Pernyataan Nadia soal ini sangat menarik untuk dianalisis lebih jauh. Sebab pasalnya, proyek lumbung pangan nasional atau food estate dinilai oleh sebagian besar pengamat dan pemerhati lingkungan sebagai biang keladi dari meluasnya deforestasi, yang juga berdampak pada hilangnya sumber pangan lokal suatu komunitas masyarakat.
Salah satu hasil liputan dari Arif dan Yunus (2022), yang bertajuk "Gastro-Kolonialisme di Merauke" menjelaskan, mencuatnya kembali proyek food estate di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo setelah lama vakum, menimbulkan kekhawatiran soal makin rusaknya fungsi hutan di Merauke dan punahnya sumber pangan bagi masyarakat lokal Marind Anim.
Meski memang permasalahan soal rusaknya fungsi hutan dan punahnya sumber pangan ini sudah terjadi jauh sebelum Presiden Joko Widodo mewacanakan kembali proyek ini, namun Dwi Andreas, Guru Besar Bioteknologi Tanah IPB University, mengkhawatirkan jika proyek tersebut justru menjadi permainan ekonomi politik bagi korporasi-korporasi besar nantinya.
Kekhawatirannya soal hal ini muncul dari sejarah panjang terkait pewacanaan Merauke sebagai wilayah penghasil pangan dan energi pada tahun 2010, melalui program bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Tujuan utama dari program ini adalah menciptakan lumbung pangan dan menghasilkan energi.
Hutan yang nantinya akan dikonversi menjadi lahan produktif untuk memenuhi keperluan tersebut awalnya adalah sebesar 2,5 juta ha. Namun, karena adanya ketidaksamaan pada Rencana Tata Ruang dan Ruang Wilayah (RTRW) Papua saat itu, maka luas lahan yang dialokasikan hanya mencapai 552.316 ha saja.
Di balik semua itu, Dwi menjelaskan proyek ini jutsru memicu tindakan deforestasi dan konversi lahan yang jauh lebih besar di Merauke pada tahun-tahun berikutnya. Sebab, adanya permainan politik dan kepentingan korporasi untuk mendapatkan hak konsesi lahan. Pada tahun 2010 misalnya, ada 37 korporasi yang telah mendapatkan hak konsesi lahan.
Alih-alih mendukung proyek lumbung pangan nasional, kebanyakan dari korporasi yang sudah mendapatkan jatah lahan itu, masing-masing justru lebih banyak menanam komoditas kelapa sawit dan mengubahnya menjadi hutan industri (HTI). Hanya ada satu perusahaan saja yang mengembangkan tanaman padi dan itu pun juga berujung pada kegagalan.
"MIFEE hanya atas nama pangan, sebagian besar investor sudah masuk pengembangan sawit dan HTI (hutan industri)," kata Andreas.Â
Dampak deforestasi dan konversi lahan yang makin meluas di Merauke ini, akhirnya menyebabkan kesulitan bagi masyarakat Marind Anim hingga sekarang untuk mengakses panganan lokal yang kebanyakan berasal dari hutan, seperti sagu dan hewan-hewan liar yang kaya akan kandungan proteinnya yang tinggi.Â
Atas itu, masyarakat Marind Anim kini harus mengakses beras sebagai panganan pokok dan terpaksa juga harus mengkonsumsi produk-produk mi instan serta minuman dengan pemanis buatan yang makin menjauhkan mereka dari sumber makanan yang memenuhi asupan gizi, atau mudahnya mereka mengalami "kolonialisasi perut."