Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Polisi yang Mati di Depan Pelapor

11 Oktober 2016   21:15 Diperbarui: 12 Oktober 2016   17:32 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: cananlaw.com

Polisi itu melihat kilatan cahaya lampu memantul dari belati milik si pelapor. Entahlah, tiba-tiba dia teringat kepada istrinya yang tengah hamil tua yang diperkirakan akan segera melahirkan tepat pada hari ia harus membayar uang masuk SMP anak pertamanya. Tak ada rekannya di ruangan itu, hanya sebuah standing-fan yang berdiri di pojok ruangan yang menghembuskan hawa yang terasa semakin dingin.

“Mengapa dia membunuh?” tanyanya kemudian seraya mengamati wajah tamunya. Alisnya berbaris tipis dengan tanjakan tajam di bagian tengahnya, matanya kecil, wajahnya lonjong dengan dagu sedikit terbelah.

“Saya tidak tahu persis,” jawab pria pelapor itu sambil merebahkan tubuhnya di punggung kursi. Sejurus kemudian dia menyondongkan badannya ke depan, “Namun saya mendengar apa yang dikatakannya sebelum dia membunuh,” ucapnya dengan suara pelan.

Polisi itu menggerakkan kepalanya sedikit menyerong ke kiri, memasang telinga kanannya untuk menyimak betul apa yang hendak dikatakan si pelapor.

“Aku adalah utusan Tuhan,” kata pria pelapor itu menirukan ucapan si pembunuh, “kematian adalah jalan terbaik bagi orang-orang baik agar tak terseret dalam keburukan dunia,” sambungnya masih menirukan ucapan si pembunuh.

Polisi itu terbatuk, atau sekadar menyingkirkan sesuatu yang tiba-tiba terasa mengganjal di tengorokannya. “Sepertinya dia terobsesi dengan kematian,” ucapnya.

“Apakah Anda sudah sampai pada kesimpulan?”

“Ee tidak. Belum. Saya hanya mengomentari,” jawab polisi, “atas nama pribadi.”

“Sudah berapa lama Anda jadi polisi?”

“Sejak usia dua puluh. Kenapa Anda tanyakan hal itu?”

Bukannya menjawab, si pelapor malah bertanya lagi, “Sudah berapa lama Anda duduk di belakang meja ini?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun