Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penaku yang Hilang...

23 November 2017   17:55 Diperbarui: 23 April 2019   09:40 1851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pena cantik yang selama ini kugenggam, menemaniku melukiskan cerita hidup yang penuh liku. Suatu ketika, pena itu tiba-tiba hilang dariku. Siang malam kucari kemana gerangan, membuat hati gunda karena tak bisa lagi melukiskan cerita tentang indahnya dunia ciptaa-Nya.

Bagaimana pun, semua itu harus terus berlanjut, tapi bagaimana gerangan dengan pena untuk menulisnya? Apakah harus mencari gantinya agar cerita tak putus di tengah jalan? Atau harus terus mencari dan mencari di tengah belantara mimpi yang tak jelas dengan harapan ketika bangun saat fajar menyinsing ada hamba yang baik yang menemukan penaku dan sudi mengantarkannya kembali kepadaku?

Waktu terus berlalu, kisah itu tak kunjung berlanjut karena kuyakin seyakin-yakinnya, bahwa goresan pena yang lain tak akan sama dengan penaku yang hilang. Mencoba tuk menungu malam dengan harapan bulan dan bintang memberi kabar di mana gerangan keberadaannya. Kududuk diam sendiri, termenung menerawang jauh, menatap langit yang mendung. Bulan dan bintang tak kunjung muncul, bersembunyi di balik awan tebal. 

Malam itu, sunggu sangat sejuk, angin bertiup kencang, gerimis mulai turun disusuli petir yang menggelegar membelah langit. Namun nalarku mencoba tuk berjalan menyusuri lorong waktu dengan harapan menemukan penaku yang hilang.

**

Di ujung lorong perjalananku, kucoba berhenti, berteduh di sebuah gubuk yang tak berpenghuni. Hujan semakin deras, petir keras tak kunjung usai, angin semakin bertiup kencang, dingin menusuk, terasa sampai ke tulang sum-sum, tubuhku mulai menggigil, kedua tanganku kutempelkan ke dada, saking dinginnya, kedua bibirku bergetar hingga gigiku yang beradu mengeluarkan suara. Di luar dugaan, tiba-tiba kutemukan secarik kertas yang basah kuyup menempel di dinding gubuk. 

Kucoba menggapainya dengan penuh kehati-hatian, dalam rasa yang tak menentu, kubuka lipatannya perlahan agar tidak sobek. Ada sebait kata tertulis, kucoba lafalkan, ternyata kutemukan sinyal keberadaan penaku di sebuah tempat yang tak asing, namun sudah dipakai orang yang tak kukenal untuk menuliskan cerita hidupnya sendiri.

Pena cantik itu ternyata masih ada, tetapi hakikat dan wujudnya tak seperti dulu lagi. Apa gerangan yang terjadi? Kucoba membuka relung hati yang tak menentu, menyaring firasat agar tak salah menafsir. Tapi rasa ini telah membuat kantuk menjadi hilang, rasa lapar tak ingin menjamah makanan, rasa dahaga yang tak kunjung hilang walau sudah meneguk air yang sejuk.

Kuyakinkan diri ini bahwa mahluk-makhluk Tuhan di sekitar penaku tak mengerti tentang maksud, janji, niat, mufakat, dan harapan. Semuanya menafsirkan sendiri-sendiri mengikut hasrat nafsu masing-masing, dengan menggunakan alibi pembenaran dari rapuhnya sendi-sendiku yang sedari awal sudah kuakui dengan segala kerendahan diri.

Mahluk-mahluk Tuhan yang tak mau tahu tentang pencarianku, dengan angkuh menggaungkan kebenaran, seolah-olah diriku tak bisa membawa kebenaran, menggaungkan penyempurnaan agama tetapi tidak sadar bahwa mengambil sesuatu tanpa pengetahuan pemiliknya juga meruntuhkan agama dan melabelkan sesuatu tanpa menelisik terlebih dahulu secara faktual juga sama dengan melanggar ketentuan agama yang benci kezoliman.

**   

Di gubuk reot itu, sambil terus menatap langit, berharap angin meniupkan awan supaya hujan tak terus turun mengguyur bumi yang sudah lama basah, agar bulan dan bintang segera datang menyinari raut wajahku yang pucat dalam lara. 

Angin bertiup semakin kencang, tubuh ini semain menggigil. Suara cicak di atap gubuk menghiburku dan mengajakku berfikir untuk segera beranjak apakah akan melanjutkan mencari pena atau kembali merapihkan cerita yang terputus supaya ada kesudahannya.

Dalam pencarianku, kucoba mengarang puisi tentang "Rasa" di saat mencari penaku yang hilang itu, yang kini berada dalam genggaman orang lain.

Rasa Itu...

Ketika matahari terbenam di peraduannya

Tuhan memanggil hamba dengan seruan-Nya

Kuberhenti sejenak dari pencarianku

Tuk bermunajat dalam do'a yang panjang



Kuyakin Tuhan akan memberitahuku hakikat itu

Kuyakin Tuhan akan menafsirkan mimpi itu

Tentang cerita hidup yang harus terus berlanjut

Tentang rangkaian kata yang selama ini kurajut

Bulan dan bintang berbicara dalam heningnya malam

Tentang cerita hidup yang kini tak lagi menceriakan

Mentari akan ikut berkisah di pagi yang cerah

Tentang pena cantik yang tidak lagi dalam genggaman

Kuyakin Tuhan akan menunjukkan sesuatu

Sebuah berkah hidup dan juga nestapa

Kuyakin Tuhan akan memberitahumu wahai penaku

Bahwa menggapai akhirat harus dari dunia

**

Di hati ini ada goresan luka

Karena janji yang tak ditunaikan

Hembusan angin malam yang dingin

Menambah pedih hati yang luka

Aku tak ingin berontak

Aku tak ingin sak wasangka

Karena kutahu semuanya sadar

Ingin menyempurnakan ceritanya

Kisah ini akan disempurnakan

Dalam canda tawa yang menghambarkan 

Di akhir hayat akan kutunaikan

Saat sang Khalik menyoal iman  

**

Ketahuilah wahai penaku

Kini Rembulan dan bintang tak lagi mau menghiasi malamku

Mentari pun tampak sekadarnya mengutus sinar

Menjadi teguran keras untuk kunalar

Tuhan, kusaksikan di sana ada petaka

Aku pura-pura tuli dan butakan mata hatiku

Karena aku tak bisa berbuat banyak

Setelah dinding pembatas berdiri tegak

Kukuatkan hati menyaksikan kolosal ini

Kucoba senyum tapi petaka terjadi lagi

Padahal aku tak ingin semua ini terjadi

Apalagi tega serapa dalam jampi

Pena yang cantik

Rajut dan lukislah cerita-cerita indah

Karena itu yang patut tuk dipetik

Agar cakrawala senantiasa membawa berkah 

**

Dalam kesendirianku di gubuk itu, kuyakinkan diri bahwa cerita hidup mesti harus terus berlanjut, harus mampu mengukir kisah yang lebih indah di atas kanpas kehidupan. 

Tetapi kapan cerita itu akan kembali berlanjut? Ketulusan dan waktu yang akan menjawab. Semuanya berlaku atas kehendak sang Khalik, Tuhan yang maha mengetahui segala yang tersirat di hati manusia.(*)

Btcv: 23112017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun