Lalu aku kembali ke sofa malasku. Merebahkan diri dengan posisi kepala agak tinggi. Nyaman sekali walau semua sendiku masih berdenyut sakit setiap detiknya.
Pharises sudah menekan pembuluh vena kakiku, menonjol dari balik kulit keriputku seperti belitan ular lidi. Penderitaan radang sendi ini juga sering aku keluhkan tanpa sabar sampai ingin bunuh diri.
"O, Tuan Kuning. Tuan sudah sembahyang?" tanya istriku, Ramlah. Gelarku adalah Datuk Kuning. Sejak aku mendapatkan gelar adat itu, istriku selalu memanggilku dengan Tuan Kuning sebagai bentuk hormatnya.
"Ha?" dulu aku mungkin sering tidak mau mendengarkan kata orang. Menyepelekan ucapan orang. Masuk telinga kanan keluar telinga kidal. Sekarang aku betul-betul tidak bisa mendengarkan kata orang walaupun telinga sudah kupasang.
"Sudah sembahyang isya?! Uhuk uhuk!" istriku sudah terlalu tua untuk berteriak dengan suara keras. Pita suaranya sudah tak kuat lagi sehingga terbatuk-batuk.
"Aku ini sudah mayat, Ramlah. Telingaku sudah Tuhan ambil fungsinya. Suaramu terdengar tapi buah katamu tidak sampai lagi ke otakku. Rasanya seperti terhalang suara riak ketika menyelam didalam air. Apa katamu tadi? Sembahyang?" tanyaku lagi.
"Iya! Uhuk uhuk!”
"Sembahyang apa sekarang?"
"ISYA!!" Ani datang menyela agar ibunya tak perlu berteriak lagi.
"Sekarang ini waktu isya? Kukira waktu Ashar. Tunggu dulu, kakiku masih sakit setelah berjalan tadi. Aku istirahatkan dulu sebentar." baru saja aku melakukan ritual mengunci pintu-pintu rumahku. Itu biasa ku lakukan tiap malam. Dan bisa-bisanya sekarang aku berpikir ini masih sore.
“Berjalan mengunci pintu rumah kuat. Berjalan mengambil air wudhu tidak kuat?” gerutu Ramlah tanpa bisa kudengar