"Ha? Kau bilang apa? Cuan?” tanyaku penasaran. Kalo berhubungan dengan cuan, aku sangat tertarik.
"SOLAT LAH PAPA! SUDAH MASUK WAKTU ISYA!”
“Jam berapa sekarang?” aku masih bertanya lagi. Membuat Ani makin di ujung kesabarannya.
Tidak perlu kalian dengar lanjutan dialog antara aku dan Ani. Ku lanjutkan saja dengan narasi ini. Singkat cerita, aku sudah selesai solat dan Ani menyuruhku tidur. Aku pun tidur di sofa malasku. Sebentar-sebentar aku panggil Ani sekedar bertanya apakah dia sudah tidur, sekarang jam berapa, apakah pintu kandang ayam sudah dikunci, apakah beras untuk besok masih ada. Ani enggan menjawabnya. Sampai aku tertidur.
Tepat jam 12 malam aku terbangun. Aku merengek ketakutan sehabis bermimpi buruk yang aku tak ingat detailnya. Segera ku panggil Ani yang dipannya disebelah sofa malasku.
“ANII!!!”
Ani pun terjaga dengan gusar. Dia sudah menyumbat telinganya dengan buntalan tisu sebelum tidur. Tapi suara lantangku masih membangunkannya. Ani berharap tidurnya tanpa telinga saja agar bisa nyenyak sampai terbangun di pagi hari.
Aku panik serasa berada di tempat asing. "Aku dimana? Tolong antar aku pulang!" Ani mengambil uang 15 juta dalam amplop dan menunjukkannya padaku. Aku langsung ingat itu uang yang kutabung untuk urusan perkuburan jenazahku suatu hari nanti. Setelah melihat uang, kesadaranku kembali. Aku mulai ingat, ini bukan tempat asing melainkan rumahku sendiri.
Aku lanjut mengeluhkan uzurku. Lalu menggunjingkan para keponakanku yang tidak pernah datang menjengukku. Padahal waktu masih sehat, aku sering membantu mereka dalam banyak hal. Si Ifkar kemenakan mahkotaku sudah jadi kepala desa sekarang. Bahkan tidak mau mewarisi gelar datukku lebih awal. Biar lepas tanggung jawab adat yang ku tanggung ini.
Ya, aku mengungkit-ungkit jasaku. Itu hobi lama yang kambuh lagi. Aku juga mulai rajin merisaukan padi di sawah. Bertanya kapan akan dipanen. Berapa hasil panennya. Itulah yang paling dibenci cucuku. Si keriput ini makin tua makin gila bicara dunia alih-alih bicara akhirat.
Ani memohon kepadaku agar membiarkannya kembali tidur. Tapi aku pura-pura tidak dengar dan lanjut bercerita sampai istriku terbangun karena terganggu suaraku yang kata Topan sekeras suara elang itu. Egois bukan? Bisakah kau bersabar jika kau jadi Ani?