Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Salah Kaprah Menafsirkan Kehadiran Bencana

4 Desember 2022   21:37 Diperbarui: 5 Desember 2022   23:41 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Shelter bambu dibangun di lokasi pengungsian di Kampung Garogol, Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, untuk warga korban gempa magnitido 5,6. (Foto: KOMPAS.COM/FIRMAN TAUFIQURRAHMAN)

Ibarat kata orang, "Baik kita digunjing, buruk kita dicerca."

AZAB dunia, memang wujudnya berupa bencana, karena sebagai pelajaran untuk semua manusia. Bisa dalam bentuk banjir, kekeringan, badai topan, gempa bumi, kampung yang ditelan bumi, wabak penyakit, gunung meletus, sambaran petir, dan lain sebagainya. 

Kita ambil contoh bagaimana kehancuran kota Sodom dan Gomora. Azab dunia kepada kaum di dua daerah tersebut, dijelaskan dalam kita suci al-Qur'an, Ibrani, Injil Perjanjian Lama dan perjanjian baru.

Malapetaka yang dialami oleh manusia dalam berbagai bentuk, sebagaimana tersebut di atas, perlu didudukkan dalam kerangka masing-masing, yakni kerangka azab dan kerangka bencana yang dibuktikan dengan sains.

Hal ini penting, supaya manusia tidak sewenang-wenang mentafsirkan semua bentuk bencana yang dialami manusia dalam konteks kemurkaan Tuhan.

***

Kalau kita berangkat dari hukum sebab akibat, maka jelas azab itu memiliki subyek dan obyek. Masyarakat sebagai obyek memiliki peran negatif (sebagai yang diazab), karena melanggar nilai dan norma yang ditetap Tuhan. 

Contohnya banjir akibat keserakahan manusia merusak hutan dan juga tidak disiplin mengurus tata kota. Dalam kasus ini jelas sebab akibatnya erat kaitannya dengan perilaku manusia.

Selanjutnya kita ambil contoh gunung meletus. Mala petaka yang dapat meluluhlantahkan kehidupan manusia secara masif ini, bisa dikatakan tidak ada sama sekali peran negatif manusia. 

Artinya gunung meletus, tidak disebabkan oleh kelalaian manusia terhadap nilai dan norma Tuhan. Apakah ini akan disebut azab juga?

Perkembangan pemikiran manusia dalam teori Hukum Tiga Tahap, menunjukkan bahwa kita saat ini sudah mencapai tahap mositivisme, dimana segala hal perlu dilihat dari sisi sains yang logis. namun sayang sekali, perilaku dan pola pikir manusia, sering sekali kembali ke tahap sebelumnya.

Saya sering mendengar orang-orang yang dengan lantang berteriak, bahwa Tuhan mengirim azab-Nya kepada masyarakat Aceh lewat tsunami, masyarakat Donggala lewat gempa dan likuifaksi, Jakarta lewat banjir, kepada masyarakat Sumatera Barat, Lombok, Yogyakarta, dan terbaru Cianjur lewat gempa.

Narasi tersebut, menunjukkan bahwa semua bentuk malapetaka, termasuk sebagai azab Tuhan kepada manusia, tanpa sama sekali melihat pola sebab akibatnya. Pola pikir generalisir seperti itu, sangat menyesatkan masyarakat.

Kalau demikian halnya, sungguh kasian sekali masyarakat yang tinggal di lereng gunung berapi, akan setiap tahun mendapat azab Tuhan. Walaupun seluruh mereka taat beragama, tetapi sangat rentan dengan gempa, muntahan lahar panas, lahar dingin, awan panas, dan lain sebagainya.

Coba juga kita amati fenomena badai gurun yang bisa memprorakporandakan bangunan dan apa saja yang dilalui oleh badai tersebut. Kasus ini juga kasian masyarakat yang tinggal di wilayah gurun, walaupun mereka taat kepada Tuhan, akan setiap tahun mendapat azab Tuhan, karena badai gurun kapan saja bisa terjadi.

***

Dalam beragama dan bermasyarakat, kita dituntut untuk melihat bencana alam dengan pemikiran jernih dan empati. 

Sesuatu yang hanya perlu dijelaskan dengan "iman", perlu kita dudukan di tempat yang semestinya dan fenomena alam yang perlu kita jelaskan dengan sains, maka harus dijelaskan berdasarkan kedudukan ilmu pengetahuan.

Yang harus kita lakukan adalah membantu dan menjernihkan suasana dengan mengedepankan rasa empati yang tinggi terhadap korban bencana. 

Bukan justru menghakimi para korban dengan ungkapan semua itu azab Tuhan, seolah-olah mereka pantas megalami bencana atas segala salah dan dosa sebagaian anggota masyarakatnya.

Saya coba amati, bahwa dalam beragama, sering sekali para pencerama membangun narasi-narasi  yang meresahkan--bahkan menakutkan masyarakat. 

Sungguh tragis yang selalu digambarkan. Di dunia penuh azab, di dalam kubur penuh siksaan, di akhirat terdapat api di bawah titian siratal mustaqim, situasi mencekam dan panasnya padang mahsar, serta pedihnya siksaan api neraka. 

Semuanya membuat orang takut dan serba salah. Ketahuilah bahwa orang yang ketakutan, sangat sulit untuk berpikir jernih. Akibatnya menjadi apatis dan putus asa. 

Kita tidak ingin situasi yang mandek dalam beragama, karena seharusnya senantiasa terjadi perubahan ke arah yang positif dalam konteks berlomba-lomba dalam kebaikan.

Kalau semua kita bisa mengutamakan gambaran yang mencerahkan dalam beragama dan bermasyarakat, pasti manusia dengan senang hati akan rajin beribadah dan berbuat baik sesama manusia. 

Contohnya narasi di dalam kubur terdapat kenikmatan atas kebaikan yang kita lakukan di dunia, di ujung jembatan siratal mustaqiem ada syurga dengan segala kenikmatannya.

***

Untuk meluruskan hal tersebut, memerlukan penceramah yang arif dan bijak dalam melihat fenomena alam. Demikian juga memerlukan media massa yang tidak tendensius, tetapi imbang dalam menyampaikan berita berdasarkan fakta yang terjadi.

Bagi saya, tidak semua bencana alam, merupakan bentuk kemurkaan Tuhan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati mensikapi kehadiran bencana, jangan sampai kita salah kaprah menafsirkannya.

Semoga kita bisa menjelaskan segala yang terjadi di muka bumi ini berdasarkan duduk permasalahan, supaya dalam beragama dan bermasayarakat tidak menimbulkan keresahan dan ketakutan.

Terima kasih.

KL: 04122022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun