Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Polisi yang Mati di Depan Pelapor

11 Oktober 2016   21:15 Diperbarui: 12 Oktober 2016   17:32 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: cananlaw.com

Dua orang pria duduk berhadapan, suatu malam di sebuah ruangan. Mereka dipisahkan sebuah meja di mana terdapat layar komputer menghadap salah seorangnya yang berpakaian dinas kepolisian. Layar komputer itu tidak menghadap persis, posisinya agak menyamping dan serong sehingga tidak menghalangi pandangannya terhadap orang yang duduk di depannya.

“Apakah Anda menyimpan foto si pembunuh?” tanya polisi kepada tamunya, seorang pria berjaket yang hendak melaporkan suatu pembunuhan.

“Tidak. Saya hanya punya cerita tentangnya.”

“Kalau begitu, ceritakanlah.”

“Badannya kurus,” pelapor itu mulai bercerita, “beratnya tidak lebih dari 62 kilo. Sepertinya dia jarang makan, atau bahkan tidak pernah makan sama sekali. Sungguh, dia sangat kurus dengan badan setinggi 172cm itu.”

“Bentuk wajahnya oval dengan dagu terbelah.” Pelapor itu berhenti sejenak seperti sedang mengingat-ingat, kemudian ia melanjutkan, “Tidak, dia tidak berkumis. Sepertinya dia kekurangan hormon penumbuh rambut di wajah. Kedua alisnya pun tipis dengan tanjakan tajam di bagian tengah.”

Polisi yang usianya genap 40 tahun pada seminggu lalu itu mendengarkan dengan baik dan mengetik dengan baik pula di komputernya semua cerita yang ia dengar dari si pelapor.

“Matanya kecil namun memiliki tatapan yang tajam,” pelapor itu melanjutkan, “saat dia menatap calon korban, matanya berkilatan seperti mata kucing yang memantulkan cahaya di tengah kegelapan.”

Tepat ketika pelapor itu mengatakan demikian, polisi itu merasakan darahnya mengalir deras di dalam tubuhnya yang membuat bulu-bulu halus di tengkuknya berdiri. Sejenak, polisi itu melihat ke sekeliling ruangannya. Tidak ada satu pun rekannya di ruangan kantor Polsek itu.

“Dengan apa dia membunuh korbannya?” tanyanya dengan nada sedikit bergetar.

Pelapor meraba-raba kantong jaketnya. Dari kantong sebelah kanan, ia mengeluarkan sebilah belati. Polisi itu memundurkan duduknya. “Dengan belati,” kata si pelapor sambil meletakkan belati itu di hadapannya.

Polisi itu melihat kilatan cahaya lampu memantul dari belati milik si pelapor. Entahlah, tiba-tiba dia teringat kepada istrinya yang tengah hamil tua yang diperkirakan akan segera melahirkan tepat pada hari ia harus membayar uang masuk SMP anak pertamanya. Tak ada rekannya di ruangan itu, hanya sebuah standing-fan yang berdiri di pojok ruangan yang menghembuskan hawa yang terasa semakin dingin.

“Mengapa dia membunuh?” tanyanya kemudian seraya mengamati wajah tamunya. Alisnya berbaris tipis dengan tanjakan tajam di bagian tengahnya, matanya kecil, wajahnya lonjong dengan dagu sedikit terbelah.

“Saya tidak tahu persis,” jawab pria pelapor itu sambil merebahkan tubuhnya di punggung kursi. Sejurus kemudian dia menyondongkan badannya ke depan, “Namun saya mendengar apa yang dikatakannya sebelum dia membunuh,” ucapnya dengan suara pelan.

Polisi itu menggerakkan kepalanya sedikit menyerong ke kiri, memasang telinga kanannya untuk menyimak betul apa yang hendak dikatakan si pelapor.

“Aku adalah utusan Tuhan,” kata pria pelapor itu menirukan ucapan si pembunuh, “kematian adalah jalan terbaik bagi orang-orang baik agar tak terseret dalam keburukan dunia,” sambungnya masih menirukan ucapan si pembunuh.

Polisi itu terbatuk, atau sekadar menyingkirkan sesuatu yang tiba-tiba terasa mengganjal di tengorokannya. “Sepertinya dia terobsesi dengan kematian,” ucapnya.

“Apakah Anda sudah sampai pada kesimpulan?”

“Ee tidak. Belum. Saya hanya mengomentari,” jawab polisi, “atas nama pribadi.”

“Sudah berapa lama Anda jadi polisi?”

“Sejak usia dua puluh. Kenapa Anda tanyakan hal itu?”

Bukannya menjawab, si pelapor malah bertanya lagi, “Sudah berapa lama Anda duduk di belakang meja ini?”

“Enam belas tahun. Dan itu bukan urusan Anda,” ucap polisi itu sekaligus menegaskan suatu perkara di luar perkara yang sedang diperkarakan.

“Bagaimana cara dia membunuh korbannya?” tanya polisi berusaha mengembalikan pembicaraan mereka pada jalur yang semestinya.

“Sepertinya lidah Anda tidak terlalu licin,” ucap si pelapor tak menjawab pertanyaan polisi.

“Apa maksud Anda?”

“Ah, saya hanya mengomentari,” jawab si pelapor, kemudian dengan sedikit berbisik dia melanjutkan, “atas nama pribadi.”

Polisi itu hampir kehilangan kesabarannya jika saja tak segera sadar bahwa ia sedang bertugas dan ia adalah seorang polisi. “Sebaiknya Anda menjawab pertanyaan saya. Bagaimana dia membunuh korbannya?”

Si pelapor menghela nafas. Belati yang semula di atas meja kini berpindah sudah ke dalam genggaman tangan kanannya. Kemudian ia menyondongkan badannya ke depan. Refleks, polisi itu memundurkan badannya. Gerakan keduanya seperti dua medan magnet sejenis yang saling bertemu.

“Aku adalah utusan Tuhan,” ucap si pelapor, “Ketahuilah, kematian adalah jalan terbaik bagi orang-orang baik agar tak terseret dalam keburukan dunia.” Mata lelaki itu mendadak berkilatan seperti mata kucing yang memantulkan cahaya di tengah kegelapan.

Bersamaan dengan akhir ucapan si pelapor, lampu ruangan Polsek seketika padam. Gelap. Senyap. Entah ke mana perginya suara.

Kurang lebih lima menit setelah kejadian itu, dua orang polisi datang memasuki ruangan. Salah satunya menyalakan lampu. Betapa kagetnya mereka ketika menemukan seorang rekannya duduk terpaku dengan tatapan mata kosong. Tiada siapa pun selain dia. Tiada darah setetes pun keluar dari tubuhnya. Pun, tiada lagi nafas di tubuhnya.

***

Jakarta, 11 Oktober 2016
@thriologi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun