Sejujurnya kami mengakui, kau teramatlah penting dalam perjalanan ini. Kau salah-satu yang menciptakan kunci demi membuka pintu masa depan dalam perjuangan ini. Kau sosok yang kuat dan tak terpisahkan demi mencapai misi dan visi. Tapi kenapa KAU BERUBAH?
Apakah saat tempat berpijakmu berpindah lantas kau ikut BERUBAH?
Apakah saat diantara kita berbeda warna lantas kau jadi LUPA?
Satu persatu kau mencabik. Meninggalkan bekas luka yang tak kunjung kering. Dan kami yang terluka bersama-sama mencebur di jelaga benci. Amat sangat benci. Kebencian itu mendidih. Suaranya mengantar langkah yang menjejak ke setiap arah. Arah yang bermuara pada namamu. Nama yang pernah berbaik hati menitipkan cahaya di hati kami.
Benci itu ada di mana-mana, ada di siapa-siapa, andai saja kau tahu, Teman.
***
Sepertinya kau mulai mencium aroma itu. Kebencian padamu sudah permisi masuk ke pikiranmu. Aku sendiri percaya, lambat laun kau akan mengecapnya. Dia yang saat bertemu dirimu tersenyum, boleh jadi dalam waktu bersamaan hatinya mencaci maki. Mereka yang seolah baik-baik di hadapanmu, berkerumun membakar namamu saat mereka di belakangmu. Adapun aku, jujur kubilang, pernah kau menyakiti tapi aku telah menghapus rasa sakitnya. Bagaimanapun, kau satu di antara sekian teman yang memberikan sesuatu yang konkrit dalam hidupku. Aku ingin selalu mengingat sejuk air yang kau percikkan, daripada lidah api yang kau hembuskan. Karena aku sadar, kita manusia. Memiliki dua ruang berbeda. Satu tempat terisi cahaya. Satu tempat terisi gulita. Kesempurnaan hakiki bukan pada kita yang dilahirkan ke bumi untuk kemudian digaransi mati. Maka sejauh aku menyikapi, aku ingin bijak, sungguh!
***
Di media sosial kau menguras pepat hatimu.
Aku tahu, kau mungkin kehilangan banyak telinga untuk menyimak bicaramu, lebih-lebih menelan curahan hati.
Kau bilang di sana, bahwa kau merasa banyak dimusuhi, banyak dibenci. Tapi kau berbesar hati memahami, bahwa semua itu hal pasti karena kau merasa dirimu sang Penyeru Kebenaran.
Kawan, aku tersenyum kecil saat menemukan kalimat itu tanpa sengaja.
Kalimat itu selain membuat aku tersenyum kecil, juga membuat aku berpikir panjang.
Lalu satu tanya mengambang, “Benarkah demikian?”
Duhai, selalu ada manusia yang benci di setiap manusia yang memperjuangkan kebenaran. Karena kebenaran yang tak memiliki musuh adalah kebenaran yang perlu dipertanyakan kebenarannya.
Namun pertanyaannya, benci yang bagaimana dan benci atas dasar apa yang tumbuh di hati manusia?
Benci karena KEBENARAN yang diperjuangkan tentu berbeda dengan benci karena ORANG yang memperjuangkan kebenaran.
Sementara aku yakin, orang-orang di sekelilingmu, teman-teman yang menjadi “bawahanmu”, TIDAK MEMBENCI KEBENARAN yang kau perjuangkan. Yang mereka BENCI adalah sifat yang melampaui batas, kesewenang-wenangan, dan kebijakan yang menyakitkan serta penuh paradoks. TAK PEDULI sifat tersebut ada dalam diri SANG PENYERU KEBENARAN. Lalu apakah mereka harus dipersalahkan? Mereka memandang dari sudut hubungan antar manusia, lingkup sosial, di mana ada etika yang berlaku agar terjalin keberlangsungan yang harmoni. Tapi nyatanya, mereka tak menemukan itu dan yang mereka temukan hanya kekecwaan yang mengenalkan mereka pada kebencian terpendam.
Teman, maka kau bisa sedikit merenungi kata-katamu sendiri. Karena banyak manusia yang sebenarnya tidak paham dengan apa yang mereka katakan. Kecuali itu menjadi senjata melakukan pembenaran dan pembelaan perasaannya sendiri.