Mohon tunggu...
Thomson Cyrus
Thomson Cyrus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta, blogger, vlogger

Untuk Kerjasama, Bisa hub Kontak Email : thomsoncyrus74@gmail.com DM IG : @thomsoncyrus74

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ini Era Medsos, Jangan Pernah Memusuhi Influencer, Buzzer, Blogger, Maupun Vlogger

7 Oktober 2019   18:57 Diperbarui: 11 Oktober 2019   22:44 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetiba, rasa rinduku memuncak ingin menuliskan sesuatu di kompasiana, meski akhir-akhir ini saya tidak terlalu aktif menulis dimari, tapi tetap saya ikuti berbagai tulisan para blogger setia kompasiana. Itu bersebab musabab, topik tempo yang lagi ramai membahas buzzer, terutama ditujukan buat Buzzer istana.

Pertanyaan banyak pihak, salah satunya, pertanyaan saya adalah ada apa dengan tempo? Kok begitu bersemangat ingin membasmi Buzzer istana?

Mungkin inilah puncaknya, kegundahan para jurnalis media mainstream melihat para blogger, influencer, termasuk buzzer ya. Saya masih ingat dulu, awal-awal berdirinya kompasiana ini oleh Kang Pepih Nugraha, banyak sekali yang mencibir para penulis di kompasiana yang kemudian disebut para kompasianer. 

Jurnalis yang bekerja di media mainstream menganggap bahwa tulisan-tulisan di kompasiana tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalisme. Para jurnalis itu sebelah mata memandang para kompasianer. Nyatanya hingga kini, blogger keroyokan di kompasiana ini semakin berkembang pesat. 

Justru menurut saya, kompasiana adalah inspirasi bagi berdirinya Indonesiana di tempo.co, demikian juga  ada tulisan warga biasa di kolom detikcom yang dikemas dalam bentuk opini.

 Lalu kompasianer Afifurahman mendirikan seword.com, kemudian Pepih Nugraha mendirikan Pepnews. Semua itu menampung tulisan warganet dan tentu dikemas ala netizen. Karena dikemas ala netizen inilah, dulu para kompasianer dipandang sebelah mata oleh para jurnalis dan penulis opini media mainstream. 

Nyatanya, justru tulisan ala netizen sekarang sangat berpengaruh dan kemudian para netizen memiliki follower yang banyak, kemudian disebutlah mereka influencer, tetapi ada yang menyebut buzzer. Padahal awalnya ini adalah blogger.

Lalu ada apa dengan tempo, kok tiba-tiba pangling menghadapi yang mereka sebut buzzer?

Bukankah buzzer, influencer, blogger, vlogger itu semua bersumber dari hobby atau katakanlah minat yang sama? Yaitu MENULIS!

Ya, Tempo hidup dari menuliskan sesuatu peristiwa, kejadian, pengalaman, investigasi, wawancara, opini yang kesemuanya ditujukan untuk tujuan tertentu kepada pembaca nya. Bukankah hal yang sama juga dilakukan oleh para influncer, blogger, vlogger atau bahkan buzzer sekalipun? Lalu kalau Tempo mempermasalahkan, maka kita patut menduga, ADA SESUATU DIBALIK ITU!

Kalau kita tidak menduga ada sesuatu dibalik itu, maka selesailah permasalahannya.

Hipotesa saya adalah "Tempo terganggu dengan eksistensi para influencer, buzzer, blogger ataupun vlogger (Saya simpulkan apapun istilahnya, sebenarnya mereka adalah menjual tulisan mereka)"

Mengapa terganggu? Tentu bisa dari 2 hal, antara lain:

1) Pride, ini terkait selama ini tempo cukup dikenal dengan narasi investigasi nya yang cukup keren, menggigit, tajam, berkualitas dan lain sebagainya, sehingga patut menjadi acuan informasi bagi siapapun di Negeri ini. Oleh karena itu mereka pasti merasa bangga. Tetapi kini, era medsos, karena semua orang bebas menuliskan sesuatu, sudah seringkali media mainstream, salah satunya tempo terlambat mendapatkan informasi yang A1 dari sumbernya. Kini, para influencer, buzzer, blogger sudah lebih dulu mendapatkan berita yang A1, dan lalu viral, media terlambat. Mereka kesal, sebab mereka berstatus follower jadinya. Itu salah satunya. Kita masih ingat selama bulan september ini, banyak influencer yang terlebih dahulu mendapatkan infomasi kejadian dilapangan, sebut saja misalnya Soal Ambulans bawa Batu ditengah-tengah demo, @DennySiregar, justru lebih dulu posting dibanding @TMCPoldaMetro misalnya, meski pada akhirnya kedua akun itu kemudian menghapusnya kemudian. Baru menyusul kemudian Media Mainstream. Di masa-masa yang lampau, ini hampir jarang terjadi.  

2) Uang, Selama ini iklan hanya bisa didapatkan media, baik elektronik maupun cetak. Tetapi kini, di era medsos, para influncer sudah bisa langsung mendapatkan kue iklan lewat endorse produk. Di samping karena influncer memiliki follower yang berjubel, bayaran untuk endorse lewat influencer saya duga lebih murah dibanding beriklan di media elektronik dan media cetak misalnya. Sehingga kue bagi media mainstream kini semakin kecil. Kalah bersaing dengan para influncer.

Dua alasan diatas aja sudah cukup kuat alasan untuk patut menduga, ada sesuatu dalam serangan tempo kepada para buzzer. Belum lagi kalau kita gali lebih dalam, pasti banyak yang bisa kita duga sebagai alasan ketakutan mereka akan keberadaan netizen, buzzer, influencer, blogger dan vlogger (saya tak mau memisahkan mereka, karena basicnya semua adalah dari minat menulis).

Dan pada akhirnya, Media mainstream lambat laun akan berkurang karismanya. Karena kharismanya berkurang, secara otomatis bargaining positionnya berkurang, akibatnya pengaruhnya semakin berkurang dalam membangun narasi.

Kekuatan para influncer, buzzer dan blogger adalah kesetiaan para followernya untuk selalu menanti tulisannya, baik itu ditulis singkat di twitter ataupun lebih panjang di instagram dan facebook misalnya, tetapi followernya akan terus setia membaca, men-like, bahkan lebih jauh men-share, itu sebabnya tulisan-tulisan influencer seperti Denny Siregar dan para penulis kompasiana.com dan juga seword.com banyak yang viral.

Saya bisa sebut beberapa contoh tulisan yang sangat berpengaruh dari netizen di masa lampau seperti kasus Abraham Samad bertemu Hasto Kristyanto disebuah Apartemen, justru diungkap penulis kompasiana. Kita juga ingat persis Bagaimana Gayus Tambunan yang bebas berkeliaran diluar penjara bertemu dengan teman-teman kompasianer saat itu. Itu juga viral dan sangat berpengaruh beritanya.

Kita baru juga disuguhi bagaimana Kompasianer Senior, Ninoy Karundeng baru-baru ini mendapatkan perbuatan tidak menyenangkan, hingga nyawanya sempat terancam. Itu juga karena betapa berpengaruhnya tulisan tulisan dari para blogger, influncer, buzzer.

Kita tentu ingat betapa dahsyatnya pengaruh tulisan Jonru dimasa lalu, meski lebih banyak hatersnya. Kita tentu ingat bagaimana tulisan Bunni Yani mampu membawa Ahok ke dalam penjara.

Kita harus berikan credit point bagi kompasiana yang banyak melahirkan para penulis (influencer, buzzer, blogger) berpengaruh di negeri ini. Sebutlah misalnya para penulis di seword.com, mereka adalah lulusan-lulusan terbaik di kompasiana.com.

Nah, kembali ke : Mengapa Tempodotco betapa getol ingin menghabisi para buzzer?

Kesimpulan saya hanya satu :  PERSAINGAN (KOMPETISI)

Yup! Kompetesi dari berbagai aspek. Bila saya tambahkan dari 2 hal diatas Pride dan Uang, maka di step berikutnya bisa saya katakan, Media Mainstream kalah bersaing dengan para influencer dalam membangun narasi. Jika saya arahkan lebih ekstreem. Media Mainstream kini, gundah, sebab mereka sudah mulai kalah membangun propaganda.

Mari kita lihat! Kalau kita cermati, baru sejak selesai Pilpres tahun 2019, pendukung Jokowi menang perang propanda dan militansi di medsos. Selama ini, perang tagar selalu dimenangkan oleh kubu lawan Jokowi. 

Lihatlah misalnya tagar #gantipresiden hampir setahun itu merajai per tagar an dunia medsos dengan kekuatan militansi yang mereka miliki. Tetapi apakah media mainstream pernah menyerang khusus para influncer pencipta tagar itu, rasa-rasanya tidak pernah.

Tetapi ketika, para pendukung Jokowi mulai solid selama september ini, seluruh mata tertuju kepada buzzer istana. Padahal kalau diselidik lebih jauh. Buzzer, influncer dan blogger pendukung Jokowi itu tidak dikomando, mereka biasanya berjalan sendiri-sendiri. 

Tetapi ada yang membedakan, mengapa buzzer, influncer pendukung Jokowi itu bisa terus-terusan bekerja yaitu bahwa para buzzer, influncer pendukung Jokowi ini betul-betul setia, punya komitmen untuk terus menjaga Jokowi hingga selesai memimpin. Mereka disatukan oleh visi mis yang sama. Beda misalnya dengan para buzzer lawan Jokowi.

 Tujuan mereka hanya satu, Kekuasaan! Begitu pertandingan untuk memperebutkan kekuasaan itu usai dan kalah, mereka tiarap dan bahkan terpecah karena tidak tercapai tujuannya. Itu sebabnya, para buzzer, influncer pendukung Jokowi seperti diatas angin sesudah selesai pilpres, utamanya di bulan september.

Karena kesetiaan para pendukung Jokowi itulah, dimana terus bekerja dan memberikan dukungan moral kepada Jokowi, maka dianggaplah bahwa para buzzer, influncer Jokowi itu semua di bayar, padahal tidak.

Saya paham benarlah dan mengenal juga beberapa diantaranya. Mereka banyak yang murni berjuang untuk mensukseskan Jokowi memimpin Negara ini. Kalaupun ada yang mendapat bayaran tentulah bukan sepengetahuan Jokowi itu.

Nah, kompetisi ini tentulah akan susah dimenangkan oleh tempodotco karena dia berusaha melawan arus massa.

Yang saya pahami, bahwa para buzzer, influencer Jokowi itu pintar-pintar memanfaatkan momentum untuk meningkatkan follower mereka. Itu saja!

Berdasarkan beberapa alasan sederhana yang saya sampaikan diatas, di era media sosial seperti sekarang ini, tidak baik bagi tempodotco memusuhi, buzzer, influncer dan blogger/vlogger, sebab tak ada beban bagi mereka untuk menghancurkan kredibilitas anda. Berdamailah dengan para penulis itu, persaingan memang tidak bisa dihindari, tetapi dunia jurnalisme adalah dunia kreatifitas. Sadarilah itu.

Salam kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun