Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kronik Satire Orde Baru dalam Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021)

3 Desember 2024   00:20 Diperbarui: 3 Desember 2024   00:53 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas". (Image source: Kompas.com)

Edwin sebagai sutradara tidak hanya berhasil mengarahkan cerita dengan baik, tetapi juga menyuguhkan estetika visual yang memikat. Film ini memadukan elemen-elemen realisme dengan fantasi, menciptakan dunia yang terasa nyata namun sekaligus surreal. Pengambilan gambar yang penuh dengan kontras dan simbolisme, baik itu saat menggambarkan kekerasan maupun momen-momen intim antara Ajo dan Iteung, memberikan dimensi tambahan pada cerita yang sedang berkembang.

Satire Terhadap Orde Baru

Meskipun cerita ini berfokus pada karakter-karakternya, ada satu hal yang tak bisa dilewatkan begitu saja: film ini bisa dianggap sebagai kritik terhadap Orde Baru, yang dikenal dengan penindasan dan kekerasan yang terjadi di masa lalu. Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto, sering kali membungkam cerita-cerita kekerasan yang terjadi di masyarakat. Banyak kejadian-kejadian kelam, seperti pembunuhan, penghilangan orang secara paksa, dan penyiksaan, yang diputarbalikkan atau bahkan disembunyikan demi kepentingan rezim.

Film ini menggambarkan bagaimana seseorang yang terperangkap dalam dunia kekerasan, seperti Ajo, selalu dihantui oleh masa lalunya, meskipun ia berusaha melupakan dan memulai hidup baru. Ini mirip dengan pengalaman banyak orang di Indonesia yang hidup dalam bayang-bayang Orde Baru. Mereka terperangkap dalam sejarah kelam yang sulit dilupakan, dan seringkali tidak ada tempat untuk berbicara tentang apa yang telah terjadi.

Seperti Ajo, banyak orang di Indonesia yang hidup dalam rasa takut dan trauma akibat kekerasan politik. Mereka terpaksa menanggung beban sejarah yang tak pernah diakui atau diselesaikan dengan adil. Sama seperti dalam film ini, di mana banyak karakter merasa terkekang oleh masa lalu mereka yang tidak bisa sembuh, kita juga melihat bagaimana trauma akibat Orde Baru terus membayangi banyak kehidupan di Indonesia. Ini adalah bentuk satire yang halus, yang menunjukkan bagaimana kekerasan dan pembungkaman bisa merusak kehidupan pribadi dan kolektif.

Atmosfer Gelap yang Penuh Simbolisme

Selain tema yang kuat, film ini juga memukau dari segi visual. Edwin menggunakan pencahayaan yang gelap, dengan suasana yang sering kali terasa tegang dan mencekam. Dunia yang dibangun dalam film ini terasa sangat sempit dan penuh dengan bayang-bayang. Setiap langkah Ajo seolah membawa kita lebih dalam ke dalam ketakutan dan kekerasan yang tak bisa dihindari. Desain produksi yang cermat menciptakan suasana yang pas dengan tema film, menguatkan setiap momen yang dirasakan oleh karakter-karakternya.

Meski banyak adegan yang menggambarkan kekerasan, ada pula momen-momen lembut yang menunjukkan sisi manusiawi dari karakter-karakter tersebut. Ini adalah cara film ini memberi kita ruang untuk bernapas sejenak di tengah ketegangan yang terus membangun. Ada keindahan dalam kesulitan, dan kita bisa melihatnya dalam cara hubungan Ajo dan Iteung berkembang. Momen-momen kecil ini memberi penonton kesempatan untuk merasakan kedalaman perasaan kedua karakter, yang tidak hanya berurusan dengan cinta, tetapi juga dengan trauma yang mengakar dalam diri mereka.

Penampilan Baik Para Pemeran

Tidak bisa dipungkiri, kekuatan film ini juga terletak pada akting para pemainnya. Marthino Lio sebagai Ajo Kawir sangat berhasil menghidupkan karakter ini. Ia memerankan seorang pria yang keras dan penuh kebencian, tetapi juga terperangkap dalam perasaan bersalah dan keraguan yang mendalam. Marthino Lio berhasil menunjukkan sisi manusiawi dari karakter yang pada awalnya tampak kejam dan tak terjangkau. Ladya Cheryl, sebagai Iteung, juga memberi penampilan yang sangat kuat. Ia bukan hanya pasangan Ajo, tetapi juga wanita yang memiliki sejarah kelamnya sendiri, dan kedalaman perannya menambah dimensi pada film ini.

Chemistry antara Marthino Lio dan Ladya sangat terasa. Mereka bisa membangun ketegangan yang begitu nyata, dan saat mereka berbicara atau bahkan diam, penonton bisa merasakan perasaan mereka yang rumit. Ini bukanlah hubungan yang sempurna, tetapi justru di situlah kekuatan film ini menampilkan cinta dalam bentuk yang tidak sempurna, namun penuh dengan ketulusan dan perasaan yang mendalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun