Senja Kelamku, Pintasan Surgamu
Namaku Bahir. Tuhan sudah membuatku seperti mayat hidup berusia 92 tahun yang masih bisa berjalan, bicara, makan, dan buang air. Percayalah Nak, merawat orang tua lumpuh dan bisu, jauh lebih menyenangkan daripada merawat gaek menyebalkan sepertiku.
Kerjaku hanya mengeluh, marah, menyindir, bertanya dan bertanya padahal telingaku sudah tak berguna. Penglihatanku sudah seperti kaca beruap. Digerogoti oleh katarak akut yang tak mau ku obat.
Menua bersama. Terdengar romantis bukan? Tapi percayalah, Nak. Jangan sampai se bangkot ini! Istriku lima tahun lebih muda! Bungkuknya sudah merukuk! Berjalan dengan tongkat kemana-mana. Dia sudah tidak bisa lagi mengurusku!
Sementara aku dengan jumawa hanya mau menggunakan dinding untuk menopang langkah tatihku. Tongkat hanya membuatku tampak terlalu renta, ujarku. Cucuku sangat kesal mendengar itu.
Aku terus berjalan menuju pintu keluar untuk menghirup udara segar. Tapi tiba-tiba saja vertigo membuatku oleng hingga terjatuh menghempaskan pantatku yang hanya tulang berbalut kulit jangat tanpa daging alih-alih lemak.
Dengan kesal, tangan kasar cucuku menaikkanku ke kursi rodaku. Rasanya sendi lenganku hampir lepas. Carut kebun binatang dari mulutku terlontar begitu saja untuknya.
Tidak sama dengan cucuku. Ibunya, Si Ani, lebih santun. Dia mendorong kursi rodaku dengan perlahan dan lembut. Sampai ke halaman rumah untuk mandi cahaya mentari pagi.
"Hei kemana aku mau kau bawa, Ani?! Mana si Topan anakmu? Biar dia saja yang mendorongku! Dia lebih kuat! Si pemalas itu yang harusnya melakukan ini! Bukan kau!" gerutuku dengan suara keras yang hanya terdengar seperti bisikan di telinga pekakku.
“Bagaimana bisa tubuh itu hanya tinggal tulang tapi suaranya seperti elang.” gumam Topan heran.