Sebagai contoh, orang-orang pribumi (indigenous) tidak berhak mendapatkan akses pendidikan, terkecuali jika mereka berdarah biru atau merupakan seorang Eropa; orang-orang pribumi tidak berhak untuk memiliki rumah yang dibangun dari bahan baku beton dan air rumahnya dialiri dengan pipa; dan lain sebagainya. Selain itu, teori hegemoni dan diskursus, di satu juga sangat membantu dalam melihat persaingan kelas antara mereka yang terjajah dengan sang penjajah.
Sebagai contoh, jika anda pernah membaca buku Bumi Manusia karya Pramoedya Anantatoer dan juga sudah pernah menonton edisi filmnya, anda mungkin akan dengan mudah menemukan, tiga kelas sosial di era kolonial, yakni Indo (Indis), Eropa, dan Pribumi, di mana kaum Eropa selalu yang paling tinggi kelasnya. Inilah salah satu contoh dari bentuk persaingan kelas yang dilihat dan dikaji melalui kacamata teori hegemoni dan diskursus dalam studi poskolonialisme.
Dalam kajiannya, Said juga menjelaskan bahwa Barat selalu berupaya untuk membangun citranya sebagai bangsa yang "superior", yang memiliki tugas dan peran untuk melakukan "penjajahan", sebagai bagian dari tugas mulia Tuhan dalam memberadabkan bangsa Timur yang, dicap sebagai bangsa yang pandir (bodoh) dan terbelakang. Pemahaman ini, senada seperti yang diutarakan oleh Utami (2012: 807) mengenai bentuk kolonialisasi pikiran (colonizing mind) yang dilakukan Barat.
Menurut Utami (2018), kolonialisasi pikiran (colonizing mind) dapat dipahami sebagai sebuah terminologi yang menyatakan, bahwa sekalipun penjajahan secara bersenjata (fisik) telah usai, namun penjajahan terhadap budaya, pemikiran dan karakter sebuah bangsa (Timur) masih akan terus berlangsung. Inilah salah satu alasannya, mengapa kita selalu memandang dunia Barat sebagai dunia yang lebih bergengsi, dari pada sesuatu yang berangkat dari identitas Timur.
Maka dari itu, karena Timur selalu dipandang liyan oleh penjajah Barat, kita sebagai bangsa Timur akhirnya memiliki cara berpikir yang stagnan mengenai citra Barat, yang seringkali digambarkan sebagai dunia yang gemerlap dan elegan dengan semua kekuatan serta kemajuan yang mereka miliki. Pemikiran ini, akhirnya membuat kita berkaca, bahwa kita (Timur) menjadi seolah-olah "terbelakang", perlu "dibina", dan harus tetap tunduk pada kekuatan Barat.
Dalam konteks "foto bareng bule" atau mungkin kecintaan kita terhadap "makanan cepat saji", yang terkesan lumrah, lugu, dan bergengsi, kita baru bisa menyadari, bahwa fenomena ini bukan lah suatu fenomena yang terberi begitu saja, sebagai akibat dari merebaknya media sosial dan globalisasi. Namun, perilaku ini ada karena adanya kolonialisasi pikiran yang terus diwariskan hingga saat ini, yang akhirnya mempengaruhi cara pandang kita dalam melihat Barat.
Seperti contoh yang sudah dijelaskan sebelumnya, baik kegemaran kita berfoto bersama bule ataupun kebanggaan kita makan makanan cepat saji, pada dasarnya, kedua fenomena ini dapat dikaji secara lebih lanjut. Menurut Umar dalam Hasan (2018), ada dua faktor yang mendasari perilaku tersebut. Pertama, soal cara berpikir rasial mengenai orang kulit putih yang mengakar. Akar pemikiran ini murni dari proses kolonialisasi yang pernah dilakukan oleh Eropa (Belanda, Inggris, dll) di masa lampau.
Cara berpikir yang demikian justru semakin melestarikan superioritas orang berkulit putih (Kaukasian) pada strata yang lebih tinggi, dan justru semakin membuat kita lebih inferior terhadap orang berkulit putih. Lucunya, cara pandang ini justru dipertahankan, terus dipelihara dan dilestarikan dalam struktur politik global, yang tercermin pada banyak hal, seperti ilmu pengetahuan, sains, politik, militer, ekonomi, media, kuliner, budaya pop dan lainnya, yang selalu didominasi oleh Barat.
Faktor yang kedua adalah adanya ketimpangan dalam proses modernisasi teknologi, informasi, dan komunikasi, yang diperkenalkan oleh negara-negara Barat ke negara bekas jajahan mereka. Terjadinya ketimpangan dalam faktor ini, pada dasarnya dipicu oleh persebaran, perkembangan, dan pengenalan teknologi yang tidak merata, terkhususnya di negara-negara Timur (jajahan). Ketimpangan ini bisa terjadi karena adanya politisasi sistem dalam skala global.