Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta adalah Mitos Sastra, Feromon Penyebabnya

3 Desember 2024   18:00 Diperbarui: 4 Desember 2024   06:22 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterikatan rangsangan yang orang lain sebut itu sebagai Jatuh Cinta. (Image source: IDN Times)

Cinta adalah sebuah kata yang banyak termaktub dalam berbagai tulisan sastra, dari buku novel, lirik di lagu, sampai berbagai tema inti dari film yang selalu kita nikmati di berbaga platform hiburan. Digambarkan sebagai puncak keindahan, yang dengan merasakannya setengah bagian dari tubuh kita dianggap telah merasakan keindahan surga.

Cinta adalah sebuah kata yang memuat segalanya, dari penggambaran paling utuh penyair dan dramaturgi Shakespeare, hingga para penulis lirik lagu-lagu pop masa kini. Cinta diyakini sebagai kekuatan dahsyat yang mampu mengubah dunia, menginspirasi para seniman besar untuk menelurkan karya agung, sampai dengan memicu berbagai peperangan dahsyat di era kerajaan. 

Tapi jika kita mau mengambil satu langkah mundur, dan menghela satu tarikan napas sejenak dan melihat cinta dari sudut pandang yang lebih membumi, atau bahkan radikal. Jawab pertanyaan ini "Apakah cinta, yang dianggap sebagai inti dari keberadaan manusia, nyatanya tidak lebih dari efek kimiawi otak manusia sebagai stimulus dan dorongan hewaniah untuk berkembang biak?"

Sebagai manusia modern, kita sering kali lupa bahwa tubuh kita, dengan segala kerumitan pikiran dan emosinya yang mendalam untuk merefleksikan kalau kita semua adalah mesin biologis yang diatur oleh hukum alam, tidak bisa menolak. Setiap perasaan yang kita alami, termasuk cinta, berasal dari aktivitas kimia di otak. Dengan ini, gagasan cinta sebagai pengalaman spiritual atau romantis mungkin hanyalah cara kita, sebagai makhluk berkesadaran, untuk memberikan makna lebih dalam pada reaksi tubuh yang sepenuhnya biologis.

Secara medis, cinta memang tidak lebih dari rangkaian reaksi kimia. Ketika kita jatuh cinta, tubuh melepaskan campuran hormon dan neurotransmitter yang membanjiri otak, seperti dopamin, oksitosin, dan serotonin. Dopamin, misalnya, bertanggung jawab atas perasaan senang dan puas, dan itulah yang membuat kita merasa euforia saat berada di dekat seseorang yang kita cintai. Oksitosin, sering disebut sebagai "hormon pelukan," menciptakan rasa kedekatan dan keintiman. Sementara serotonin, meski sering dianggap sebagai hormon kebahagiaan, justru sering menurun pada fase awal cinta, membuat kita terobsesi pada pasangan kita.

Feromon, senyawa kimia yang diproduksi kelenjar keringat, juga memainkan peran penting. Feromon berfungsi sebagai "sinyal kimia" yang dikirimkan oleh tubuh untuk menarik pasangan. Meski secara sadar kita mungkin tidak menyadari kehadiran feromon, tubuh kita meresponsnya dengan cara yang sangat mendasar, memicu daya tarik yang agak sulit untuk dijelaskan oleh logika.

Jika semua ini terdengar seperti biologi murni, itu karena memang demikian adanya. Cinta, dalam bentuknya yang paling dasar, adalah cara tubuh kita memastikan kelangsungan spesies. Kita mungkin merasa bahwa kita memilih pasangan berdasarkan kesamaan minat atau kepribadian, tetapi dalam banyak kasus, biologi kitalah yang membuat keputusan.

Mitos Cinta Romantis dan Realitas Hewaniah Manusia.

Budaya telah memainkan peran besar dalam membentuk persepsi kita tentang cinta. Film, buku, dan lagu menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang magis, unik, dan tak tergantikan. Padahal, cinta sering kali lebih mirip insting hewaniah yang dimanipulasi oleh konteks sosial dan budaya. Pada dasarnya, manusia adalah hewan dengan naluri dasar yang sama seperti makhluk lainnya: mencari pasangan yang dianggap ideal untuk reproduksi.

Jika kita melihat perilaku hewan, kita akan menemukan banyak paralel. Burung merak jantan, misalnya, memamerkan bulunya untuk menarik pasangan. Kucing memproduksi suara tertentu untuk menunjukkan kesiapan kawin. Dalam banyak cara, kita juga melakukan hal yang sama, hanya saja dengan cara yang lebih kompleks. Parfum yang kita gunakan, cara kita berpakaian, hingga nada suara kita, semuanya dirancang, secara sadar atau tidak sebagai cara untuk menarik pasangan.

Namun, manusia juga berbeda dari hewan karena kita memiliki kemampuan untuk memaknai dan meromantisasi pengalaman kita. Kita tidak hanya mencintai; kita menulis puisi tentang cinta, menciptakan lagu tentang patah hati, dan membuat janji abadi kepada pasangan kita. Tetapi pada intinya, semua ini adalah cara kita untuk memberikan makna pada dorongan biologis yang pada dasarnya sederhana.

Cinta Tidak Pernah Ada, Hanya Daya Tarik Ilusi Manusia.

Kalimat ini mungkin terdengar provokatif, tetapi mari kita renungkan. Jika cinta hanyalah reaksi kimia dan dorongan biologis, maka apa yang sebenarnya kita rasakan ketika kita mengatakan "aku mencintaimu"? Jawabannya, sebagian besar, adalah ilusi yang diperkuat oleh budaya dan ekspektasi sosial. Kita diajarkan sejak kecil bahwa cinta adalah tujuan hidup, bahwa menemukan pasangan yang sempurna adalah kunci kebahagiaan, dan bahwa hidup tanpa cinta adalah hidup yang tidak lengkap.

Tapi bagaimana jika kita melepaskan semua itu? Bagaimana jika kita mengakui bahwa cinta tidak lebih dari cara otak kita mengatur hubungan dan reproduksi? Mungkin kita akan melihat cinta dengan cara yang lebih jujur---bukan sebagai kekuatan mistis, tetapi sebagai bagian dari mekanisme evolusi.

Lalu, Mengapa Kita Butuh Cinta (Atau Setidaknya Percaya Padanya)?

Meskipun cinta hanyalah reaksi kimia, itu tidak berarti cinta tidak penting. Faktanya, cinta memainkan peran besar dalam keberlangsungan manusia. Cinta romantis, misalnya, membantu membangun ikatan antara pasangan, yang pada gilirannya meningkatkan peluang anak-anak mereka untuk bertahan hidup. Cinta juga menciptakan koneksi emosional yang mendalam, yang dapat meningkatkan kesejahteraan mental dan fisik.

Namun, ada argumen bahwa kita tidak benar-benar membutuhkan cinta romantis untuk menjalani hidup yang memuaskan. Banyak hubungan yang berhasil didasarkan pada rasa hormat, pengertian, dan kerja sama---elemen yang mungkin lebih mendasar daripada perasaan cinta itu sendiri. Bahkan, beberapa budaya memiliki konsep hubungan yang tidak melibatkan cinta romantis sama sekali, tetapi tetap harmonis dan produktif.

Benturan Antara Logika dan Emosi.

Jadi, di mana kita berdiri? Haruskah kita meninggalkan gagasan cinta sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar reaksi kimia, atau haruskah kita terus memeluk ilusi ini karena manfaat emosionalnya?

Jawaban mungkin terletak di antara keduanya. Mengakui bahwa cinta adalah hasil dari proses biologis tidak berarti kita harus menafikan pengalaman emosional yang menyertainya. Sebaliknya, dengan memahami mekanisme di balik cinta, kita dapat lebih bijaksana dalam mengelola hubungan kita. Kita dapat menghargai momen-momen indah yang dibawa oleh cinta, sambil tetap menyadari bahwa pada intinya, itu semua adalah hasil dari otak yang bekerja.

Cinta, meskipun hanyalah reaksi kimia, tetaplah bagian penting dari pengalaman manusia. Itu adalah jembatan antara insting biologis kita dan kebutuhan emosional kita. Dan meskipun kita mungkin tidak pernah sepenuhnya memahami atau menjelaskan cinta, mungkin itu adalah bagian dari keajaibannya.

Cinta, dalam segala keistimewaan dan kekacauan yang ditimbulkannya, adalah salah satu aspek paling rumit dari diri, jiwa dan raga seorang manusia. Itu adalah produk dari biologi, tetapi juga sesuatu yang telah diberi makna lebih dalam oleh budaya dan pengalaman kita. Dengan memahami cinta sebagai kombinasi antara reaksi kimia dan konstruksi sosial, kita dapat mendekatinya dengan cara yang lebih realistis, tetapi tidak kurang bermakna.

Jadi, apakah cinta itu nyata? Dalam arti medis, mungkin tidak. Tapi dalam hidup kita sehari-hari, cinta tetap terasa seperti sesuatu yang ajaib. Mungkin itulah yang membuat manusia begitu istimewa, kemampuan untuk menemukan makna dan keindahan bahkan dalam proses biologis yang paling dasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun