Sarpin memeluk pusara Sarpini, perempuan yang sangat dicintainya. Bukan hanya tak mampu membendung air matanya, lelaki itu menangis meraung-raung hingga membangunkan serangga dan segala binatang penghuni tanah makam.Â
Tangisannya membelah kesunyian malam dan mengusik perempuan-perempuan lacur yang sedang menjajakan diri di dekat tanah makam, mereka buyar tunggang langgang seperti laron mencari cahaya. Sarpini, cinta sejati Sarpin itu, meninggal tadi pagi lalu dimakamkan selepas dzuhur.
Sejak mengenal cinta, Sarpin hanya mengenal Sarpini, perempuan yang menghabiskan masa perawannya sebagai penjual nasi di sebuah pangkalan truk. Cinta mereka lahir sejak pandangan pertama. Namun, sejak itu pula mereka ingkar satu sama lain. Tak ada yang mau mengakui.
Nok Pini, begitu dia biasa dipanggil, berbadan sintal dan memiliki wajah manis dengan mata yang bulat. Kulitnya sawo matang. Giginya gingsul dan hidungnya tidak bangir, malah cenderung mungil.Â
Namun, hidung mungil itulah yang membuat wajahnya makin manis dan nggemesake. Tak hanya lelaki, perempuan sekali pun pasti ingin memencet hidung mungilnya itu.
Namanya cinta, makin lama tak diungkap justru makin kentara. Hampir semua sopir truk dan para kernet sudah mahfum, Sarpin dan Sarpini saling suka. Lama kelamaan hati Sarpin menjadi Merbabu yang hendak meletus karena menyimpan asmara. Maka, di bawah pancaran sinar petromaks, ketika bohlam listrik negara padam, Sarpin mengungkapkan cintanya meskipun dengan bahasa yang belepotan dan berputar-putar.
"Sakjane mau ngomong opo to, Mas? Dari tadi muter-muter kayak motor tong setan!"
"Ee, anu, ee, nggak. Ee, tapi, omong-omong, ee anu..." Sarpin gelagapan, "Kamu pernah dengar cerita Roro Mendut, Nok?"
"Pronocitro?"
Sarpin mengangguk. "Bapakku sering cerita. Mendut itu asalnya dari sini, to? Dari Pati,"
"Wis to, Mas... kamu sebenernya arepe ngomong opo?"
"Kamu mau jadi Mendutku, Nok?"
Pini memandang lekat-lekat Sarpin. Pemuda 28 tahun itu jelas bukan Pronocitro idaman Roro Mendut. Sarpin hanya seorang sopir truk. Jauh, jauh jika diperbandingkan dengan Pronocitro yang anak saudagar.
Tapi, Pini juga sadar, dirinya bukan Mendut. Jauh juga jika diperbandingkan dengan dara ayu yang demi cintanya kepada Pronocitro berani melawan pinangan seorang Panglima Mataram bernama Wiraguna.
"Kamu nggak mau ya, Nok?"
"Tergantung."
"Tergantung opo?"
"Kamu Pronocitro apa Wiraguna?"
"Yang jelas bukan Wiraguna."
Pini tersenyum, diraihnya tangan Sarpin lalu diciumnya. Sekali lagi, ia tersenyum lalu memandang Sarpin. Mata mereka saling menatap seolah sedang saling mengikat. Â
Deklarasi cinta mereka disaksikan oleh pancaran sinar petromaks. Malam makin tua, Sarpin harus kembali melanjutkan perjalanan. Sebuah perjalanan yang berat karena separuh jiwanya tertinggal.
Bukan hanya perjalanan saat itu, namun juga perjalanan-perjalanan berikutnya. Apalagi mereka tidak dapat bertemu setiap saat. Jangankah setiap hari, seminggu sekali pun sudah keberuntungan. Â
Jalinan komunikasi hanya dapat dilakukan melalui pesan pendek, sesekali melalui sambungan telepon. Maka, ketika mereka berkesempatan bertemu, mereka akan menghabiskan segala waktu untuk menumpahkan kerinduan.
"Aku kangen," ucap Sarpin.
"Jangan keseringan bilang kangen, cukup sesekali saja biar aku makin merasa," timpal Pini sambil menggenggam erat tangan kekasihnya, di belakang truk.
Begitulah, waktu terus mematri cinta mereka hari demi hari. Hingga suatu perkara terjadi. Anak seorang pedagang kaya melamar Pini. Orang tuanya setuju. Dan dengan berbagai dalih, Pini dibikin tak berkutik.
Hati Sarpin hancur berderai oleh kabar itu. Serpihan-serpihan hatinya tercecer di sepanjang jalan yang dilaluinya, dibiarkannya terlindas berbagai macam kendaraan. Oh, Pini, kamu memang bukan Roro Mendut.
Perkawinan Pini dengan suaminya hanya seumur jagung. Pini dicerai karena selalu menolak hubungan badan. Pini beralasan takut melihat kemaluan suaminya yang besar.
Padahal itu alasan belaka karena sesungguhnya Pini masih belum bisa melupakan Sarpin. Semula, suaminya dapat memaklumi alasan itu bahkan ia merasa bangga -- dan ia ceritakan pula kepada teman-temannya -- karena ada bagian tubuhnya yang ditakuti. Namun, lama-kelamaan kesabarannya habis sudah. Dia berusaha memaksakan kehendak.Â
Sayang seribu sayang, rencananya gagal total bahkan menciptakan kehebohan karena Pini berontak, menjerit-jerit hingga mengundang para tetangga datang. Esok pagi setelah kejadian itu, Pini ditalak tiga. Kandas sudah perkawinan mereka.
Empat bulan setelah cerai, Pini kembali menjalin kasih dengan Sarpin. Mereka lalu kawin sebulan kemudian. Kehidupan mereka berjalan bahagia meskipun tak seorang anak pun hadir di tengah-tengah mereka.Â
Tak jua luruh cinta mereka meskipun keserba-pas-pasan senantiasa menemani kehidupan perekonomian mereka. Buat mereka, ukuran kebahagiaan bukanlah keadaan namun keberadaan.Â
Sarpin memang tidak selalu berada di samping Sarpini, namun cinta kasihnya selalu dirasakan di hatinya. Demikian sebaliknya. Kuasa cinta itulah yang membuat Sarpini tidak dapat menerima laki-laki lain.
*
Malam mulai menepi, dinginnya makin menjadi. Satu persatu serangga malam mulai menarik selimutnya. Sarpin masih bersimpuh di samping makam Sarpini. Air matanya tak kunjung mengering. Tak habis-habisnya ia memanggil nama istri tercintanya.
"Sudah, Pin. Kamu harus sabar," suara seorang lelaki mengagetkan Sarpin, "Malam sudah hampir habis, saatnya kamu pulang,"
Sarpin bangkit, lalu menyeka air matanya. "Aku pulang dulu, Nok. Aku kangen. Aku nggak sabar nunggu tujuh harimu biar kita bisa ketemu lagi," ucapnya, lalu beranjak menuju pusaranya sendiri, kubur yang telah ia huni sejak lima tahun lalu, sejak ia meninggal karena kecelakan.
***
Bintaro, 16 Mei 2020
@thriologi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H