Dalam konteks ini, politisasi sistem yang dimaksud berkenaan dengan World System Theory (WST). Menurut McPhail (2014) World System Theory adalah suatu teori yang berusaha melihat, bahwa pergerakan modernisasi dan ekonomi yang terjadi dalam lingkup global tidak pernah berjalan secara seimbang (timpang). Selalu ada berbagai upaya yang dilakukan untuk membuat suatu negara agar tetap menjadi miskin atau menjadikan suatu negara tetap kaya dan berkuasa.
Ketimpangan ini akhirnya melahirkan suatu stratifikasi sosial dalam menempatkan suatu negara. Ada tiga tingkatan negara dalam WST, yakni negara inti (core nation); negara semi pinggiran (semi periphery); dan negara pinggiran (periphery) (Wallerstein dalam McPhail, 2014). Ketimpangan ini muncul karena adanya superioritas yang ingin terus dipertahankan oleh negara-negara inti (core) terhadap negara-negara golongan semi pinggiran dan pinggiran.
Negara-negara maju (core) merawat superioritas tersebut dalam berbagai cara, yakni mengkontrol keuntungan, mempertahankan hegemoni, dan mempertahankan sifat-sifat baik dengan negara-negara semi pinggiran atau pinggiran. Cara-cara ini lantas ditempuh dalam bentuk yang beranekaragam, seperti contohnya melakukan doktrinisasi lewat media dan pemberitaan, yang kemudian berdampak pada banyak hal, seperti industri kuliner; budaya pop; fesyen; ilmu pengetahuan; dan lainnya.
Doktrinisasi lewat media dan pemberitaan sangat berguna dalam melanggengkan pengaruh atas status superioritas Barat sebagai bangsa yang selalu menduduki puncak menara gading dan menjadi mercusuar bagi bangsa lainnya. Doktrinisasi ini di satu sisi juga semakin melanggengkan kolonialisasi pikiran pada masyarakat yang pernah mengalami penjajahan, yang ikut berdampak pada membudayanya perasaan inferior dalam melihat dan merepresentasikan bangsa Barat. Â
Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan, bahwa dua contoh fenomena tersebut (foto bareng bule dan suka makanan cepat saji) merupakan bentuk lain dari mentalitas kolonial yang eksplisit, yang terus terjadi dan terus diwariskan secara tidak sengaja oleh kita hingga hari ini. Bagi sebagian orang, fenomena di atas mungkin terlihat lumrah, namun, dalam kacamata pengkaji poskolonialisme, perilaku ini jelas membudayakan mentalitas kita sebagai bangsa yang lemah.
Maka dari itu, ada banyak hal yang perlu kita lakukan untuk bisa mendobrak stereotip (lemah dan nurut) tersebut, dengan tujuan untuk membangun kembali harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang besar, agar, kita mampu mengejar ketertinggalan terhadap segala kemajuan yang sudah diperoleh Barat, yang semoga pada akhirnya mampu membuat kita bisa setara dalam banyak bidang, seperti dalam hal ekonomi, politik, IPTEK, media dan lainnya.
Untuk bisa sampai ke arah sana, kita bisa mengawalinya dengan membangun masyarakat yang terbuka terhadap IPTEK, riset, dan pendidikan yang baik. Kita dapat mendukung kerja pemerintah dalam pengembangan sains dan pemerataan pendidikan, seperti menjadi donatur dan partisipan pada sebuah riset; menggalakan pendidikan filsafat (logika dasar); memajukan budaya literasi yang progresif; mendukung kerja diasporasi yang concern pada bidang akademis, dan lainnya.
Lewat pendidikan dan upaya-upaya ilmiah di atas, kita berharap dapat menjadi manusia dan bangsa yang lebih luhur serta berkembang semakin baik. Dengan pendidikan juga, kita berharap dapat semakin memahami dan kritis terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Pada akhirnya, kita  juga berharap agar semakin terdorong untuk bisa bergerak dalam memecahkan masalah, mencari jawaban, dan membuat dampak yang berarti bagi masyarakat luas.Â
Lewat pendidikan, kita juga berharap dapat semakin menaikan harkat dan martabat kita sebagai orang Indonesia, agar ke depannya kita mampu berkontribusi secara aktif pada kehidupan global dan mampu bersaingan serta berkolaborasi dengan bangsa lain. Dengan pendidikan, kita juga berharap kedepannya Indonesia juga semakin diperhitungkan sebagai sebuah bangsa yang kuat, dan mampu membawa gebrakan bagi kehidupan politik global yang kotor dan kompetitif.
Daftar Pustaka:
Said, E. (1995). Orientalism. London. Penguin Books