Sumbangsih gas rumah kaca terbesar di Indonesia berasal dari sektor kehutanan. Komitmen pemerintah dipertanyakan.
Pada COP27 Mesir, pemerintah Indonesia memperbaharui target NDCÂ mereka dari 29% menjadi 31% dengan upaya sendiri, dan dari 41% menjadi 43% dengan dukungan internasional di bawah BAU (business as usual). Namun, upaya ini faktanya kurang menghasilkan dampak besar terhadap perubahan status aksi iklim Indonesia.
Data Climate Action Tracker (CAT) menunjukkan, sejak Indonesia memperbaharui target NDC nya pada September 2022, status aksi iklim Indonesia berada pada posisi highly insufficient, atau masuk kategori negara yang "sangat tidak memadai." Masalah penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan (LULUCF) adalah penyebab utamanya.
Tingginya kasus deforestasi dan kebakaran hutan telah menyumbang hampir 50% emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia selama 20 terakhir. Pada gilirannya, masalah ini membuat target NDC yang telah perbaharui dalam mengatasi perubahan iklim dan menurunkan emisi melalui bantuan sektor kehutanan terasa jauh panggang dari api.Â
Masalah Kebijakan
Institute for Essential Services Reform (IESR) CAT-Country Assessment Team, Shanaz Firdausi menjelaskan, lemahnya implementasi komitmen terhadap perjanjian internasional serta koordinasi yang buruk antara lembaga pemerintah dan kementerian terkait membuat usaha untuk melindungi hutan menjadi tantangan yang teramat besar.
Hal ini salah satunya dapat ditemukan dari sikap Indonesia pada COP26 di Glasgow, Irlandia pada tahun 2021 lalu, yang menarik diri dari inisiatif sektoral dalam masalah kehutanan. Indonesia awalnya menandatangani inisiatif sektoral tersebut. Namun, pada akhirnya dibatalkan karena inisiatif itu dianggap bertentangan dengan tujuan pembangunan Indonesia.
Pembatalan ini menjadi duri di dalam daging. Karena faktanya, kemampuan Indonesia untuk memenuhi target NDC dari upaya sendiri dan dengan dukungan internasional sangat bergantung dari sektor kehutanan. Sebab, menurut penelitian mereka sektor kehutanan mampu memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi GRK sebesar 60%.
"Meski dibatalkan untuk penghentian deforestasi, namun Indonesia telah menerbitkan regulasi Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink pada tahun 2030," kata Shanaz dalam acara Report Launching and Discussion: Climate Action Tracker (CAT) -- Indonesia Assessment 2022 baru-baru ini.
FOLU Net Sink dan Dorongan Komoditas
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani, Nadia Hadad, pemerintah Indonesia sangat bergantung pada FOLU Net Sink sebagai kontribusi mereka untuk menurunkan emisi global. Hal ini tercermin dari tingginya presentasi pemerintah Indonesia terhadap sektor FOLU yang mencapai 55% di dalam susunan NDC terbaru mereka.
FOLU Net Sink sangat diandalkan oleh pemerintah Indonesia karena memiliki kemampuan untuk menyerap karbon sebesar 140 juta ton CO2e pada tahun 2030 mendatang, sekaligus menjadi upaya ambisius untuk memenuhi komitmen dalam membatasi suhu bumi sebesar 1,5 derajat celcius, sebagaimana yang diatur dalam perjanjian Paris.
Meski begitu, keandalan dan jurus FOLU Net Sink ini tetap memiliki celah dan rentan untuk dipolitisir. Sebab, dalam target Enhanced NDC terbaru, pemerintah Indonesia membuka peluang terhadap upaya deforestasi dan konversi lahan sebesar 359 ribu hektar di seluruh area hutan yang tersebar di Indonesia.
Hal ini dikarenakan, pemerintah Indonesia memiliki ketergantungan yang amat besar terhadap sektor penggunaan lahan dan kehutanan, dalam hal ini pembangunan, utamanya pembangunan ekonomi terhadap komoditas pertanian kelapa sawit yang memang sangat laku dan diminati oleh pasar internasional, khususnya Eropa.
Data menunjukkan, pada 2021 permintaan global terhadap komoditas kelapa sawit meningkat tajam hingga mencapai 90%. Karena itu, pemerintah Indonesia akhirnya menerapkan kebijakan pembangunan nasional untuk menggenjot produktivitas komoditi kelapa sawit dengan cara membuka lahan baru melalui deforestasi.Â
Dalam perjalanannya, deforestasi banyak dilakukan dengan cara-cara illegal, utamanya membakar hutan. Hal ini ditempuh karena pembukaan lahan baru dengan membakar hutan adalah opsi paling mudah dan murah. Atas itu, sumbangsih emisi dari sektor kehutanan mencapai 1 GtCO2e/tahun dan membuat Indonesia kehilangan 7% tutupan pohon dunia.
"Harus ada sinkronisasi kebijakan di sektor FOLU dengan kebijakan di sektor-sektor lainnnya. Agar upaya dalam mengurangi emisi melalui sektor kehutanan dapat tercapai," kata Nadia.Â
Deforestasi dan Gastro-Kolonialisme
Selain diperuntukan untuk memenuhi kebijakan pembangunan nasional, Nadia menjelaskan jika FOLU Net Sink juga diperuntukan sebagai jalan untuk melaksanakan proyek lumbung pangan nasional, yang saat ini menjadi salah satu program prioritas pemerintah guna menciptakan kepastian stok pangan selama masa pandemi dan ancaman krisis pangan.
Pernyataan Nadia soal ini sangat menarik untuk dianalisis lebih jauh. Sebab pasalnya, proyek lumbung pangan nasional atau food estate dinilai oleh sebagian besar pengamat dan pemerhati lingkungan sebagai biang keladi dari meluasnya deforestasi, yang juga berdampak pada hilangnya sumber pangan lokal suatu komunitas masyarakat.
Salah satu hasil liputan dari Arif dan Yunus (2022), yang bertajuk "Gastro-Kolonialisme di Merauke" menjelaskan, mencuatnya kembali proyek food estate di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo setelah lama vakum, menimbulkan kekhawatiran soal makin rusaknya fungsi hutan di Merauke dan punahnya sumber pangan bagi masyarakat lokal Marind Anim.
Meski memang permasalahan soal rusaknya fungsi hutan dan punahnya sumber pangan ini sudah terjadi jauh sebelum Presiden Joko Widodo mewacanakan kembali proyek ini, namun Dwi Andreas, Guru Besar Bioteknologi Tanah IPB University, mengkhawatirkan jika proyek tersebut justru menjadi permainan ekonomi politik bagi korporasi-korporasi besar nantinya.
Kekhawatirannya soal hal ini muncul dari sejarah panjang terkait pewacanaan Merauke sebagai wilayah penghasil pangan dan energi pada tahun 2010, melalui program bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Tujuan utama dari program ini adalah menciptakan lumbung pangan dan menghasilkan energi.
Hutan yang nantinya akan dikonversi menjadi lahan produktif untuk memenuhi keperluan tersebut awalnya adalah sebesar 2,5 juta ha. Namun, karena adanya ketidaksamaan pada Rencana Tata Ruang dan Ruang Wilayah (RTRW) Papua saat itu, maka luas lahan yang dialokasikan hanya mencapai 552.316 ha saja.
Di balik semua itu, Dwi menjelaskan proyek ini jutsru memicu tindakan deforestasi dan konversi lahan yang jauh lebih besar di Merauke pada tahun-tahun berikutnya. Sebab, adanya permainan politik dan kepentingan korporasi untuk mendapatkan hak konsesi lahan. Pada tahun 2010 misalnya, ada 37 korporasi yang telah mendapatkan hak konsesi lahan.
Alih-alih mendukung proyek lumbung pangan nasional, kebanyakan dari korporasi yang sudah mendapatkan jatah lahan itu, masing-masing justru lebih banyak menanam komoditas kelapa sawit dan mengubahnya menjadi hutan industri (HTI). Hanya ada satu perusahaan saja yang mengembangkan tanaman padi dan itu pun juga berujung pada kegagalan.
"MIFEE hanya atas nama pangan, sebagian besar investor sudah masuk pengembangan sawit dan HTI (hutan industri)," kata Andreas.Â
Dampak deforestasi dan konversi lahan yang makin meluas di Merauke ini, akhirnya menyebabkan kesulitan bagi masyarakat Marind Anim hingga sekarang untuk mengakses panganan lokal yang kebanyakan berasal dari hutan, seperti sagu dan hewan-hewan liar yang kaya akan kandungan proteinnya yang tinggi.Â
Atas itu, masyarakat Marind Anim kini harus mengakses beras sebagai panganan pokok dan terpaksa juga harus mengkonsumsi produk-produk mi instan serta minuman dengan pemanis buatan yang makin menjauhkan mereka dari sumber makanan yang memenuhi asupan gizi, atau mudahnya mereka mengalami "kolonialisasi perut."
Langkah-Langkah Berkelanjutan
Adapun berbagai langkah yang terus diupayakan oleh CAT dan IESRÂ untuk mendorong aksi nyata pemerintah Indonesia dalam komitmen mereka melindungi hutan sesuai dengan perjanjian FOLU Net Sink, antara lain:
1. Memperbaiki alur komunikasi dan informasi antar lembaga-lembaga terkait untuk mendukung implementasi target FOLU Net Sink pada tahun 2030.
2. Menciptakan sinkronisasi kebijakan antar lembaga.
3. Memikirkan sekaligus merencanakan sistematika transisi energi berkelanjutan yang tidak mengorbankan eksistensi hutan.
4. Melibatkan partisipasi masyarakat lokal yang tinggal di hutan untuk mengawal keberlanjutan komitmen dari pemerintah dalam melindungi hutan.
Kita menanti komitmen dan langkah nyata pemerintah Indonesia dalam melindungi hutan. Tidak ada alasan lagi untuk mengulur-ulur waktu. Telah ditandatanganinya perjanjian FOLU Net Sink menandakan bahwa pemerintah Indonesia harus segera mewujudkan tindakannya, agar hutan Indonesia dapat tetap lestari untuk masa depan depan dunia yang lebih sehat.
Daftar Pustaka:
Wakil Presdien Republik Indonesia K. H Ma'ruf Amin. (2022, November 8). Pada KTT COP27, Wapres Serukan Tindakan Kolektif Atasi Krisis Planet. wapresri.go.id. Diakses tanggal 7 Desember 2022.
Climate Action Tracker. (2022, Oktober 26). Indonesia Overall Rating. climateactiontracker.org. Diakses tanggal 7 Desember 2022.
Climate Action Tracker. (2022, Oktober 26). Indonesia Overall Rating on Forestry. climateactiontracker.org. Diakses tanggal 7 Desember 2022.
Arif dan Yunus. (2022, Desember 14). Gastro-Kolonialisme di Merauke. rainforestjournalismfund.com. Diakses tanggal 2 Januari 2023.
Direktorat Jendral Pengedalian Perubahan Iklim. (2022, September 21). Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC): Komitmen Indonesia Untuk Makin Berkontribusi dalam Menjaga Suhu Global. ditjenppi.menlhk.go.id. Diakses tanggal 7 Desember 2022.
Institute for Essential Services Reform. (2022, Desember 6). Peluncuran Laporan dan Diskusi: Climate Action Tracker (CAT)- Indonesia Assessment 2022. youtube.com. Diakses tanggal 7 Desember 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H