Beberapa waktu lalu, lawakan Andre Taulany dan Rina Nose, oleh sebagian masyarakat, dinilai menyinggung kehormatan marga Latu (khususnya, Latuconsina).Â
Saya jadi ingat petuah Teguh Srimulat yang saya tulis di buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa, "Segala sesuatu dapat dikomedikan. Masalahnya adalah tega atau tidak, tepat atau tidak?" Bisa jadi, sesuatu yang lucu malah menjadi perkara karena disampaikan pada ruang dan/atau waktu yang tidak tepat.
Pandangan Teguh itu kemudian dijadikan dasar pementasan komedi Srimulat yang memilih bermain aman dengan menghindari konten-konten SARA dan istiqomah pada tema-tema ringan yang terjadi di tengah keluarga.
Sementara itu, Seno Gumira Ajidarma (SGA), dalam bukunya Antara Tawa dan Bahaya (2012), mengatakan; humor itu tidak netral.
Hal ini karena makna dalam suatu humor tidak dapat dibakukan agar dapat berlaku sama terhadap segala sudut pandang. Humor, dengan begitu, berada di antara dua garis; menghibur atau menyinggung/menghina.
Nah! meskipun melucu (dan tertawa) tampak sebegitu ringannya ternyata tidak bebas dari beban pertanggungjawaban etis. Apalagi melucu di tengah masyarakat yang sedang mengalami kemiskinan senses of humor. Alih-alih mengundang tawa malah mengundang petaka. Bukannya mendapatkan apresiasi malah mendapatkan somasi.
Maka, melawak adalah pekerjaan yang tidak dapat dianggap enteng. Ada beban yang harus dicairkan di sana. Ada pertanggungjawaban etis yang harus diemban dan ada batas-batas yang harus diperhatikan.
Arwah Setiawan, mantan Ketua Lembaga Humor Indonesia, pernah bilang; humor itu serius. Saya sependapat. Saking seriusnya maka diperlukan kecerdasan dan kepekaan sosial dalam melawak. Kecerdasan dan kepekaan ini, selain berhubungan dengan konten lawakan, juga terkait pemilihan (dan adaptasi terhadap) ruang dan waktu.
Memang benar, pelawak adalah komponen masyarakat yang mempunyai kemerdekaan tertinggi. Posisinya sangat istimewa. Dalam seni wayang, kita mengenal Punakawan.Â
Mereka dapat bicara dengan enteng di hadapan raja seperti bicara di depan khalayak saja. Meski demikian, ada unggah-ungguh yang tetap mereka pegang. Ada batas-batas yang mereka sadari (untuk tidak diterabas) demi menghormati raja atau lawan bicara (audience). Mereka istimewa, mereka merdeka, namun juga beradab.
Warkop DKI pernah melontarkan materi humor yang nyerempet-nyerempet bahaya ketika memarodikan (memelesetkan) marga-marga Batak. Apa jadinya jika humor tersebut disampaikan bukan oleh kelompok lawak tetapi oleh politisi? Respon masyarakat dan penguasa mungkin akan berbeda. Jika disampaikan oleh politisi, humor itu dapat mengoyak selaput sensitivitas serta mudah digoreng oleh lawan politik hingga akhirnya melahirkan kegaduhan sosial dan politik.