Cinta adalah sebuah kata yang banyak termaktub dalam berbagai tulisan sastra, dari buku novel, lirik di lagu, sampai berbagai tema inti dari film yang selalu kita nikmati di berbaga platform hiburan. Digambarkan sebagai puncak keindahan, yang dengan merasakannya setengah bagian dari tubuh kita dianggap telah merasakan keindahan surga.
Cinta adalah sebuah kata yang memuat segalanya, dari penggambaran paling utuh penyair dan dramaturgi Shakespeare, hingga para penulis lirik lagu-lagu pop masa kini. Cinta diyakini sebagai kekuatan dahsyat yang mampu mengubah dunia, menginspirasi para seniman besar untuk menelurkan karya agung, sampai dengan memicu berbagai peperangan dahsyat di era kerajaan.Â
Tapi jika kita mau mengambil satu langkah mundur, dan menghela satu tarikan napas sejenak dan melihat cinta dari sudut pandang yang lebih membumi, atau bahkan radikal. Jawab pertanyaan ini "Apakah cinta, yang dianggap sebagai inti dari keberadaan manusia, nyatanya tidak lebih dari efek kimiawi otak manusia sebagai stimulus dan dorongan hewaniah untuk berkembang biak?"
Sebagai manusia modern, kita sering kali lupa bahwa tubuh kita, dengan segala kerumitan pikiran dan emosinya yang mendalam untuk merefleksikan kalau kita semua adalah mesin biologis yang diatur oleh hukum alam, tidak bisa menolak. Setiap perasaan yang kita alami, termasuk cinta, berasal dari aktivitas kimia di otak. Dengan ini, gagasan cinta sebagai pengalaman spiritual atau romantis mungkin hanyalah cara kita, sebagai makhluk berkesadaran, untuk memberikan makna lebih dalam pada reaksi tubuh yang sepenuhnya biologis.
Secara medis, cinta memang tidak lebih dari rangkaian reaksi kimia. Ketika kita jatuh cinta, tubuh melepaskan campuran hormon dan neurotransmitter yang membanjiri otak, seperti dopamin, oksitosin, dan serotonin. Dopamin, misalnya, bertanggung jawab atas perasaan senang dan puas, dan itulah yang membuat kita merasa euforia saat berada di dekat seseorang yang kita cintai. Oksitosin, sering disebut sebagai "hormon pelukan," menciptakan rasa kedekatan dan keintiman. Sementara serotonin, meski sering dianggap sebagai hormon kebahagiaan, justru sering menurun pada fase awal cinta, membuat kita terobsesi pada pasangan kita.
Feromon, senyawa kimia yang diproduksi kelenjar keringat, juga memainkan peran penting. Feromon berfungsi sebagai "sinyal kimia" yang dikirimkan oleh tubuh untuk menarik pasangan. Meski secara sadar kita mungkin tidak menyadari kehadiran feromon, tubuh kita meresponsnya dengan cara yang sangat mendasar, memicu daya tarik yang agak sulit untuk dijelaskan oleh logika.
Jika semua ini terdengar seperti biologi murni, itu karena memang demikian adanya. Cinta, dalam bentuknya yang paling dasar, adalah cara tubuh kita memastikan kelangsungan spesies. Kita mungkin merasa bahwa kita memilih pasangan berdasarkan kesamaan minat atau kepribadian, tetapi dalam banyak kasus, biologi kitalah yang membuat keputusan.
Mitos Cinta Romantis dan Realitas Hewaniah Manusia.
Budaya telah memainkan peran besar dalam membentuk persepsi kita tentang cinta. Film, buku, dan lagu menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang magis, unik, dan tak tergantikan. Padahal, cinta sering kali lebih mirip insting hewaniah yang dimanipulasi oleh konteks sosial dan budaya. Pada dasarnya, manusia adalah hewan dengan naluri dasar yang sama seperti makhluk lainnya: mencari pasangan yang dianggap ideal untuk reproduksi.
Jika kita melihat perilaku hewan, kita akan menemukan banyak paralel. Burung merak jantan, misalnya, memamerkan bulunya untuk menarik pasangan. Kucing memproduksi suara tertentu untuk menunjukkan kesiapan kawin. Dalam banyak cara, kita juga melakukan hal yang sama, hanya saja dengan cara yang lebih kompleks. Parfum yang kita gunakan, cara kita berpakaian, hingga nada suara kita, semuanya dirancang, secara sadar atau tidak sebagai cara untuk menarik pasangan.