Pada dirimu, aku melihat, ada keberpihakan kepada kaum papa, meski tak mudah mewujudkannya. Caramu mendengarkan mereka, bangkitkan harapan yang telah lama sirna. Caramu menatap mereka, bagai hadirnya setetes embun di pagi hari.
Caramu berlaku, caramu bertindak, tiada menyakiti, tetapi merangkul. Tumpahkan kehangatan pada setiap jiwa yang kering. Dan mereka seperti sembuh dari sakit, meski engkau bukanlah dokter terbaik.
Pada dirimu, kutemukan kedekatan yang tak berjarak dengan rakyatmu, meski engkau mampu menjauh. Tetapi engkau memilih untuk ada disamping mereka.
Saat pemimpin lain, membatasi diri dengan pengawalan yang ketat, sirine meraung-raung, menjajah telinga dalam ketenangan, engkau memilih untuk biasa saja. Saat pemimpin lain, memagari rumah dan istana mereka dengan pagar tertinggi dan terhebat, engkau memilih membukakan pintu kepada siapapun dengan sentuhan makan siangmu. Hingga rakyat yang tak pernah bermimpipun untuk menginjakkan kaki di karpet istana yang halus itu, menjadi nyata dan tak pandang bulu.
Pada dirimu, kutemukan sikap yang membela Negara Kesatuan Republik Indonesia, tak kalah anak bangsa ini bermalas-malasan bekerja, tak kalah anak bangsa ini banyak yang tertinggal, tatkala anak bangsa ini banyak yang dibesarkan dalam budaya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, yang jika timbul masalah, anak bangsa ini menjadi anak-anak yang pesimis, anak bangsa ini menjadi anak-anak yang kehilangan daya juang, tetapi engkau memilih untuk berkata, Revolusi mental.
Engkat berkata, dengan revolusi mentallah, daya juang lahir, dengan revolusi mentallah rasa optimisme dapat dibangun, agar setiap anak negeri menyadari betapa kita bangsa yang besar, bangsa yang akan dihormati bangsa-bangsa lain di dunia di masa yang akan datang.
Pada dirimu, kudapatkan arti hidup berbagi yang sebenarnya. Engkau membagi harta kepada setiap orang yang membutuhkan. Engkau membagi senyum kepada setiap insan yang tak berdaya, engkau membagi kebahagiaan kepada kaum muda lewat berbagai cara yang kau gunakan.
Pada dirimu, kurasakan arti keadilan dalam memimpin. Engkau telah mengunjungi ribuan tempat di nusantara ini hanya dalam setahun dan engkau tidak membeda-bedakan itu semua. Dari ujung Aceh sampai ujung Papua, jejak-jejak kakimu telah terpatri. Engkau adil pada rakyatmu, bukan hanya elit yang engkau senangkan, tetapi tukang ojek, tukang bajaj, supir angkot, penyapu jalan, kau perlakukan sama dimatamu dengan para pengusaha, dengan para eksekutif bahkan ditanganmu para pejabat sudah mulai berubah dari bos menjadi pelayan.
Pada dirimu, Kudapatkan arti pemimpin yang sederhana. Sederhana bukan hanya karena bajumu yang sederhana, tetapi juga kehidupanmu sangat sederhana. Termalukanlah kami sesungguhnya dengan gaya yang dipaksakan, meskipun kami bukan sesiapa, jika terbandingkan dengan gayamu sebagai penguasa nomor wahid.
Termalukanlah kami seharusnya, sebab kami tak pernah sadar yang kami punya. Engkau yang berkuasa, tetapi kami yang sok kuasa. Engkau yang duduk disinggasana Kerajaan, tetapi kami yang kau perlakukan bagai raja.
Benarlah, kata tua-tua diraja berkata, teladanmu adalah panutan.