Takmir dan permasalahannya
Perlu diketahui, semua yang bersifat materi termasuk manusia pasti mengalami fluktuasi, dalam konteks masjid Baitussalam ini yaitu menurunnya dalam hal syiar agama Islam. Perlu diketahui juga ada banyak jalan untuk syiar agama Islam yang tidak melulu dengan persoalan ibadah, tapi syiar bisa juga diperlihatkan melalui aneka macam kegiatan sosial yang berpusat di masjid.
Menurunnya syiar di masjid Baitussalam, apabila ditelisik lebih khusus lagi maka mengarah pada menurunnya inovasi para pengurus masjid nampak kurang bisa memfungsikan masjid. Hal tersebut dapat dilihat dari sudah jarangnya pengurus mengadakan kegiatan, seperti sholawatan dan pengajian, dan pemberdayaan generasi muda, lebih-lebih mengadakan pelatihan-pelatian yang bersifat pengembangan. Itu merupakan sebagian agenda, yang lantaran kegiatan di atas, memungkinkan masyarakat bisa berkembang--entah berkembang pengetahuan agamanya maupun berkembang semangat kerukunannya--dan juga bisa merespon dan bisa menyesuaikan atas arus perkembangan globalisasi dan industrialisasi.
Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Ali Maftuhin (salah satu jama’ah sekaligus orang yang mengkoordinir remaja masjid Baitussalam), dia mengatakan bahwa “dari takmir dan pengurus masjid hanya mengagendakan beberapa acara, yaitu santunan (itu pun di bulan Ramadhan), penyembelihan kurban. Selebihnya dipasrahkan ke remaja masjidnya, karena takmir tidak mau mengambil resiko”. Lebih lanjut Ali Maftuhin mengatakan “takmir mengadakan rapat hanya membahas Tunjangan Hari Raya (THR) di bulan Ramadhan, selain itu jarang sekali takmir mengadakan rapat untuk kegiatan-kegiatan”, tuturnya. Diduga keras remaja di lingkungan masjid Baitussalam enggan mengadakan acara karena mereka juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi, kecuali kegiatan-kegiatan besar seperti takbir keliling hari raya dan pengajian yang mendatangkan kiai dan habaib. Seharusnya takmir dan pengurus menyadari dan mengambil alih kekosongan ini, karena sejatinya merupakan tugas dari takmir dan pengurus, bukan remaja. Diduga juga, para pengurus tidak memahami job yang disandangnya. Sehingga timbullah kemandegan.
Padahal masjid Baitussalam mempunyai pengurus yang sebagian terdiri para sesepuh atau para kiai jebolan pondok pesantren yang penulis akui sangat mumpuni pengetahuan agamanya, tidak hanya mumpuni pengetahuan agama, tapi juga alim dan santun, kesemuanya dapat dilihat dari perilaku mereka terhadap orang lain yang ramah. Di sisi lain, di lingkungan masjid Baitussalam mayoritas masyarakat muslimnya berafiliasi dengan ormas Nahdlatul Ulama yang di dalamnya terdapat Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU).
Menurut Ensiklopedia NU, lembaga tersebut dulunya bernama Hai’ah Ta’miril Masjid Indonesia (HTMI) didirikan pada 12 Dzulhijjah 1390 H atau 9 Februari 1971 M di Surabaya. Lebih lanjut menurut Ensiklopedia NU, tujuan berdirinya LTMNU adalah revitalisasi masjid supaya masjid tak hanya menjadi tempat salat, tetapi menjadi tempat yang selalu tercermin dalam doa para jamaahnya: Allahumma inni as’aluka salamatan fid dini, wa afiyatan fi jasadi, wa ziyadatan fil ilmi, wa barakatan firrizqi, wa taubatan qoblal maut, wa rahmatan indal maut, wa maghfirotan ba’dal maut. Yaitu masjid sebagai tempat supaya selamat agamanya sampai akhir hayat, masjid sebagai pusat kegiatan kesehatan, masjid sebagai tempat majlis ta’lim atau tempat pemberdayaan pemikiran, masjid sebagai tempat pemberdayaan ekonomi, masjid sebagai tempat mengurus jenazah atau pelatihan menangani jenazah, masjid sebagai tempat taubat, dan masjid sebagai tempat untuk tahlilan, (Abdullah Alawi:2019).[1]
Sebagaimana doa di atas, fungsi masjid sebenarnya banyak sekali. Maka dari itu, dengan adanya tulisan ini, penulis harap bisa menyegarkan kembali pemikiran takmir dan para pengurus masjid, kemudian mencoba menawarkan sedikit formula agar masjid Baitussalam dijadikan sebagai sentral syiar agama Islam.
Takmir dan Fungsi Masjid
Indonesia adalah sebuah negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam, di samping itu tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat juga rakyat yang beragama lain. Realitas tersebut merupakan suatu keniscayaan. Suatu realitas yang diperlukan adanya sikap saling menghormati antar pemeluk umat beragamanya yang sama-sama mempunyai keinginan untuk syiar agamanya masing-masing.
Selanjutnya, masjid adalah tempat orang Islam untuk beribadah, seperti salat, iktikaf, dan lain sebagainya. Di sisi lain masjid juga tempat yang semestinya digunakan sebagai sentral kegiatan pengembangan masyarakat yang berorientasi syiar, seperti yang sudah tertera di doa di atas. Masjid tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya “takmir dan pengurus”. Masjid tanpa takmir dan pengurus tidak bisa berfungsi sesuai dengan fungsinya. Begitu pun sebaliknya, takmir dan pengurus yang tidak mengetahui fungsi dari masjid, maka masjid akan menjadi bangunan ritual belaka dan abai aspek sosialnya. Lebih jauh, menurut Ustadz Rosidi (seorang yang menjadi takmir masjid Jogokariyan Yogyakarta) fungsi takmir tak ubahnya seperti pelayan para jamaah masjid dan bukan penguasa masjid, ucapnya.[2]