Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menganalisis Mentalitas Kolonial yang Lestari

8 September 2021   08:00 Diperbarui: 11 September 2021   21:21 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Negara-negara di Eropa saling bersaing untuk mendapatkan tanah jajahan di negeri seberang (Timur) | matatimoer.or.id

Ada mentalitas kolonial yang tersirat, di balik fenomena foto bareng bule dan doyan makan makanan cepat saji

"Kenapa orang Indonesia suka banget foto bareng turis asing, alias bule?" Pertanyaan tadi mungkin terdengar cukup menggelitik bagi sebagian kalangan. Ya, fenomena "foto bareng bule" mungkin merupakan fenomena yang sangat lumrah di mata kita. Tidak sulit untuk menemukan fenomena seperti ini. Anda hanya perlu berkunjung ke satu tempat wisata terkenal di dekat tempat tinggal anda dan di sana, pasti anda akan dengan mudah menemukan fenomena tersebut.

Uniknya, fenomena seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di negara kita saja. Fenomena "foto bareng bule" toh nyatanya juga dapat ditemukan di negara lain, khususnya di negara-negara Asia. Sebutlah seperti di India ataupun Tiongkok misalnya, fenomena "foto bareng bule" nyatanya juga kebanyakan terjadi di banyak destinasi wisata terkenal, seperti di Tembok Besar Cina, di Taj Mahal, ataupun di tempat wisata lain yang biasanya menjadi destinasi wajib bagi turis asing.

Tidak hanya persoalan "foto bareng bule" saja, kasus kecintaan dan kekaguman kita terhadap nilai kebarat-baratan (kebulean), nyatanya juga dapat kita temukan dengan mudah di berbagai ranah kehidupan lain. Dalam segi kuliner misalnya, saat kita makan disebuah restoran cepat saji yang baru saja di buka, beberapa orang mungkin akan cenderung merasa bangga dan memiliki gengsi jika mereka pernah makan di sana atau mungkin pernah menjadi bagian dari suatu tren kuliner.

Pada pembukaan restoran Taco Bell dan KFC Naughty by Nature di bilangan Jakarta Selatan pada beberapa waktu yang lalu misalnya, kita bisa membayangkan seberapa besarnya riak antusiasme yang muncul, khususnya dari anak-anak muda yang ingin menjadi bagian dari tren kuliner tersebut, yang kemudian pengalamannya bisa mereka pamerkan lewat akun media sosial masing-masing, karena telah berhasil menjadi bagian dari tren yang sedang hype (populer).

Meskipun dua fenomena di atas terkesan lumrah, namun ternyata fenomena tersebut justru mengisyaratkan adanya mental bekas penjajah yang terus diwarisi. Lalu, bagaimana hal itu dapat terjadi? Untuk bisa menjawabnya, kita perlu meminjam sudut pandang kajian poskolonialisme. Poskolonialisme adalah seperangkat teori dalam bidang filsafat, film, sastra dan bidang lainnya, yang bertugas mengkaji legalitas budaya mengenai peran kolonial di masa lalu (Nurhadi, 2007).

Dalam studi poskolonialisme, kata "pos" (post) diartikan dan dipahami sebagai suatu hal yang bersifat "melampaui" rentang waktu dari peristiwa kolonialisme itu sendiri, atau dapat juga dipahami sebagai cara pandang yang terus berusaha menilisik berbagai peninggalan kolonialisme di masa lalu yang kemudian menjelma dan dirawat ke dalam suatu bentuk kolonialisme yang bersifat lebih lunak, cair, dan bersahabat di era globalisasi seperti sekarang (Nurhadi, 2007).

Menurut Edward Said, salah satu tokoh penting dalam bidang studi kajian poskolonial, yang berhasil mempopulerkan sebuah istilah bernama Orientalisme (Orientalism), dalam bukunya yang berjudul Orientalism (1995: 204), menjelaskan bahwa studi poskolonialisme secara komperhensif melihat berbagai bentuk dari sejarah penjajahan yang erat kaitannya dengan praktik dan pendekatan untuk dapat mendominasi, mengkonstruksi dan menundukan Timur secara ajeg.

Lambat laun, berbagai konsep pemikiran pun dibentuk oleh para penjajah (Barat), untuk semakin membuat Timur tampak tak berdaya secara pemikiran dan karakter mereka. Secara lebih lanjut, menurut analisis Nurhadi (2007: 2), studi poskolonial yang digagas oleh Said mengenai Orientalisme, terinspirasi dari teori hegemoni Antonio Gramsci dan teori diskursus Michel Foucault, yang menawarkan metode analisis dalam melihat praktik kolonialisme ala Barat.

Menurut Said (1995) teori hegemoni dan diskursus sangat berguna dalam studi poskolonialisme, karena kedua teori tersebut menawarkan suatu cara pandang yang kritis dan makro dalam melihat berbagai peristiwa penjajahan dan pertukaran budaya yang bersifat eksplisit. Seperti adanya penanaman nilai-nilai Barat yang selalu digaungkan lebih tinggi stratanya dari pada Timur, yang akhirnya berdampak pada banyak segi kehidupan masyarakat kolonial.

Pendidikan di zaman kolonial, di mana hanya orang berdarah biru dan Eropa saja yang berhak atas pendidikan | boombastis.com
Pendidikan di zaman kolonial, di mana hanya orang berdarah biru dan Eropa saja yang berhak atas pendidikan | boombastis.com

Sebagai contoh, orang-orang pribumi (indigenous) tidak berhak mendapatkan akses pendidikan, terkecuali jika mereka berdarah biru atau merupakan seorang Eropa; orang-orang pribumi tidak berhak untuk memiliki rumah yang dibangun dari bahan baku beton dan air rumahnya dialiri dengan pipa; dan lain sebagainya. Selain itu, teori hegemoni dan diskursus, di satu juga sangat membantu dalam melihat persaingan kelas antara mereka yang terjajah dengan sang penjajah.

Sebagai contoh, jika anda pernah membaca buku Bumi Manusia karya Pramoedya Anantatoer dan juga sudah pernah menonton edisi filmnya, anda mungkin akan dengan mudah menemukan, tiga kelas sosial di era kolonial, yakni Indo (Indis), Eropa, dan Pribumi, di mana kaum Eropa selalu yang paling tinggi kelasnya. Inilah salah satu contoh dari bentuk persaingan kelas yang dilihat dan dikaji melalui kacamata teori hegemoni dan diskursus dalam studi poskolonialisme.

Dalam kajiannya, Said juga menjelaskan bahwa Barat selalu berupaya untuk membangun citranya sebagai bangsa yang "superior", yang memiliki tugas dan peran untuk melakukan "penjajahan", sebagai bagian dari tugas mulia Tuhan dalam memberadabkan bangsa Timur yang, dicap sebagai bangsa yang pandir (bodoh) dan terbelakang. Pemahaman ini, senada seperti yang diutarakan oleh Utami (2012: 807) mengenai bentuk kolonialisasi pikiran (colonizing mind) yang dilakukan Barat.

Menurut Utami (2018), kolonialisasi pikiran (colonizing mind) dapat dipahami sebagai sebuah terminologi yang menyatakan, bahwa sekalipun penjajahan secara bersenjata (fisik) telah usai, namun penjajahan terhadap budaya, pemikiran dan karakter sebuah bangsa (Timur) masih akan terus berlangsung. Inilah salah satu alasannya, mengapa kita selalu memandang dunia Barat sebagai dunia yang lebih bergengsi, dari pada sesuatu yang berangkat dari identitas Timur.

Maka dari itu, karena Timur selalu dipandang liyan oleh penjajah Barat, kita sebagai bangsa Timur akhirnya memiliki cara berpikir yang stagnan mengenai citra Barat, yang seringkali digambarkan sebagai dunia yang gemerlap dan elegan dengan semua kekuatan serta kemajuan yang mereka miliki. Pemikiran ini, akhirnya membuat kita berkaca, bahwa kita (Timur) menjadi seolah-olah "terbelakang", perlu "dibina", dan harus tetap tunduk pada kekuatan Barat.

Dalam konteks "foto bareng bule" atau mungkin kecintaan kita terhadap "makanan cepat saji", yang terkesan lumrah, lugu, dan bergengsi, kita baru bisa menyadari, bahwa fenomena ini bukan lah suatu fenomena yang terberi begitu saja, sebagai akibat dari merebaknya media sosial dan globalisasi. Namun, perilaku ini ada karena adanya kolonialisasi pikiran yang terus diwariskan hingga saat ini, yang akhirnya mempengaruhi cara pandang kita dalam melihat Barat.

Seperti contoh yang sudah dijelaskan sebelumnya, baik kegemaran kita berfoto bersama bule ataupun kebanggaan kita makan makanan cepat saji, pada dasarnya, kedua fenomena ini dapat dikaji secara lebih lanjut. Menurut Umar dalam Hasan (2018), ada dua faktor yang mendasari perilaku tersebut. Pertama, soal cara berpikir rasial mengenai orang kulit putih yang mengakar. Akar pemikiran ini murni dari proses kolonialisasi yang pernah dilakukan oleh Eropa (Belanda, Inggris, dll) di masa lampau.

Cara berpikir yang demikian justru semakin melestarikan superioritas orang berkulit putih (Kaukasian) pada strata yang lebih tinggi, dan justru semakin membuat kita lebih inferior terhadap orang berkulit putih. Lucunya, cara pandang ini justru dipertahankan, terus dipelihara dan dilestarikan dalam struktur politik global, yang tercermin pada banyak hal, seperti ilmu pengetahuan, sains, politik, militer, ekonomi, media, kuliner, budaya pop dan lainnya, yang selalu didominasi oleh Barat.

Faktor yang kedua adalah adanya ketimpangan dalam proses modernisasi teknologi, informasi, dan komunikasi, yang diperkenalkan oleh negara-negara Barat ke negara bekas jajahan mereka. Terjadinya ketimpangan dalam faktor ini, pada dasarnya dipicu oleh persebaran, perkembangan, dan pengenalan teknologi yang tidak merata, terkhususnya di negara-negara Timur (jajahan). Ketimpangan ini bisa terjadi karena adanya politisasi sistem dalam skala global.

Poskolonialisme  di abad ke-21, melalui kajian teori WST, di mana Amerika dan Tiongkok saling berebut kuasa secara global | globaltimes.cn
Poskolonialisme  di abad ke-21, melalui kajian teori WST, di mana Amerika dan Tiongkok saling berebut kuasa secara global | globaltimes.cn

Dalam konteks ini, politisasi sistem yang dimaksud berkenaan dengan World System Theory (WST). Menurut McPhail (2014) World System Theory adalah suatu teori yang berusaha melihat, bahwa pergerakan modernisasi dan ekonomi yang terjadi dalam lingkup global tidak pernah berjalan secara seimbang (timpang). Selalu ada berbagai upaya yang dilakukan untuk membuat suatu negara agar tetap menjadi miskin atau menjadikan suatu negara tetap kaya dan berkuasa.

Ketimpangan ini akhirnya melahirkan suatu stratifikasi sosial dalam menempatkan suatu negara. Ada tiga tingkatan negara dalam WST, yakni negara inti (core nation); negara semi pinggiran (semi periphery); dan negara pinggiran (periphery) (Wallerstein dalam McPhail, 2014). Ketimpangan ini muncul karena adanya superioritas yang ingin terus dipertahankan oleh negara-negara inti (core) terhadap negara-negara golongan semi pinggiran dan pinggiran.

Negara-negara maju (core) merawat superioritas tersebut dalam berbagai cara, yakni mengkontrol keuntungan, mempertahankan hegemoni, dan mempertahankan sifat-sifat baik dengan negara-negara semi pinggiran atau pinggiran. Cara-cara ini lantas ditempuh dalam bentuk yang beranekaragam, seperti contohnya melakukan doktrinisasi lewat media dan pemberitaan, yang kemudian berdampak pada banyak hal, seperti industri kuliner; budaya pop; fesyen; ilmu pengetahuan; dan lainnya.

Doktrinisasi lewat media dan pemberitaan sangat berguna dalam melanggengkan pengaruh atas status superioritas Barat sebagai bangsa yang selalu menduduki puncak menara gading dan menjadi mercusuar bagi bangsa lainnya. Doktrinisasi ini di satu sisi juga semakin melanggengkan kolonialisasi pikiran pada masyarakat yang pernah mengalami penjajahan, yang ikut berdampak pada membudayanya perasaan inferior dalam melihat dan merepresentasikan bangsa Barat.  

Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan, bahwa dua contoh fenomena tersebut (foto bareng bule dan suka makanan cepat saji) merupakan bentuk lain dari mentalitas kolonial yang eksplisit, yang terus terjadi dan terus diwariskan secara tidak sengaja oleh kita hingga hari ini. Bagi sebagian orang, fenomena di atas mungkin terlihat lumrah, namun, dalam kacamata pengkaji poskolonialisme, perilaku ini jelas membudayakan mentalitas kita sebagai bangsa yang lemah.

Maka dari itu, ada banyak hal yang perlu kita lakukan untuk bisa mendobrak stereotip (lemah dan nurut) tersebut, dengan tujuan untuk membangun kembali harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang besar, agar, kita mampu mengejar ketertinggalan terhadap segala kemajuan yang sudah diperoleh Barat, yang semoga pada akhirnya mampu membuat kita bisa setara dalam banyak bidang, seperti dalam hal ekonomi, politik, IPTEK, media dan lainnya.

Untuk bisa sampai ke arah sana, kita bisa mengawalinya dengan membangun masyarakat yang terbuka terhadap IPTEK, riset, dan pendidikan yang baik. Kita dapat mendukung kerja pemerintah dalam pengembangan sains dan pemerataan pendidikan, seperti menjadi donatur dan partisipan pada sebuah riset; menggalakan pendidikan filsafat (logika dasar); memajukan budaya literasi yang progresif; mendukung kerja diasporasi yang concern pada bidang akademis, dan lainnya.

Lewat pendidikan dan upaya-upaya ilmiah di atas, kita berharap dapat menjadi manusia dan bangsa yang lebih luhur serta berkembang semakin baik. Dengan pendidikan juga, kita berharap dapat semakin memahami dan kritis terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Pada akhirnya, kita  juga berharap agar semakin terdorong untuk bisa bergerak dalam memecahkan masalah, mencari jawaban, dan membuat dampak yang berarti bagi masyarakat luas. 

Lewat pendidikan, kita juga berharap dapat semakin menaikan harkat dan martabat kita sebagai orang Indonesia, agar ke depannya kita mampu berkontribusi secara aktif pada kehidupan global dan mampu bersaingan serta berkolaborasi dengan bangsa lain. Dengan pendidikan, kita juga berharap kedepannya Indonesia juga semakin diperhitungkan sebagai sebuah bangsa yang kuat, dan mampu membawa gebrakan bagi kehidupan politik global yang kotor dan kompetitif.

Daftar Pustaka:

Said, E. (1995). Orientalism. London. Penguin Books

Utami, S. (2018). Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya. Journal of Strategic Communication, 8(2): 36-44. Universitas Pancasila

Nurhadi. (2007). Poskolonial: Sebuah Pembahasan. Seminar Rumpun Sastra (No) 47.

McPhail. 2014. GLOBAL COMMUNICATION: THEORY, STAKEHOLDERS, AND TRENDS. West Sussex. WILEY Blackwell.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun