Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Humor Itu Serius dan Tidak Adil

22 Mei 2020   00:23 Diperbarui: 22 Mei 2020   13:03 2367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, lawakan Andre Taulany dan Rina Nose, oleh sebagian masyarakat, dinilai menyinggung kehormatan marga Latu (khususnya, Latuconsina). 

Saya jadi ingat petuah Teguh Srimulat yang saya tulis di buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa, "Segala sesuatu dapat dikomedikan. Masalahnya adalah tega atau tidak, tepat atau tidak?" Bisa jadi, sesuatu yang lucu malah menjadi perkara karena disampaikan pada ruang dan/atau waktu yang tidak tepat.

Pandangan Teguh itu kemudian dijadikan dasar pementasan komedi Srimulat yang memilih bermain aman dengan menghindari konten-konten SARA dan istiqomah pada tema-tema ringan yang terjadi di tengah keluarga.

Sementara itu, Seno Gumira Ajidarma (SGA), dalam bukunya Antara Tawa dan Bahaya (2012), mengatakan; humor itu tidak netral.

Hal ini karena makna dalam suatu humor tidak dapat dibakukan agar dapat berlaku sama terhadap segala sudut pandang. Humor, dengan begitu, berada di antara dua garis; menghibur atau menyinggung/menghina.

Nah! meskipun melucu (dan tertawa) tampak sebegitu ringannya ternyata tidak bebas dari beban pertanggungjawaban etis. Apalagi melucu di tengah masyarakat yang sedang mengalami kemiskinan senses of humor. Alih-alih mengundang tawa malah mengundang petaka. Bukannya mendapatkan apresiasi malah mendapatkan somasi.

Maka, melawak adalah pekerjaan yang tidak dapat dianggap enteng. Ada beban yang harus dicairkan di sana. Ada pertanggungjawaban etis yang harus diemban dan ada batas-batas yang harus diperhatikan.

Arwah Setiawan, mantan Ketua Lembaga Humor Indonesia, pernah bilang; humor itu serius. Saya sependapat. Saking seriusnya maka diperlukan kecerdasan dan kepekaan sosial dalam melawak. Kecerdasan dan kepekaan ini, selain berhubungan dengan konten lawakan, juga terkait pemilihan (dan adaptasi terhadap) ruang dan waktu.

Memang benar, pelawak adalah komponen masyarakat yang mempunyai kemerdekaan tertinggi. Posisinya sangat istimewa. Dalam seni wayang, kita mengenal Punakawan. 

Mereka dapat bicara dengan enteng di hadapan raja seperti bicara di depan khalayak saja. Meski demikian, ada unggah-ungguh yang tetap mereka pegang. Ada batas-batas yang mereka sadari (untuk tidak diterabas) demi menghormati raja atau lawan bicara (audience). Mereka istimewa, mereka merdeka, namun juga beradab.

Warkop DKI pernah melontarkan materi humor yang nyerempet-nyerempet bahaya ketika memarodikan (memelesetkan) marga-marga Batak. Apa jadinya jika humor tersebut disampaikan bukan oleh kelompok lawak tetapi oleh politisi? Respon masyarakat dan penguasa mungkin akan berbeda. Jika disampaikan oleh politisi, humor itu dapat mengoyak selaput sensitivitas serta mudah digoreng oleh lawan politik hingga akhirnya melahirkan kegaduhan sosial dan politik.

Meski demikian, Warkop DKI sebenarnya beruntung. Ketika mereka menyampaikan humor tersebut, masyarakat Indonesia tidak sedang mengalami kemiskinan sense of humor tapi kemiskinan kemerdekaan dan kemiskinan ekonomi. 

Jadi, saat itu, masyarakat mengalami kekangan dalam hal kebebasan (berpendapat) serta terhimpit secara ekonomi alias miskin. Maka, bagi hampir sebagian besar masyarakat saat itu, humor/berhumor adalah jalan ampuh untuk keluar dari keterhimpitan.

Keterhimpitan atau penderitaan yang dirasakan secara massal/komunal akan melahirkan sebuah kebutuhan yang sama, disadari maupun tidak, yaitu kebutuhan untuk melepaskan sumbatan yang menderitakan. Humor hadir untuk melawan rasa tertekan itu.

Dengan demikian, melawak dalam situasi masyarakat yang miskin kemerdekaan dan ekonomi, ancamannya justru bukan datang dari masyarakat tetapi dari penguasa. Selama penguasa merasa tidak 'terganggu', ya aman saja. Sebaliknya, jika penguasa terganggu, ganjarannya, bisa jadi, adalah penjara (atau nyawa?).

Tapi, harap tenang! Seingat saya, belum ada pelawak yang masuk bui gara-gara melawak. Kenapa? Karena pelawak itu mahluk istimewa. Mereka adalah komponen masyarakat dengan kemerdekaan tertinggi.

Di zaman kolonial, Ibu Sri Mulat pernah menciptakan dan memerankan karakter Srikandi Edan. Melalui tokoh edan, pendiri kelompok Srimulat itu melancarkan kritik dengan gaya orang gila nan lucu kepada pemerintah Hindia Belanda maupun kepada para priyayi dan bangsawan Jawa. Dipenjara? tidak. Karena ocehannya dianggap sebagai lelucon belaka.

Di zaman Orde Baru, sejarah komedi Indonesia mencatat ada Warkop DKI, Kwartet Jaya, Tomtam (Qomar CS/Empat Sekawan) dan Bagito Group yang tak jarang melontarkan konten-konten humor yang nyerempet-nyerempet politik dan penguasa.

Begitu pun yang dilakukan Butet Kertaredjasa yang secara karikaturis/komedikal menirukan tokoh-tokoh penting Orde Baru dalam pentas monolognya.

Mengapa mereka aman di zaman itu? Menurut saya, selain karena masyarakat saat itu memiliki sense of humor, juga karena para pelawak secara cerdas mampu meracik dan membungkus kritik dalam suatu humor. Di sisi lain, penguasa kala itu mungkin menyadari kegunaan humor. Maka, mereka membiarkan pelawak bekerja menghibur rakyat supaya rakyat lupa akan penderitaannya.

Kata kuncinya adalah kecerdasan dan kepekaan. Jika memiliki dua hal itu, pelawak akan dapat beradaptasi dengan baik dalam segala situasi masyarakat. Termasuk dalam situasi masyarakat yang mengalami kemiskinan sense of humor. 

Meskipun situasinya akan lebih rumit. Kenapa? Karena, masyarakat yang miskin rasa humor cenderung mudah tersinggung dan memiliki agresifitas yang berlebihan, tidak dapat melihat persoalan secara santuy serta mudah terjebak dalam kemelut hidup dan nestapa. Mereka miskin kreatifitas dalam memandang persoalan hidup.

Dalam situasi masyarakat seperti itu, humor bisa berujung pada kegemparan dan perkara alih-alih menghasilkan tawa. Bukan penguasa namun masyarakat yang memperkarakan.

Jika akhir-akhir ini kita merasa masyarakat gampang tersinggung oleh suatu humor, bisa jadi masyarakat kita sedang mengalami kemiskinan rasa humor. Bisa jadi juga, kita sedang mengalami kemiskinan pelawak (yang cerdas).

Apa pun itu, saya berharap, kondisi tersebut tidak meruntuhkan semangat para pelawak, apalagi sampai menghambat lahirnya pelawak-pelawak baru. Jangan sampai kita tidak punya pelawak karena bangsa tanpa pelawak adalah bangsa yang lemah.

Emha Ainun Nadjib pernah mengatakan dalam sebuah seminar di Ancol pada pertengahan Oktober 1994, seperti dikutip Darminto M. Sudarmo dalam bukunya Anatomi Lelucon di Indonesia (2004), "Sebuah bangsa boleh tidak punya koruptor, penjahat, debt collector, penipu, dan lain-lain; tetapi pelawak, harus punya. Bangsa yang tidak memiliki pelawak akan terkena malapetaka."

Semoga bangsa kita selamat!

*

Bintaro, 22 Mei 2020

Thrio Haryanto
Penikmat Humor dan Penulis Buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun