Polisi itu melihat kilatan cahaya lampu memantul dari belati milik si pelapor. Entahlah, tiba-tiba dia teringat kepada istrinya yang tengah hamil tua yang diperkirakan akan segera melahirkan tepat pada hari ia harus membayar uang masuk SMP anak pertamanya. Tak ada rekannya di ruangan itu, hanya sebuah standing-fan yang berdiri di pojok ruangan yang menghembuskan hawa yang terasa semakin dingin.
“Mengapa dia membunuh?” tanyanya kemudian seraya mengamati wajah tamunya. Alisnya berbaris tipis dengan tanjakan tajam di bagian tengahnya, matanya kecil, wajahnya lonjong dengan dagu sedikit terbelah.
“Saya tidak tahu persis,” jawab pria pelapor itu sambil merebahkan tubuhnya di punggung kursi. Sejurus kemudian dia menyondongkan badannya ke depan, “Namun saya mendengar apa yang dikatakannya sebelum dia membunuh,” ucapnya dengan suara pelan.
Polisi itu menggerakkan kepalanya sedikit menyerong ke kiri, memasang telinga kanannya untuk menyimak betul apa yang hendak dikatakan si pelapor.
“Aku adalah utusan Tuhan,” kata pria pelapor itu menirukan ucapan si pembunuh, “kematian adalah jalan terbaik bagi orang-orang baik agar tak terseret dalam keburukan dunia,” sambungnya masih menirukan ucapan si pembunuh.
Polisi itu terbatuk, atau sekadar menyingkirkan sesuatu yang tiba-tiba terasa mengganjal di tengorokannya. “Sepertinya dia terobsesi dengan kematian,” ucapnya.
“Apakah Anda sudah sampai pada kesimpulan?”
“Ee tidak. Belum. Saya hanya mengomentari,” jawab polisi, “atas nama pribadi.”
“Sudah berapa lama Anda jadi polisi?”
“Sejak usia dua puluh. Kenapa Anda tanyakan hal itu?”
Bukannya menjawab, si pelapor malah bertanya lagi, “Sudah berapa lama Anda duduk di belakang meja ini?”