ibukota. November 2001 adalah awal kehadiran saya di Jakarta. Dalam benak saya sebelumnya, bahwa Jakarta itu adalah kota yang serba wah. Jakarta itu sempurna. Hal yang wajar, karena saya selama itu hanya mengenal Jakarta dari media televisi, yang notabene, bahwa Jakarta itu identik dengan bangunan-bangunan pencakar langit, gedung-gedung mewah. Keyakinan saya bahwa mencari pekerjaan di Jakarta itu lebih mudah dan pasti gajinya lebih tinggi dibanding dengan daerah.

Kenyataannya tidak demikian. Ketika saya mulai menetap di Jakarta, tepatnya di daerah Kalimalang, saya mulai melihat kehidupan sesungguhnya, khususnya daerah pinggiran Jakarta. Waktu itu, saya menyaksikan kehidupan warga yang mandi, nyuci dan buang air besar di kali. Saya berpikir, dikampungku aja tidak sebegininya.

Bukan itu saja, awal tahun 2002 atau ketika saya menjalani hidup di kota yang keras ini, saya secara langsung mengalami dua hal yang menyakitkan. Saya harus berhadapan dengan banjir bandang yang luar biasa. Kala itu saya harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki, karena jalanan tidak bisa dilalui oleh angkutan umum. Kemudian, saya juga pernah kecopetan handphone di sebuah angkutan. Kesalnya luar biasa, baru beli hp langsung dicopet pula.

Beda lagi dengan pengalaman ini, saya harus berlari cepat  mengejar bis kota, kesana kemari mencari pekerjaan dengan menggunakan bis yang seharusnya sudah tidak layak pakai, bis penyumbang asap penyebab polusi udara, belum lagi penumpangnya padatnya luar biasa. Inilah pengalaman bertransportasi yang saya rasakan di awal tiba di Jakarta.

Ketika di bis, dalam sebuah perjalanan, saya seperti tersindir dengan lagu yang dinyanyikan oleh pengamen, “Sapa suruh datang Jakarta”, liriknya demikian ….

Ado kasian yeng mama
 Jauh-jauh merantau
 mancari hidup mama
 nasib tidak beruntung

Siang dan malam yeng mama
 Jalan kesana kemari
 Sanak saudara mama
 semua tidak peduli

Sapa suru datang Jakarta
 Sapa suru datang Jakarta
 Sandiri suka, sandiri rasa
 Eh doe sayang

Sapa suru datang Jakarta
 Sapa suru datang Jakarta
 Sandiri suka, sandiri rasa
 Eh doe sayang

Sungguh tiada kuduga aah…
 Hidup akan merana
 Tinggalkan kampung desa
 dapatkan gubuk di kota

Waktu itu saya menyadari ungkapan yang dilayangkan tentang Jakarta, “Kejamnya Ibu tiri, lebih kejam ibukota”. Saya pun akhirnya sempat mundur dan memutuskan meninggalkan Jakarta pertengahan 2002. Saya berkesimpulan bahwa Jakarta tidak cocok untukku dan tidak siap menghadapinya lagi. Saya berangkat ke Pekanbaru (Riau), sambil mengajar bimbingan belajar (bimbel), sembari mencari pekerjaan yang saya impikan. Tapi hasilnya sama saja, susahnya mencari pekerjaan yang diidam-idamkan. Karena itu, saya hanya bertahan tiga bulan disana.

Akhirnya kakiku melangkah kembali ke Jakarta menjelang akhir 2002. Apapun yang terjadi, bagaimanapun kenyataannya, tekadku bulat. Harus bisa bertahan di Jakarta, dengan dua permasalahan yang selalu ingin kuhindari, macet dan banjir. Saya yakin berdoa dan berusaha adalah bahwa saya akan berhasil di Jakarta.

Saya mulai bekerja di Jakarta, berkeluarga. Ujian pun kembali menghadang. Tahun 2006 rumah kontrakan kami pun banjir sampai sekitar 70 Cm. Padahal selama ini daerah itu dinyatakan tidak pernah banjir. Saya, istri dan anak yang masih berumur setahun harus mengungsi, perabotan dan barang-barang banyak yang rusak, pasrah saja waktu itu.

Kemudian, yang membuatku lelah, saban hari saya harus kenyang menikmati asap kendaraan yang sudah tua di Jakarta. Tetapi keyakinan saya bahwa Jakarta suatu kelak akan menjadi kota yang indah dan ramah bagi warganya. Setidaknya harapan itulah yang membuatku tetap bisa menikmati berbagai aktifitas di Jakarta.

Jakarta Kini di Mataku

Saat ini saya tinggal dan bekerja di pinggir Jakarta Timur, tepatnya Bekasi. Tetapi walaupun demikian, saya masih memiliki aktifitas yang tergolong tinggi di Jakarta. Saya melihat kemajuan Jakarta yang semakin baik dan humanis.

Dari sisi transportasi, saya melihat banyak kemajuan. Saya bandingkan ketika saya tiba sekitar enambelas tahun yang lalu. Asap bis umum mengepul, belum lagi harus berlari mengejarnya. Bahkan turun dari bis harus ekstra hati-hati, umumnya supir tancap gas sebelum penumpang turun dengan baik dari bis. Penuh berdesakan dan tak tahunya kalau disamping sudah ada copet.

Sekarang, saya sudah jarang melihat lagi transportasi yang demikian. Kehadiran Trans Jakarta telah memberikan keamanan dan kenyamanan. Halte busway lebih tertata dengan baik untuk para penunggu Trans Jakarta. Belum lagi sistem pembayaran lebih praktis dan murah. Bahkan asap yang dulu paling kuhindari, sekarang sudah sangat jarang kutemui.

Di Trans Jakarta, wanita pun sangat istimewa. Keseriusan pemprov DKI telah memberikan ruang khusus bagi wanita agar lebih aman dari tangan-tangan jahil. Sementara bagi kami yang tinggal di Bekasi dan beraktifitas di Jakarta menjadi lebih baik semenjak Trans Jakarta pun menembus kotaku yang dianggap orang jauh selama ini.

Disamping Trans Jakarta, Commuter Line pun menjadi transportasi pilihan yang menyenangkan. Kalau dulu menggunakan jasa kereta api, kesan kumuh tidak lengkang dari pikiranku. Tetapi kehadiran Commuter Line telah merubah pandanganku dengan transportasi yang satu ini.

Sementara dari sisi lain, saya melihat Jakarta semakin bersih. Terutama kali-kali yang dulunya saya lalui dipenuhi tumpukan sampah, bahkan hingga sampah kasur pun bisa ditemui di kali. Tetapi pemandangan yang demikian sekarang sudah berbeda, semenjak kehadiran pasukan Oranye, maka sungai-sungai pun berubah menjadi pemandangan yang berbeda. Pengaruh langsung yang bisa dirasakan dari bersihnya kali, bahwa kali itu telah siap menampung air hujan yang deras, sehingga luapan sungai semakin minimal dan banjir pun berkurang dari sebelumnya.

Sehingga tidak jarang kedengaran tanggapan warga bahwa tinggal atau bekerja di Jakarta saat ini jauh lebih dibandingkan sebelumnya. Walaupun disana-sini tentu masih harus banyak yang dibenahi, tapi Jakarta sebagai kota yang ramah dan humanis semakin terlihat.

Berharap ke depannya lahir sosok pemimpin yang tetap amanah, dengan hati yang tulus menjadi pemimpin yang melayani. Tetapi tidak hanya itu saja, kita berharap warga juga meningkat kesadaran dan kecintaannya akan Jakarta. Sehingga dengan sendirinya ikut menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sering menjadi masalah Jakarta, seperti macet, banjir dan sampah.

Dengan demikian Jakarta kelak dikenal dengan ibukota yang ramah dan humanis. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun