Aku berharap suatu saat kau membaca ini, Teman.
Kita bukan sedang terpisah jauh, sehingga untuk menyampaikan kepadamu, aku harus menuliskan ini. Di sini aku hanya ingin berbagi bersama teman-temanku yang lain. Hanya belajar dari dirimu, siapa tahu ada mutiara yang berkilau dari kisahmu. Tidak ada maksud apapun, kecuali harapan pada kebaikan yang tersimpan. Tidak ada maksud membuat namamu terkikis menjadi serpihan cela, karena sungguh tidak ada manusia biasa disuluh nyawa tanpa ada cela yang menghuni jiwa. Belajar bisa dari apapun, bukan? Salah seorang sahabat Rasul bahkan bilang, “Jika kalian belajar pada kebaikan agar bisa mengamalkannya lantas memberatkan neraca, aku memilih belajar pada cela agar bisa menghindar dan terselamatkan daripadanya,”
***
Kau pribadi yang kukenal sangat ramah, bahkan sejak awal aku bekerja di sini. Dulu, mungkin enam sampai tujuh tahun lalu. Aku, yang polos dan lugu, tidak dapat mengeja dunia kerjaku. Serba awam. Asing. Maklum, itu pengalaman pertama aku bekerja pada lembaga yang benar-benar senafas. Tidak ada yang kukenal. Dan yang selama ini kudengar, orang-orang di lembaga itu memiliki integritas tinggi, sosok-sosok yang dikemas secara ekslusif, menyisakan ketakutan tersendiri, karena artinya, aku dihadapkan pada dunia profesional yang menjunjung tinggi idealisme. Sementara aku, tak ubah bayi baru lahir. Menebak-nebak setiap ruang yang terlihat, dituntut untuk mengenal, untuk hafal, biar tidak salah jalan.
Kau datang, mengulurkan tangan. Memberikan aroma persahabatan yang sangat didambakan orang-orang baru di sebuah institusi atau komunitas. Kau yang pertama kali menghidupkan rasa nyaman bekerja di sini. Membuatku mulai melumat “kerasan”. Mengabaikan ketakutan khas anak muda polos lugu yang terdampar di dunia barunya yang kompleks. Tak peduli, di sana kau tak lebih hanya seorang bawahan. Tidak punya status yang keren dan dapat dibanggakan. Kau hanya seorang….cleaning servis
Tapi di situ istimewamu. Kau lebih mahir beberapa tingkat dari teman-temanmu lain yang memiliki peran utama di lembaga ini. Bukan mahir menjadi nahkoda menjalankan pelayaran yang menjadi tujuan lembaga ini berdiri. Tetapi mahir menciptakan warna harmoni. Kau yang humoris, nyaris memiliki segudang lontaran pemancing tawa. Meluberkan penat seharian bergelut dengan tugas dan amanat. Kau memandang sama pada sekelilingmu. Orang baru kau “manusiakan”. Orang lama kau “saudarakan”. Singkatnya, kau adalah seseorang dengan bakat sosial di atas rata-rata. Dalam lingkup kecil di sini, kau bisa “mengangkat” dirimu sendiri menjadi istimewa. Orang-orang tak lagi berpikir kau sekedar karyawan dengan status paling tidak bergengsi. Orang-orang berpikir kau hidup, bercahaya. Betapa aku melihat, kedekataanmu dengan mereka, para kustomer, nyaris menandingi kedekatan kami–yang keberadaannya menjadi roda utama.
***
Satu hal yang aku pelajari, kau selalu bersikap respek dengan orang-orang baru. Kau seolah merasakan apa yang mereka butuhkan. Kau tentu tidak bisa mengusahakan gaji mereka agar lebih tinggi, tidak bisa membantu mereka menyelesaikan tugas–karena itu bukan ranah profesionalmu. Kau hanya ingin mereka memiliki rumah. Memiliki keluarga. Alasan yang akhirnya kau katakan adalah karena sesuatu yang pernah kau alami dan itu tidak ingin dialami oleh orang baru di sekelilingmu.
“Aku dulu bekerja di sebuah tempat, menjadi orang baru. Rasanya tersiksa menjadi orang baru. Dicuekin. Disuruh-suruh. Jarang-jarang yang mendekati, sekedar mengakrabkan diri. Perlu berbulan-bulan untuk bisa sejiwa dengan tempat kerja. Dari situ, aku tak ingin teman-teman baru di sini mengalami hal serupa. Sejauh mungkin aku mendekati mereka, mengakrabi, tidak ada tujuan lain kecuali yang aku katakan di atas.”
Aku tidak mendapati pada kalimatmu itu sesuatu yang kau buat-buat, kau lebih-lebihkan. Aku dapat merasakan nilai ketulusan di dalamnya. Ah, sepertinya sudah cukup untuk menobatkanmu sebagai sosok yang saleh. Karena bagiku, saleh bukan hanya pada ritual ibadah, saleh juga memiliki simpul positif pada sekeliling–entah manusia, atau ciptaan lainnya. Dan pada dua ruang tersebut, dirimu menghuni.
Seiring waktu, di mataku, cahayamu seolah tak mengenal padam. Kau tetap menonjol. Segala kekhasanmu seperti menjadi formula yang membuat kau sosok yang istimewa. Kau berhasil menebas benteng starta–setidaknya bermula dari lingkup kecil lembaga kita. Kau membuktikan sesuatu yang mungkin tak terjangkau pemikiran teman-teman lainnya. Sungguh, tak ada yang peduli di departemen apa kau bekerja, tak peduli. Kau cerdas bermain peran. Kau rampas perhatian orang-orang.
Akupun tak sekedar menobatkan dirimu sebagai sosok yang saleh. Tapi juga menobatkanmu sebagaia sosok yang dicintai banyak wajah.
***
Satu hal menarik darimu, Teman.
Kau menunjukkan taringmu. Perlahan. Untuk kemudian mengaburkan “anggapan” sebagian besar kami, teman-temanmu, sekelilingmu, bahkan mungkin dunia.
Di sini kau bekerja mengakrabi debu-debu, sampah. Dan area jajahanmu adalah toilet, gudang, ruang yang setiap pagi tertata tapi jelang petang sudah berantakan, tak keruan. Kau tak memiliki wewenang menyentuh roda inti lembaga ini. Kau tidak bisa bicara menyampaikan satu dua pengetahuanmu. Kau tidak bisa tampil di hadapan puluhan manusia untuk menyaksikan peranmu. Kau dianggap tidak memiliki legalitas melakukan itu. Seolah-olah latar belakang pendidikanmu tidak sewarna, tidak senada.
Kau seperti ingin berteriak kencang saat orang-orang menganggapmu bisu. Kau seolah-olah ingin berlari kencang saat orang-orang menganggapmu lumpuh. Di situ kau percaya kau mampu. Mengibarkan benderamu. Memproklamasikan hal-hal terpendam yang rapat kau simpan.
Siapa sangka di luar jam kerja kau memiliki waktu menjadi “sorotan” orang-orang. Menekuni aktifitas yang secara subtansi sama dengan yang dilakukan teman-temanmu yang menjadi pelakon utama di tempatmu bekerja. Menyampaikan sesuatu yang kau punya. Menjadi lentera. Menerangi. Berbagai. Ya Tuhan, kau juga bisa berbagi hal yang kami–teman-temanmu biasa lakukan di pagi hingga sore hari. Kau memiliki “status” utama seperti kami dan hanya soal ruang dan waktu saja yang berbeda. Kau bisa menjelma menjadi “kami” dan hanya soal formalitas atau informalitas yang sebetulnya bukan sesuatu hal utama.
Hebat.
Di mataku itu hebat.
Kau membuktikan kemampuanmu bereksplorasi. Menembus dimensi. Mematahkan cara pandang dari sudut pandang orang-orang.
Lebih dari itu, kau sungguh gila akan eksistensi, Kawan! Dan barangkali itu….manusiawi.
***
Semua orang seperti bangkit dari tidur panjang. Mereka bangun dengan muka penuh heran. Takjub. Sekaligus girang. Mungkin juga merasa bodoh dan terlalu abai. Tentu saja kau bukan orang asing yang menyusup di tengah-tengah kerumunan. Namun kenapa baru SEKARANG.
Bertahun-tahun, waktu bergulir menyisakan berjuta jejak. Mata mereka seperti buta. Ada bintang terang bersinar-sinar, tapi dianggap kunang-kunang yang kerdil nan kecil. Semua menyambutmu suka cita. Bersuka cita merasa sembuh dari buta. KAMI DAPAT MELIHATMU KINI. Dirimu yang sebenarnya telah muncul, lahir di tengah-tengah kami. Akan berjalan di hamparan yang sama. Oi tinggalah cerita lama. Sapu-sapu, pel, kemoceng… mungkin kelak mereka rindu kebersamaan denganmu, Teman.
Kau “diangkat”
Kau dipindahstatuskan (istilah apapulak ini)
Kau “dinaikkan”
Kau menjadi sejarah di lembaga ini.
Fenomenal.
Unexpected.
Kau melesat seperti roket.
Kau mengaum seperti singa.
Kau merasakan kakimu tak lagi menyentuh bumi.
Kau seperti tengah menapak langit.
Selamat! Aku pribadi bersuka cita. Baju kita akan sama. Juga tugas dan tanggung jawab. Ruangan kita sama. Juga persoalan dan semua problema.
Tahun pertama kau menjadi “bagian dari kami” kau membuktikan kalau kau memang pantas untuk itu. Bahkan segalanya nampak begitu cepat. Tiba-tiba. Kau masih menjadi bayangan mimpi yang sulit dicerna hingga menjadi simpul percaya. Sekelilingmu tentu masih suka menggoda-goda. Ada rasa bangga, barangkali, sesearang yang selama ini “mendominasi” dan “menonjol” akhirnya bisa bersinergi melayarkan perahu menuju tepi.
***
Barangkali kau memang menyimpan bibit-bibit talenta yang tidak dalam satu masa mencuat semua. Perlahan-lahan, kau memainkan peran nyaris sempurna dalam setiap pagelaran. Orang-orang makin tak ragu menilai kualitas dirimu. Dan di mataku sendiri, kau bertransformasi menjadi rajawali setelah orang-orang memandangimu sebagai kupu-kupu. Aku dapat merasakan, ada ide-ide besar kau sampaikan. Ada karya nyata kau persembahkan. Kami, teman-temanmu yang “lebih dulu” berjalan, bahkan harus mengakui; ada banyak hal tertinggal, tak sebanding satu hal konkret yang kau lakukan.
Rasa-rasanya sepakat. Kau memang hebat.
Tahun kedua setelah kau “diangkat” dari bumi ke langit tingkat 1 (sejajar denganku, dengan teman-teman lain penggerak perahu). Kini kau bahkan sudah bertengger di langit tingkat 2. Meninggalkanku, meninggalkan kami. Kau “harus” bergabung dengan orang-orang “di atas” kami. Menjadi Dewan Utama. Punya andil besar menentukan nasib perjalanan. Hebat sekali, bukan? Seperti mukjizat. Cuma butuh setahun menjadi penjejak langit 1 untuk kemudian menjejak langit 2 (yang punya kuota empat orang saja)
Selamat. Aku pribadi turut bersuka cita. Kisahmu menjadi legenda. Pencapaianmu menjadi dongeng yang nyaris tak bisa dipercaya.
Kali ini, kau semakin terampil melakukan pementasan. Dengan status “atasan”, kau membuktikan banyak hal berwarna yang akhirnya menjadi kekuatan perahu kita bersamudera. Aku, teman-temanmu (yang kau tinggal), merasakan dengan utuh. Betapa banyak hal baru kau cetuskan. Banyak nuansa baru kau taburkan. Kreatifitasmu seperti tengah meluap-luap. Mengaliri hari-hari. Meninggalkan jejak yang amat berarti.
***
Sayangnya, kami, teman-teman yang kau tinggalkan ini, mulai merasakan hal yang sama. KEHILANGAN.
Kau menjadi berbeda. Sungguh berbeda. Kau menjadi asing di mataku, di mata teman-teman “di bawahmu”. Kau kini menjadi bintang, tapi tak selalu bisa menerangi karena adakalanya pagi mengusirmu pergi. Kami selalu bertanya-tanya. Kau berbeda karena tak sengaja berbeda atau tidak sadar telah BUTA? Kau sekarang terbang di atas kami, dan kami tidak pernah bisa mensejajari (apalagi terbang lebih tinggi)
Sayapmu berbeda, Kawan. Sayapmu kini megah dan penuh percaya diri, sekaligus amat mengendalikan.
Sementara sayap-sayap kami kecil, ringkih, dan tak terlalu menawan.
Sejujurnya kami mengakui, kau teramatlah penting dalam perjalanan ini. Kau salah-satu yang menciptakan kunci demi membuka pintu masa depan dalam perjuangan ini. Kau sosok yang kuat dan tak terpisahkan demi mencapai misi dan visi. Tapi kenapa KAU BERUBAH?
Apakah saat tempat berpijakmu berpindah lantas kau ikut BERUBAH?
Apakah saat diantara kita berbeda warna lantas kau jadi LUPA?
Satu persatu kau mencabik. Meninggalkan bekas luka yang tak kunjung kering. Dan kami yang terluka bersama-sama mencebur di jelaga benci. Amat sangat benci. Kebencian itu mendidih. Suaranya mengantar langkah yang menjejak ke setiap arah. Arah yang bermuara pada namamu. Nama yang pernah berbaik hati menitipkan cahaya di hati kami.
Benci itu ada di mana-mana, ada di siapa-siapa, andai saja kau tahu, Teman.
***
Sepertinya kau mulai mencium aroma itu. Kebencian padamu sudah permisi masuk ke pikiranmu. Aku sendiri percaya, lambat laun kau akan mengecapnya. Dia yang saat bertemu dirimu tersenyum, boleh jadi dalam waktu bersamaan hatinya mencaci maki. Mereka yang seolah baik-baik di hadapanmu, berkerumun membakar namamu saat mereka di belakangmu. Adapun aku, jujur kubilang, pernah kau menyakiti tapi aku telah menghapus rasa sakitnya. Bagaimanapun, kau satu di antara sekian teman yang memberikan sesuatu yang konkrit dalam hidupku. Aku ingin selalu mengingat sejuk air yang kau percikkan, daripada lidah api yang kau hembuskan. Karena aku sadar, kita manusia. Memiliki dua ruang berbeda. Satu tempat terisi cahaya. Satu tempat terisi gulita. Kesempurnaan hakiki bukan pada kita yang dilahirkan ke bumi untuk kemudian digaransi mati. Maka sejauh aku menyikapi, aku ingin bijak, sungguh!
***
Di media sosial kau menguras pepat hatimu.
Aku tahu, kau mungkin kehilangan banyak telinga untuk menyimak bicaramu, lebih-lebih menelan curahan hati.
Kau bilang di sana, bahwa kau merasa banyak dimusuhi, banyak dibenci. Tapi kau berbesar hati memahami, bahwa semua itu hal pasti karena kau merasa dirimu sang Penyeru Kebenaran.
Kawan, aku tersenyum kecil saat menemukan kalimat itu tanpa sengaja.
Kalimat itu selain membuat aku tersenyum kecil, juga membuat aku berpikir panjang.
Lalu satu tanya mengambang, “Benarkah demikian?”
Duhai, selalu ada manusia yang benci di setiap manusia yang memperjuangkan kebenaran. Karena kebenaran yang tak memiliki musuh adalah kebenaran yang perlu dipertanyakan kebenarannya.
Namun pertanyaannya, benci yang bagaimana dan benci atas dasar apa yang tumbuh di hati manusia?
Benci karena KEBENARAN yang diperjuangkan tentu berbeda dengan benci karena ORANG yang memperjuangkan kebenaran.
Sementara aku yakin, orang-orang di sekelilingmu, teman-teman yang menjadi “bawahanmu”, TIDAK MEMBENCI KEBENARAN yang kau perjuangkan. Yang mereka BENCI adalah sifat yang melampaui batas, kesewenang-wenangan, dan kebijakan yang menyakitkan serta penuh paradoks. TAK PEDULI sifat tersebut ada dalam diri SANG PENYERU KEBENARAN. Lalu apakah mereka harus dipersalahkan? Mereka memandang dari sudut hubungan antar manusia, lingkup sosial, di mana ada etika yang berlaku agar terjalin keberlangsungan yang harmoni. Tapi nyatanya, mereka tak menemukan itu dan yang mereka temukan hanya kekecwaan yang mengenalkan mereka pada kebencian terpendam.
Teman, maka kau bisa sedikit merenungi kata-katamu sendiri. Karena banyak manusia yang sebenarnya tidak paham dengan apa yang mereka katakan. Kecuali itu menjadi senjata melakukan pembenaran dan pembelaan perasaannya sendiri.
***
Di akhir tulisan ini, aku, temanmu, ingin berbisik di telinga hatimu.
Masih tentang status curahan hatimu di media sosial yang, ah, kadang aku risi kalau mendapati kau makin gemar curhat di sana. Bukan apa-apa, selama ini kau kuanggap sosok dewasa yang setidaknya bisa berpikir; meluahkan rasa di media sosial tidak hanya rawan krisis kepribadian, tapi juga tak selalu sampai pada tujuan.
Hei, jika kau merasa banyak orang membencimu, jangan-jangan karena saat ini kau juga menyimpan hal yang sama pada satu-dua orang di sekelilingmu. Aku bukannya tidak tau, ada nama yang begitu kau benci, kebencian yang terlalu, dan sering tidak pada tempatnya. Ngerinya lagi, pemilik nama yang kau benci adalah temanmu sendiri yang berpijak di langit 2. Aku tidak tau persis alasanmu membencinya. Tapi tak perlulah kau ceritakan alasan itu. Karena saat kau sudah menyadari bahwa kebencian akan melahirkan kebencian, aku percaya kau akan menerima semua dan memilih untuk memusnahkan benci. Semua benci. Termasuk benci dengan seseorang yang tega menulis catatan ini :-)
*ditulis dengan segenap cinta seorang teman, untuk WK. Semoga suatu saat kau membacanya, lantas meninggalkan bekas pukulan (baca: pelukan) telak di bodiku :-D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H