Dua orang pria duduk berhadapan, suatu malam di sebuah ruangan. Mereka dipisahkan sebuah meja di mana terdapat layar komputer menghadap salah seorangnya yang berpakaian dinas kepolisian. Layar komputer itu tidak menghadap persis, posisinya agak menyamping dan serong sehingga tidak menghalangi pandangannya terhadap orang yang duduk di depannya.
“Apakah Anda menyimpan foto si pembunuh?” tanya polisi kepada tamunya, seorang pria berjaket yang hendak melaporkan suatu pembunuhan.
“Tidak. Saya hanya punya cerita tentangnya.”
“Kalau begitu, ceritakanlah.”
“Badannya kurus,” pelapor itu mulai bercerita, “beratnya tidak lebih dari 62 kilo. Sepertinya dia jarang makan, atau bahkan tidak pernah makan sama sekali. Sungguh, dia sangat kurus dengan badan setinggi 172cm itu.”
“Bentuk wajahnya oval dengan dagu terbelah.” Pelapor itu berhenti sejenak seperti sedang mengingat-ingat, kemudian ia melanjutkan, “Tidak, dia tidak berkumis. Sepertinya dia kekurangan hormon penumbuh rambut di wajah. Kedua alisnya pun tipis dengan tanjakan tajam di bagian tengah.”
Polisi yang usianya genap 40 tahun pada seminggu lalu itu mendengarkan dengan baik dan mengetik dengan baik pula di komputernya semua cerita yang ia dengar dari si pelapor.
“Matanya kecil namun memiliki tatapan yang tajam,” pelapor itu melanjutkan, “saat dia menatap calon korban, matanya berkilatan seperti mata kucing yang memantulkan cahaya di tengah kegelapan.”
Tepat ketika pelapor itu mengatakan demikian, polisi itu merasakan darahnya mengalir deras di dalam tubuhnya yang membuat bulu-bulu halus di tengkuknya berdiri. Sejenak, polisi itu melihat ke sekeliling ruangannya. Tidak ada satu pun rekannya di ruangan kantor Polsek itu.
“Dengan apa dia membunuh korbannya?” tanyanya dengan nada sedikit bergetar.
Pelapor meraba-raba kantong jaketnya. Dari kantong sebelah kanan, ia mengeluarkan sebilah belati. Polisi itu memundurkan duduknya. “Dengan belati,” kata si pelapor sambil meletakkan belati itu di hadapannya.