Masjid dikatakan makmur, paling tidak memenuhi dua kriteria, seperti yang ditulis Mohammad E. Ayub dalam bukunya Manajemen Masjid (Petunjuk Praktis Bagi Para Pengurus), yaitu:
Pertama, kesungguhan pengurus masjid. Pengurus masjid harus memiliki tekad dan kesungguhan, dan mereka melakukan tugas tidak asal jadi atau setengah-setengah. Merekalah lokomotif yang menggerakkan umat Islam untuk memakmurkan masjid, dan menganekaragamkan kegiatan yang dapat diikuti oleh masyarakat sekitar. Jika kualitas dan performance kerja pengurus tak mendukung, mereka selayaknya diganti dengan tenaga lain yang lebih baik dan lebih memiliki kesungguhan.
Kedua, memperbanyak kegiatan. Di samping mengadakan kegiatan pengajian, ceramah, dan kuliah keagamaan; juga digiatkan pendidikan dengan mendirikan/membuka sekolah, kelompok belajar, kursus-kursus khusus agama ataupun kursus umum plus agama. Masjid perlu pula mewadahi remaja dan generasi muda. Di sini mereka menyalurkan pikiran, kreativitas, dan hobinya dengan cara menimba ilmu agama, menempa iman, dan memperbanyak amal ibadah. Dengan demikian pengurus masjid harus bisa menjalin hubungan dan kerja sama yang baik dengan jama’ah.[3]
Adalah KH. Maman Imanulhaq, seorang pengasuh pondok pesantren al-Mizan Majalengka, dan juga seorang politisi Partai Kebangkitan bangsa (PKB) mengutip nasihat Sunan Gunung Jati yang berbunyi “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”, yang berarti saya titip surau (secara lebih luas: masjid) dan orang-orang miskin. Menurutnya, kita kurang mengerti nasihat Sunan Gunung Jati karena kita kebingungan dan tidak sanggup memahami keberadaan masjid dan fakir miskin. Dalam Islam, keberadaan masjid sangat penting dan menempati posisi sentral. Langkah-langkah awal yang dilakukan Rasulullah SAW untuk membangun masyarakat Islam adalah dengan mendirikan masjid dan mengorganisasi umat Islam agar mencintai masjid, tulisnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, setidaknya masjid punya tiga fungsi yang sangat mendasar, yaitu fungsi zikir, fungsi pikir, dan fungsi sosial. Di samping fungsi zikir yang sudah relevan dengan masjid Baitussalam, fungsi pikir dan fungsi sosial nampak kurang mendapat perhatian. Sebagai fungsi pikir, Maman Imanulhaq mengatakan, masjid harus difungsikan sebagai tempat pembinaan, pemberian nasihat, pemberian nasihat, dan pengajaran kepada umat Islam, baik yang berbasis ilmu agama maupun ilmu umum.
Sedangakan fungsi sosial, masih menurut Maman Imanulhaq, masjid dituntut untuk merespons persoalan-persoalan sosial yang nyata dan mendesak. Dia mencontohkan dalam hal kemiskinan (kefakiran dalam ekonomi, sosial, politik, budaya, dan seterusnya), kebodohan dan ketertindasan yang masih menghinggapi rakyat bawah. Kefakiran pula yang mengakibatkan sebagian umat Islam terperosok pada lembah kekufuran. Hal itu mungkin diakibatkan oleh rendahnya pola pikir umat Islam serta rendahnya kualitas zikir kepada Allah, tulisnya. Dengan merujuk pendapat tersebut, penulis mengajak kepada para takmir dan pengurus untuk lebih memperhatikan hal-hal tersebut.[4]
Tawaran Formula Penulis
Penulis adalah salah satu anggota masyarakat yang hidup di lingkungan masjid Baitussalam yang belakangan ini resah atas kemandegan masjid. Dengan menggunakan teori analisis substansi masalah ini, penulis mendalami permasalahan yang ada, kemudian menyajikan beberapa argumen yang berhubungan dengan pengoptimalan fungsi masjid seperti telah tertulis di atas, dan menawarkan formula atas persoalan yang ada. Sehingga ke depan masjid menjadi sentral tempat pengembangan masyarakat.
Selain itu, takmir dan pengurus masjid sebagai lokomotif penting, layak terus mengadakan evaluasi dan meminta penilaian dari masyarakat tentang hal-hal yang kurang dalam perjalanan fungsi masjid, guna terwujudnya masjid sebagai sentral pengembangan masyarakat, dan syiar ajaran Islam. Di lingkup masjid Baitussalam ini, penulis menawarkan formula atas permasalahan yang ada. Berikut adalah formulanya:
Pertama, adakan seminar atau penguatan, khusus untuk internal pengurus masjid dan memberi pengetahuan tentang berbagai fungsi masjid. Kedua, inklusivitas antara pengurus masjid dengan masyarakat minimal dengan ketua RT untuk mengetahui berbagai persoalan dan kebutuhan masyarakat terutama generasi muda yang kelak akan menjadi penerus. Ketiga, adakan kegiatan yang berupa pelatihan, pemberdayaan, dan pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan pola pikir masyarakat agar compatible situasi jaman tanpa mengabaikan nilai substansi Islam, sebagai contoh yaitu pelatihan qiro’, pelatihan rebana, dialog kajian tematik, seminar-seminar, dll. Keempat, adakan evaluasi yang terjadwalkan guna menemukan berbagai persoalan dan solusi dalam penyelesaiannya.
Referensi: