Pena cantik yang selama ini kugenggam, menemaniku melukiskan cerita hidup yang penuh liku. Suatu ketika, pena itu tiba-tiba hilang dariku. Siang malam kucari kemana gerangan, membuat hati gunda karena tak bisa lagi melukiskan cerita tentang indahnya dunia ciptaa-Nya.
Bagaimana pun, semua itu harus terus berlanjut, tapi bagaimana gerangan dengan pena untuk menulisnya? Apakah harus mencari gantinya agar cerita tak putus di tengah jalan? Atau harus terus mencari dan mencari di tengah belantara mimpi yang tak jelas dengan harapan ketika bangun saat fajar menyinsing ada hamba yang baik yang menemukan penaku dan sudi mengantarkannya kembali kepadaku?
Waktu terus berlalu, kisah itu tak kunjung berlanjut karena kuyakin seyakin-yakinnya, bahwa goresan pena yang lain tak akan sama dengan penaku yang hilang. Mencoba tuk menungu malam dengan harapan bulan dan bintang memberi kabar di mana gerangan keberadaannya. Kududuk diam sendiri, termenung menerawang jauh, menatap langit yang mendung. Bulan dan bintang tak kunjung muncul, bersembunyi di balik awan tebal.
Malam itu, sunggu sangat sejuk, angin bertiup kencang, gerimis mulai turun disusuli petir yang menggelegar membelah langit. Namun nalarku mencoba tuk berjalan menyusuri lorong waktu dengan harapan menemukan penaku yang hilang.
**
Di ujung lorong perjalananku, kucoba berhenti, berteduh di sebuah gubuk yang tak berpenghuni. Hujan semakin deras, petir keras tak kunjung usai, angin semakin bertiup kencang, dingin menusuk, terasa sampai ke tulang sum-sum, tubuhku mulai menggigil, kedua tanganku kutempelkan ke dada, saking dinginnya, kedua bibirku bergetar hingga gigiku yang beradu mengeluarkan suara. Di luar dugaan, tiba-tiba kutemukan secarik kertas yang basah kuyup menempel di dinding gubuk.
Kucoba menggapainya dengan penuh kehati-hatian, dalam rasa yang tak menentu, kubuka lipatannya perlahan agar tidak sobek. Ada sebait kata tertulis, kucoba lafalkan, ternyata kutemukan sinyal keberadaan penaku di sebuah tempat yang tak asing, namun sudah dipakai orang yang tak kukenal untuk menuliskan cerita hidupnya sendiri.
Pena cantik itu ternyata masih ada, tetapi hakikat dan wujudnya tak seperti dulu lagi. Apa gerangan yang terjadi? Kucoba membuka relung hati yang tak menentu, menyaring firasat agar tak salah menafsir. Tapi rasa ini telah membuat kantuk menjadi hilang, rasa lapar tak ingin menjamah makanan, rasa dahaga yang tak kunjung hilang walau sudah meneguk air yang sejuk.
Kuyakinkan diri ini bahwa mahluk-makhluk Tuhan di sekitar penaku tak mengerti tentang maksud, janji, niat, mufakat, dan harapan. Semuanya menafsirkan sendiri-sendiri mengikut hasrat nafsu masing-masing, dengan menggunakan alibi pembenaran dari rapuhnya sendi-sendiku yang sedari awal sudah kuakui dengan segala kerendahan diri.
Mahluk-mahluk Tuhan yang tak mau tahu tentang pencarianku, dengan angkuh menggaungkan kebenaran, seolah-olah diriku tak bisa membawa kebenaran, menggaungkan penyempurnaan agama tetapi tidak sadar bahwa mengambil sesuatu tanpa pengetahuan pemiliknya juga meruntuhkan agama dan melabelkan sesuatu tanpa menelisik terlebih dahulu secara faktual juga sama dengan melanggar ketentuan agama yang benci kezoliman.
**
Di gubuk reot itu, sambil terus menatap langit, berharap angin meniupkan awan supaya hujan tak terus turun mengguyur bumi yang sudah lama basah, agar bulan dan bintang segera datang menyinari raut wajahku yang pucat dalam lara.
Angin bertiup semakin kencang, tubuh ini semain menggigil. Suara cicak di atap gubuk menghiburku dan mengajakku berfikir untuk segera beranjak apakah akan melanjutkan mencari pena atau kembali merapihkan cerita yang terputus supaya ada kesudahannya.
Dalam pencarianku, kucoba mengarang puisi tentang "Rasa" di saat mencari penaku yang hilang itu, yang kini berada dalam genggaman orang lain.
Rasa Itu...
Ketika matahari terbenam di peraduannya
Tuhan memanggil hamba dengan seruan-Nya
Kuberhenti sejenak dari pencarianku
Tuk bermunajat dalam do'a yang panjang
Kuyakin Tuhan akan memberitahuku hakikat itu
Kuyakin Tuhan akan menafsirkan mimpi itu
Tentang cerita hidup yang harus terus berlanjut
Tentang rangkaian kata yang selama ini kurajut
Bulan dan bintang berbicara dalam heningnya malam
Tentang cerita hidup yang kini tak lagi menceriakan
Mentari akan ikut berkisah di pagi yang cerah
Tentang pena cantik yang tidak lagi dalam genggaman
Kuyakin Tuhan akan menunjukkan sesuatu
Sebuah berkah hidup dan juga nestapa
Kuyakin Tuhan akan memberitahumu wahai penaku
Bahwa menggapai akhirat harus dari dunia
**
Di hati ini ada goresan luka
Karena janji yang tak ditunaikan
Hembusan angin malam yang dingin
Menambah pedih hati yang luka
Aku tak ingin berontak
Aku tak ingin sak wasangka
Karena kutahu semuanya sadar
Ingin menyempurnakan ceritanya
Kisah ini akan disempurnakan
Dalam canda tawa yang menghambarkan
Di akhir hayat akan kutunaikan
Saat sang Khalik menyoal iman
**
Ketahuilah wahai penaku
Kini Rembulan dan bintang tak lagi mau menghiasi malamku
Mentari pun tampak sekadarnya mengutus sinar
Menjadi teguran keras untuk kunalar
Tuhan, kusaksikan di sana ada petaka
Aku pura-pura tuli dan butakan mata hatiku
Karena aku tak bisa berbuat banyak
Setelah dinding pembatas berdiri tegak
Kukuatkan hati menyaksikan kolosal ini
Kucoba senyum tapi petaka terjadi lagi
Padahal aku tak ingin semua ini terjadi
Apalagi tega serapa dalam jampi
Pena yang cantik
Rajut dan lukislah cerita-cerita indah
Karena itu yang patut tuk dipetik
Agar cakrawala senantiasa membawa berkah
**
Dalam kesendirianku di gubuk itu, kuyakinkan diri bahwa cerita hidup mesti harus terus berlanjut, harus mampu mengukir kisah yang lebih indah di atas kanpas kehidupan.
Tetapi kapan cerita itu akan kembali berlanjut? Ketulusan dan waktu yang akan menjawab. Semuanya berlaku atas kehendak sang Khalik, Tuhan yang maha mengetahui segala yang tersirat di hati manusia.(*)
Btcv: 23112017
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI