Mohon tunggu...
Thoriq Shoma
Thoriq Shoma Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

penulis adalah seorang penyayang terhadap wanita

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyegarkan Kembali Inovasi Takmir Masjid Baitussalam Sambiroto, Tayu, Pati

4 September 2019   00:31 Diperbarui: 4 September 2019   01:19 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: tokopedia.com)

Takmir dan permasalahannya

Perlu diketahui, semua yang bersifat materi termasuk manusia pasti mengalami fluktuasi, dalam konteks masjid Baitussalam ini yaitu menurunnya dalam hal syiar agama Islam. Perlu diketahui juga ada banyak jalan untuk syiar agama Islam yang tidak melulu dengan persoalan ibadah, tapi syiar bisa juga diperlihatkan melalui aneka macam kegiatan sosial yang berpusat di masjid.

Menurunnya syiar di masjid Baitussalam, apabila ditelisik lebih khusus lagi maka mengarah pada menurunnya inovasi para pengurus masjid nampak kurang bisa memfungsikan masjid. Hal tersebut dapat dilihat dari sudah jarangnya pengurus mengadakan kegiatan, seperti sholawatan dan pengajian, dan pemberdayaan generasi muda, lebih-lebih mengadakan pelatihan-pelatian yang bersifat pengembangan. Itu merupakan sebagian agenda, yang lantaran kegiatan di atas, memungkinkan masyarakat bisa berkembang--entah berkembang pengetahuan agamanya maupun berkembang semangat kerukunannya--dan juga  bisa merespon dan bisa menyesuaikan atas arus perkembangan globalisasi dan industrialisasi.

Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Ali Maftuhin (salah satu jama’ah sekaligus orang yang mengkoordinir remaja masjid Baitussalam), dia mengatakan bahwa “dari takmir dan pengurus masjid hanya mengagendakan beberapa acara, yaitu santunan (itu pun di bulan Ramadhan), penyembelihan kurban. Selebihnya dipasrahkan ke remaja masjidnya, karena takmir tidak mau mengambil resiko”. Lebih lanjut Ali  Maftuhin mengatakan “takmir mengadakan rapat hanya membahas Tunjangan Hari Raya (THR) di bulan Ramadhan, selain itu jarang sekali takmir mengadakan rapat untuk kegiatan-kegiatan”, tuturnya. Diduga keras remaja di lingkungan masjid Baitussalam enggan mengadakan acara karena mereka juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi, kecuali kegiatan-kegiatan besar seperti takbir keliling hari raya dan pengajian yang mendatangkan kiai dan habaib. Seharusnya takmir dan pengurus menyadari dan mengambil alih kekosongan ini, karena sejatinya merupakan tugas dari takmir dan pengurus, bukan remaja. Diduga juga, para pengurus tidak memahami job yang disandangnya. Sehingga timbullah kemandegan.

Padahal masjid Baitussalam mempunyai pengurus yang sebagian terdiri para sesepuh atau para kiai jebolan pondok pesantren yang penulis akui sangat mumpuni pengetahuan agamanya, tidak hanya mumpuni pengetahuan agama, tapi juga alim dan santun, kesemuanya dapat dilihat dari perilaku mereka terhadap orang lain yang ramah. Di sisi lain, di lingkungan masjid Baitussalam mayoritas masyarakat muslimnya berafiliasi dengan ormas Nahdlatul Ulama yang di dalamnya terdapat Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU).

Menurut Ensiklopedia NU, lembaga tersebut dulunya bernama Hai’ah Ta’miril Masjid Indonesia (HTMI) didirikan pada 12 Dzulhijjah 1390 H atau 9 Februari 1971 M di Surabaya. Lebih lanjut menurut Ensiklopedia NU, tujuan berdirinya LTMNU adalah revitalisasi masjid supaya masjid tak hanya menjadi tempat salat, tetapi menjadi tempat yang selalu tercermin dalam doa para jamaahnya: Allahumma inni as’aluka salamatan fid dini, wa afiyatan fi jasadi, wa ziyadatan fil ilmi, wa barakatan firrizqi, wa taubatan qoblal maut, wa rahmatan indal maut, wa maghfirotan ba’dal maut. Yaitu masjid sebagai tempat supaya selamat agamanya sampai akhir hayat, masjid sebagai pusat kegiatan kesehatan, masjid sebagai tempat majlis ta’lim atau tempat pemberdayaan pemikiran, masjid sebagai tempat pemberdayaan ekonomi, masjid sebagai tempat mengurus jenazah atau pelatihan menangani jenazah, masjid sebagai tempat taubat, dan masjid sebagai tempat untuk tahlilan, (Abdullah Alawi:2019).[1]

Sebagaimana doa di atas, fungsi masjid sebenarnya banyak sekali. Maka dari itu, dengan adanya tulisan ini, penulis harap bisa menyegarkan kembali pemikiran takmir dan para pengurus masjid, kemudian mencoba menawarkan sedikit formula agar masjid Baitussalam dijadikan sebagai sentral syiar agama Islam.

Takmir dan Fungsi Masjid

Indonesia adalah sebuah negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam, di samping itu tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat juga rakyat yang beragama lain. Realitas tersebut merupakan suatu keniscayaan. Suatu realitas yang diperlukan adanya sikap saling menghormati antar pemeluk umat beragamanya yang sama-sama mempunyai keinginan untuk syiar agamanya masing-masing.

Selanjutnya, masjid adalah tempat orang Islam untuk beribadah, seperti salat, iktikaf, dan lain sebagainya. Di sisi lain masjid juga tempat yang semestinya digunakan sebagai sentral kegiatan pengembangan masyarakat yang berorientasi syiar, seperti yang sudah tertera di doa di atas. Masjid tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya “takmir dan pengurus”. Masjid tanpa takmir dan pengurus tidak bisa berfungsi sesuai dengan fungsinya. Begitu pun sebaliknya, takmir dan pengurus yang tidak mengetahui fungsi dari masjid, maka masjid akan menjadi bangunan ritual belaka dan abai aspek sosialnya. Lebih jauh, menurut Ustadz Rosidi (seorang yang menjadi takmir masjid Jogokariyan Yogyakarta) fungsi takmir tak ubahnya seperti pelayan para jamaah masjid dan bukan penguasa masjid, ucapnya.[2] 

Masjid dikatakan makmur, paling tidak memenuhi dua kriteria, seperti yang ditulis Mohammad E. Ayub dalam bukunya Manajemen Masjid (Petunjuk Praktis Bagi Para Pengurus), yaitu:

Pertama, kesungguhan pengurus masjid. Pengurus masjid harus memiliki tekad dan kesungguhan, dan mereka melakukan tugas tidak asal jadi atau setengah-setengah. Merekalah lokomotif yang menggerakkan umat Islam untuk memakmurkan masjid, dan menganekaragamkan kegiatan yang dapat diikuti oleh masyarakat sekitar. Jika kualitas dan performance kerja pengurus tak mendukung, mereka selayaknya diganti dengan tenaga lain yang lebih baik dan lebih memiliki kesungguhan.

Kedua, memperbanyak kegiatan. Di samping mengadakan kegiatan pengajian, ceramah, dan kuliah keagamaan; juga digiatkan pendidikan dengan mendirikan/membuka sekolah, kelompok belajar, kursus-kursus khusus agama ataupun kursus umum plus agama. Masjid perlu pula mewadahi remaja dan generasi muda. Di sini mereka menyalurkan pikiran, kreativitas, dan hobinya dengan cara menimba ilmu agama, menempa iman, dan memperbanyak amal ibadah. Dengan demikian pengurus masjid harus bisa menjalin hubungan dan kerja sama yang baik dengan jama’ah.[3]

Adalah KH. Maman Imanulhaq, seorang pengasuh pondok pesantren al-Mizan Majalengka, dan juga seorang politisi Partai Kebangkitan bangsa (PKB) mengutip nasihat Sunan Gunung Jati yang berbunyi “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”, yang berarti saya titip surau (secara lebih luas: masjid) dan orang-orang miskin. Menurutnya, kita kurang mengerti nasihat Sunan Gunung Jati karena kita kebingungan dan tidak sanggup memahami keberadaan masjid dan fakir miskin. Dalam Islam, keberadaan masjid sangat penting dan menempati posisi sentral. Langkah-langkah awal yang dilakukan Rasulullah SAW untuk membangun masyarakat Islam adalah dengan mendirikan masjid dan mengorganisasi umat Islam agar mencintai masjid, tulisnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, setidaknya masjid punya tiga fungsi yang sangat mendasar, yaitu fungsi zikir, fungsi pikir, dan fungsi sosial. Di samping fungsi zikir yang sudah relevan dengan masjid Baitussalam, fungsi pikir dan fungsi sosial nampak kurang mendapat perhatian. Sebagai fungsi pikir, Maman Imanulhaq mengatakan, masjid harus difungsikan sebagai tempat pembinaan, pemberian nasihat, pemberian nasihat, dan pengajaran kepada umat Islam, baik yang berbasis ilmu agama maupun ilmu umum.

Sedangakan fungsi sosial, masih menurut Maman Imanulhaq, masjid dituntut untuk merespons persoalan-persoalan sosial yang nyata dan mendesak. Dia mencontohkan dalam hal kemiskinan (kefakiran dalam ekonomi, sosial, politik, budaya, dan seterusnya), kebodohan dan ketertindasan yang masih menghinggapi rakyat bawah. Kefakiran pula yang mengakibatkan sebagian umat Islam terperosok pada lembah kekufuran. Hal itu mungkin diakibatkan oleh rendahnya pola pikir umat Islam serta rendahnya kualitas zikir kepada Allah, tulisnya. Dengan merujuk pendapat tersebut, penulis mengajak kepada para takmir dan pengurus untuk lebih memperhatikan hal-hal tersebut.[4]

Tawaran Formula Penulis

Penulis adalah salah satu anggota masyarakat yang hidup di lingkungan masjid Baitussalam yang belakangan ini resah atas kemandegan masjid. Dengan menggunakan teori analisis substansi masalah ini, penulis mendalami permasalahan yang ada, kemudian menyajikan beberapa argumen yang berhubungan dengan pengoptimalan fungsi masjid seperti telah tertulis di atas, dan menawarkan formula atas persoalan yang ada. Sehingga ke depan masjid menjadi sentral tempat pengembangan masyarakat.

Selain itu, takmir dan pengurus masjid sebagai lokomotif penting, layak terus mengadakan evaluasi dan meminta penilaian dari masyarakat tentang hal-hal yang kurang dalam perjalanan fungsi masjid, guna terwujudnya masjid sebagai sentral pengembangan masyarakat, dan syiar ajaran Islam. Di lingkup masjid Baitussalam ini, penulis menawarkan formula atas permasalahan yang ada. Berikut adalah formulanya:

Pertama, adakan seminar atau penguatan, khusus untuk internal pengurus masjid dan memberi pengetahuan tentang berbagai fungsi masjid. Kedua, inklusivitas antara pengurus masjid dengan masyarakat minimal dengan ketua RT untuk mengetahui berbagai persoalan dan kebutuhan masyarakat terutama generasi muda yang kelak akan menjadi penerus. Ketiga, adakan kegiatan yang berupa pelatihan, pemberdayaan, dan pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan pola pikir masyarakat agar compatible situasi jaman tanpa mengabaikan nilai substansi Islam, sebagai contoh yaitu pelatihan qiro’, pelatihan rebana, dialog kajian tematik, seminar-seminar, dll. Keempat, adakan evaluasi yang terjadwalkan guna menemukan berbagai persoalan dan solusi dalam penyelesaiannya.

Referensi:

Alawi, Abdullah, Sejarah Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama, diakses dari https://www.nu.or.id/post/read/106794/sejarah-lembaga-takmir-masjid-nahdlatul-ulama, pada 24 Agustus 2019

Arifin, Syamsul dan Fathoni, Takmir sebagai Pelayan Jamaah Bukan Penguasa Masjid, diakses dari https://www.nu.or.id/post/read/87103/takmir-sebagai-pelayan-jamaah-bukan-penguasa-masjid, pada 24 Agustus 2019

Ayub, Mohammad E, Manajemen Masjid (Petunjuk Praktis Bagi Para Pengurus), Jakarta: Gema Insani Press, 1996, cet. 1, hlm.74-75

Kiai Maman Imanulhaq, Tiga Fungsi Masjid, diakses dari https://www.beritasatu.com/tausiah/130066-tiga-fungsi-masjid.html, pada 25 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun