Deklarasi cinta mereka disaksikan oleh pancaran sinar petromaks. Malam makin tua, Sarpin harus kembali melanjutkan perjalanan. Sebuah perjalanan yang berat karena separuh jiwanya tertinggal.
Bukan hanya perjalanan saat itu, namun juga perjalanan-perjalanan berikutnya. Apalagi mereka tidak dapat bertemu setiap saat. Jangankah setiap hari, seminggu sekali pun sudah keberuntungan. Â
Jalinan komunikasi hanya dapat dilakukan melalui pesan pendek, sesekali melalui sambungan telepon. Maka, ketika mereka berkesempatan bertemu, mereka akan menghabiskan segala waktu untuk menumpahkan kerinduan.
"Aku kangen," ucap Sarpin.
"Jangan keseringan bilang kangen, cukup sesekali saja biar aku makin merasa," timpal Pini sambil menggenggam erat tangan kekasihnya, di belakang truk.
Begitulah, waktu terus mematri cinta mereka hari demi hari. Hingga suatu perkara terjadi. Anak seorang pedagang kaya melamar Pini. Orang tuanya setuju. Dan dengan berbagai dalih, Pini dibikin tak berkutik.
Hati Sarpin hancur berderai oleh kabar itu. Serpihan-serpihan hatinya tercecer di sepanjang jalan yang dilaluinya, dibiarkannya terlindas berbagai macam kendaraan. Oh, Pini, kamu memang bukan Roro Mendut.
Perkawinan Pini dengan suaminya hanya seumur jagung. Pini dicerai karena selalu menolak hubungan badan. Pini beralasan takut melihat kemaluan suaminya yang besar.
Padahal itu alasan belaka karena sesungguhnya Pini masih belum bisa melupakan Sarpin. Semula, suaminya dapat memaklumi alasan itu bahkan ia merasa bangga -- dan ia ceritakan pula kepada teman-temannya -- karena ada bagian tubuhnya yang ditakuti. Namun, lama-kelamaan kesabarannya habis sudah. Dia berusaha memaksakan kehendak.Â
Sayang seribu sayang, rencananya gagal total bahkan menciptakan kehebohan karena Pini berontak, menjerit-jerit hingga mengundang para tetangga datang. Esok pagi setelah kejadian itu, Pini ditalak tiga. Kandas sudah perkawinan mereka.
Empat bulan setelah cerai, Pini kembali menjalin kasih dengan Sarpin. Mereka lalu kawin sebulan kemudian. Kehidupan mereka berjalan bahagia meskipun tak seorang anak pun hadir di tengah-tengah mereka.Â
Tak jua luruh cinta mereka meskipun keserba-pas-pasan senantiasa menemani kehidupan perekonomian mereka. Buat mereka, ukuran kebahagiaan bukanlah keadaan namun keberadaan.Â