Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Juni

4 Desember 2019   08:08 Diperbarui: 5 Desember 2019   10:02 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Juni. Ya, sependek itu namaku. Dan aku lahir di Bulan Agustus. Ayahku adalah penggemar puisi dan prosa Sapardi Djoko Damono. Itulah kenapa ayah turut terpikat dengan hujan dan Bulan Juni. Jadi, kau tak perlu lagi bertanya mengapa namaku Juni padahal aku lahir di Bulan Agustus. Tapi nama adalah doa, kata banyak orang. Kecuali namaku.

"Namamu juga doa, Nak," ucap ayah usai menyeruput kopi hitam kesukaannya.

Oh iya, Ayah adalah penggemar kopi. Dia selalu menyeduh sendiri kopinya. Tak pernah memercayakan kepada siapa pun untuk urusan itu kecuali kepada barista di kedai kopi langganannya. Namun, sejak kedai kopi itu membikin kopi saring sachetan, dia mulai percaya pada Ibu untuk menyeduhnya. Cukup sekali diberi contoh, Ibu langsung terampil.

Juni adalah bulan peralihan, lanjut ayah, semesta bergerak dari musim penghujan menuju kemarau. Jika hujan masih turun di bulan Juni, ia akan turun begitu tabah.

"Ah, ayah terpengaruh SDD," selorohku.

Ayah tersenyum, kemudian menyesap kopi hitamnya sekali lagi.

"Jika kau dapat mendengar hujan di bulan Juni, ayah yakin kau tak akan bertanya-tanya tentang namamu."

Aku mengernyitkan dahi.

"Hujan bulan Juni adalah sebuah pengharapan sekaligus pewanti-wanti,"

"Bukannya sebuah perpisahan?" Tanyaku, "Juni kan bulan peralihan musim, maka hujan bulan Juni adalah sebuah perpisahan."

"Betul, tapi bukan sekadar itu," kilah Ayah, "ia adalah perpisahan yang berat,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun