Perkembangan pemikiran manusia dalam teori Hukum Tiga Tahap, menunjukkan bahwa kita saat ini sudah mencapai tahap mositivisme, dimana segala hal perlu dilihat dari sisi sains yang logis. namun sayang sekali, perilaku dan pola pikir manusia, sering sekali kembali ke tahap sebelumnya.
Saya sering mendengar orang-orang yang dengan lantang berteriak, bahwa Tuhan mengirim azab-Nya kepada masyarakat Aceh lewat tsunami, masyarakat Donggala lewat gempa dan likuifaksi, Jakarta lewat banjir, kepada masyarakat Sumatera Barat, Lombok, Yogyakarta, dan terbaru Cianjur lewat gempa.
Narasi tersebut, menunjukkan bahwa semua bentuk malapetaka, termasuk sebagai azab Tuhan kepada manusia, tanpa sama sekali melihat pola sebab akibatnya. Pola pikir generalisir seperti itu, sangat menyesatkan masyarakat.
Kalau demikian halnya, sungguh kasian sekali masyarakat yang tinggal di lereng gunung berapi, akan setiap tahun mendapat azab Tuhan. Walaupun seluruh mereka taat beragama, tetapi sangat rentan dengan gempa, muntahan lahar panas, lahar dingin, awan panas, dan lain sebagainya.
Coba juga kita amati fenomena badai gurun yang bisa memprorakporandakan bangunan dan apa saja yang dilalui oleh badai tersebut. Kasus ini juga kasian masyarakat yang tinggal di wilayah gurun, walaupun mereka taat kepada Tuhan, akan setiap tahun mendapat azab Tuhan, karena badai gurun kapan saja bisa terjadi.
***
Dalam beragama dan bermasyarakat, kita dituntut untuk melihat bencana alam dengan pemikiran jernih dan empati.Â
Sesuatu yang hanya perlu dijelaskan dengan "iman", perlu kita dudukan di tempat yang semestinya dan fenomena alam yang perlu kita jelaskan dengan sains, maka harus dijelaskan berdasarkan kedudukan ilmu pengetahuan.
Yang harus kita lakukan adalah membantu dan menjernihkan suasana dengan mengedepankan rasa empati yang tinggi terhadap korban bencana.Â
Bukan justru menghakimi para korban dengan ungkapan semua itu azab Tuhan, seolah-olah mereka pantas megalami bencana atas segala salah dan dosa sebagaian anggota masyarakatnya.
Saya coba amati, bahwa dalam beragama, sering sekali para pencerama membangun narasi-narasi  yang meresahkan--bahkan menakutkan masyarakat.Â