Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kronik Satire Orde Baru dalam Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021)

3 Desember 2024   00:20 Diperbarui: 3 Desember 2024   00:53 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas". (Image source: Kompas.com)

Dari judulnya saja, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) sudah menggambarkan nuansa emosional yang kuat dan konflik yang mendalam yang secara utuh akan digambarkan dalam durasi hampir dua jam ini. Sebuah film gahar dan diabolik yang  diadaptasi dari novel karya penulis Eka Kurniawan, film ini menyuguhkan kisah yang sarat dengan perjuangan hidup, cinta, dendam, dan keinginan untuk menuntut keadilan. Disutradarai oleh Edwin, film ini mengajak penonton memasuki dunia yang kompleks dan penuh warna, di mana kenyataan dan fantasi berbaur, serta konflik batin setiap karakter terasa begitu nyata.

Alur Cerita

Cerita film ini berpusat pada kehidupan Ajo Kawir (di perankan oleh Marthino Lio), seorang pria yang memiliki masa lalu kelam sebagai seorang pembunuh bayaran. Setelah melalui berbagai pengalaman pahit, Ajo kini mencoba menghindari kekerasan dan menjalani kehidupan yang lebih tenang. Namun, dunia lama yang penuh dengan rasa dendam terus mengejarnya.

Ajo, meskipun berusaha melupakan, tidak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya. Ketika seorang wanita bernama Iteung (diperankan oleh Ladya Cheryl) muncul dalam hidupnya, hubungan mereka membawa Ajo kembali ke dalam pusaran kekerasan, kebingungan, dan rasa sakit yang sulit dia hindari. Iteung, yang juga punya masa lalu yang tak kalah kelam, menjadi cermin bagi Ajo. Mereka terjebak dalam siklus hubungan yang rumit, penuh kecemasan dan kekecewaan.

Cerita yang Penuh Konflik dan Pembalasan Dendam

Ajo, seperti banyak orang yang terjebak dalam sistem yang menindas, berusaha melupakan segala kekerasan yang pernah ia lakukan. Ia memilih hidup tenang, mencoba untuk jauh dari dunia kejahatan yang selama ini menjadi bagian dari dirinya. Namun, hidupnya kembali terguncang ketika Iteung masuk ke dalam kehidupannya. Iteung adalah seorang wanita dengan trauma sendiri, dan entah bagaimana, mereka berdua terjerat dalam lingkaran kekerasan dan cinta yang penuh dengan rasa sakit.

Apa yang menarik dari film ini adalah bagaimana hubungan mereka lebih dari sekadar cerita cinta biasa. Film ini menunjukkan bagaimana kekerasan dan trauma masa lalu menghantui Ajo dan Iteung. Mereka tidak hanya terperangkap dalam dendam pribadi, tetapi juga dalam sebuah dunia yang penuh ketidakadilan. Dalam banyak hal, hubungan mereka bisa dilihat sebagai gambaran dari bagaimana kekerasan dan penderitaan akibat sistem yang tidak adil dapat mengakar dalam diri seseorang, dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi setiap langkah yang diambil dalam hidup.

Ada sesuatu yang langsung terasa berbeda ketika kamu pertama kali menonton Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Mungkin itu karena cerita yang tidak biasa, atau bisa juga karena nuansa gelap dibalik setiap adegan. Di balik segala kekerasan dan hubungan yang penuh ketegangan, film ini membawa sebuah pesan yang lebih dalam, tentang sejarah, tentang apa yang hilang, dan tentang dendam yang tidak pernah benar-benar selesai.

Keberhasilan Penulis Naskah dan Sutradara

Film ini, disutradarai oleh Edwin dan diadaptasi dari novel karya Eka Kurniawan, mengisahkan Ajo Kawir (Marthino Lio), seorang pria yang berusaha meninggalkan masa lalu kelamnya sebagai pembunuh bayaran. Namun, bagaimanapun juga, Ajo tidak bisa benar-benar melepaskan diri. Ketika ia bertemu dengan Iteung (Ladya Cheryl), hubungan mereka mengungkapkan bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar bisa ditinggalkan begitu saja.

Edwin sebagai sutradara tidak hanya berhasil mengarahkan cerita dengan baik, tetapi juga menyuguhkan estetika visual yang memikat. Film ini memadukan elemen-elemen realisme dengan fantasi, menciptakan dunia yang terasa nyata namun sekaligus surreal. Pengambilan gambar yang penuh dengan kontras dan simbolisme, baik itu saat menggambarkan kekerasan maupun momen-momen intim antara Ajo dan Iteung, memberikan dimensi tambahan pada cerita yang sedang berkembang.

Satire Terhadap Orde Baru

Meskipun cerita ini berfokus pada karakter-karakternya, ada satu hal yang tak bisa dilewatkan begitu saja: film ini bisa dianggap sebagai kritik terhadap Orde Baru, yang dikenal dengan penindasan dan kekerasan yang terjadi di masa lalu. Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto, sering kali membungkam cerita-cerita kekerasan yang terjadi di masyarakat. Banyak kejadian-kejadian kelam, seperti pembunuhan, penghilangan orang secara paksa, dan penyiksaan, yang diputarbalikkan atau bahkan disembunyikan demi kepentingan rezim.

Film ini menggambarkan bagaimana seseorang yang terperangkap dalam dunia kekerasan, seperti Ajo, selalu dihantui oleh masa lalunya, meskipun ia berusaha melupakan dan memulai hidup baru. Ini mirip dengan pengalaman banyak orang di Indonesia yang hidup dalam bayang-bayang Orde Baru. Mereka terperangkap dalam sejarah kelam yang sulit dilupakan, dan seringkali tidak ada tempat untuk berbicara tentang apa yang telah terjadi.

Seperti Ajo, banyak orang di Indonesia yang hidup dalam rasa takut dan trauma akibat kekerasan politik. Mereka terpaksa menanggung beban sejarah yang tak pernah diakui atau diselesaikan dengan adil. Sama seperti dalam film ini, di mana banyak karakter merasa terkekang oleh masa lalu mereka yang tidak bisa sembuh, kita juga melihat bagaimana trauma akibat Orde Baru terus membayangi banyak kehidupan di Indonesia. Ini adalah bentuk satire yang halus, yang menunjukkan bagaimana kekerasan dan pembungkaman bisa merusak kehidupan pribadi dan kolektif.

Atmosfer Gelap yang Penuh Simbolisme

Selain tema yang kuat, film ini juga memukau dari segi visual. Edwin menggunakan pencahayaan yang gelap, dengan suasana yang sering kali terasa tegang dan mencekam. Dunia yang dibangun dalam film ini terasa sangat sempit dan penuh dengan bayang-bayang. Setiap langkah Ajo seolah membawa kita lebih dalam ke dalam ketakutan dan kekerasan yang tak bisa dihindari. Desain produksi yang cermat menciptakan suasana yang pas dengan tema film, menguatkan setiap momen yang dirasakan oleh karakter-karakternya.

Meski banyak adegan yang menggambarkan kekerasan, ada pula momen-momen lembut yang menunjukkan sisi manusiawi dari karakter-karakter tersebut. Ini adalah cara film ini memberi kita ruang untuk bernapas sejenak di tengah ketegangan yang terus membangun. Ada keindahan dalam kesulitan, dan kita bisa melihatnya dalam cara hubungan Ajo dan Iteung berkembang. Momen-momen kecil ini memberi penonton kesempatan untuk merasakan kedalaman perasaan kedua karakter, yang tidak hanya berurusan dengan cinta, tetapi juga dengan trauma yang mengakar dalam diri mereka.

Penampilan Baik Para Pemeran

Tidak bisa dipungkiri, kekuatan film ini juga terletak pada akting para pemainnya. Marthino Lio sebagai Ajo Kawir sangat berhasil menghidupkan karakter ini. Ia memerankan seorang pria yang keras dan penuh kebencian, tetapi juga terperangkap dalam perasaan bersalah dan keraguan yang mendalam. Marthino Lio berhasil menunjukkan sisi manusiawi dari karakter yang pada awalnya tampak kejam dan tak terjangkau. Ladya Cheryl, sebagai Iteung, juga memberi penampilan yang sangat kuat. Ia bukan hanya pasangan Ajo, tetapi juga wanita yang memiliki sejarah kelamnya sendiri, dan kedalaman perannya menambah dimensi pada film ini.

Chemistry antara Marthino Lio dan Ladya sangat terasa. Mereka bisa membangun ketegangan yang begitu nyata, dan saat mereka berbicara atau bahkan diam, penonton bisa merasakan perasaan mereka yang rumit. Ini bukanlah hubungan yang sempurna, tetapi justru di situlah kekuatan film ini menampilkan cinta dalam bentuk yang tidak sempurna, namun penuh dengan ketulusan dan perasaan yang mendalam.

Menggali Dendam yang Tidak Pernah Selesai

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah film yang lebih dari sekadar kisah cinta yang rumit. Ini adalah film yang menggali lebih dalam tentang sejarah, tentang kekerasan, dan tentang bagaimana masa lalu terus mempengaruhi hidup kita. Di balik segala kekerasan dan dendam yang ada, film ini memberikan kita pandangan tentang bagaimana trauma dapat mengikat seseorang dalam waktu yang sangat lama. Ini adalah kisah tentang pengampunan, tetapi juga tentang bagaimana banyak dari kita tidak pernah benar-benar bisa melupakan atau menghapus apa yang telah terjadi.

Film ini juga memberi gambaran tentang bagaimana Orde Baru mengatur narasi sejarah dan membungkam mereka yang teraniaya. Seperti Ajo, banyak orang di Indonesia yang terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu yang penuh dengan kekerasan, dan mereka berjuang untuk melupakan dan bergerak maju, tetapi seringkali tidak bisa.

Penggambaran yang kuat, akting yang memukau dari para pemeran, dan tema yang mendalam, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah sebuah karya yang menggugah, mengajak kita untuk melihat lebih jauh tentang bagaimana kita berhubungan dengan sejarah dan bagaimana kita menghadapi luka-luka yang tak kunjung sembuh. Ini adalah film yang, meskipun penuh dengan kekerasan dan dendam, mengajak kita untuk merenung lebih dalam tentang arti pengampunan dan keadilan dalam kehidupan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun