Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Senjata Biologis" Sang Sultan Agung

22 Juli 2020   08:00 Diperbarui: 22 Juli 2020   08:09 3684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan ilustrasi penyerbuan Mataram ke Surabaya | soekapoera.or.id

Jalur logistik diputus, sungai dicemari wabah penyakit, Surabaya takluk ditangan sang Sultan. 

Beberapa waktu silam jagat dunia maya digemparkan dengan sebuah berita yang menyebutkan jika virus korona (covid-19) adalah sebuah senjata biologis. Meski banyak informasi yang menyebutkan demikian, namun ke semua informasi tersebut seperti berbau narasi konspiratif yang tidak bisa dibuktikan dengan dasar ilmiah yang kuat dan masuk akal.

Senjata biologis bukan barang baru di dunia militer dan pertahanan. Dalam ilmu perang, salah satu cara dalam bertempur adalah dengan menggunakan senjata biologis (biological warfare). Penggunaan senjata biologis dalam sejarah perang, sudah dilakukan sejak ratusan tahun sebelum masehi. Kerajaan Mongol menjadi salah satu kerajaan yang memberikan pengaruh besar atas penggunaan senjata biologis dalam sejarah dunia militer.

Senjata biologis Kerajaan Mongol pada saat itu dipakai untuk mengusir bangsa Genoa keluar dari kota Kaffa di Semenanjung Krimea (sekarang bagian dari Rusia). Dalam perang tersebut, Kerajaan Mongol menggunakan senjata biologis dari jenazah tentara Mongol yang terinfeksi wabah pes (black plague) (Mark,2002).

Taktik yang digunakan oleh Kerajaan Mongol tidak hanya berhasil mengusir bangsa Genoa keluar dari kota Kaffa, tapi juga menimbulkan wabah pes yang sangat destruktif bagi peradaban benua Eropa dan berhasil membunuh lebih dari 25 juta jiwa (Barras & Greub, 2014). Sejarah penggunaan senjata biologis sebagai alat perang ternyata tidak hanya pernah dipakai oleh Kerajaan Mongol saja. Sebuah kerajaan di Indonesia pernah menggunakan senjata yang serupa.

Kerajaan Mataram Islam tercatat menjadi salah satu kerajaan di Indonesia yang pernah menggunakan senjata biologis sebanyak dua kali dalam dua peristiwa perang yang berbeda. Namun, dari kedua perang tersebut, hanya ada satu perang yang berhasil diraih oleh Kerajaan Mataram Islam, yakni saat peristiwa penaklukan Kadipaten Surabaya.

Sebelum kita masuk bagian cerita yang lebih kompleks, ada baiknya jika penulis memberikan sebuah arahan atau rumusan yang dapat memudahkan pembaca untuk memahami isi dari artikel ini, seperti apakah jenis ‘senjata bilogis’ yang dipakai oleh Kerajaan Mataram Islam untuk menaklukan Kadipaten Surabaya? Dan mengapa Kerajaan Mataram Islam berambisi besar untuk menaklukan Kadipaten Surabaya?

Semenjak Kerajaan Mataram Islam berdiri pada tahun 1588, Panembahan Senopati atau raja pertama dari Kerajaan Mataram Islam, sudah memiliki visi besar untuk menaklukan Pulau Jawa raya dalam bayangan panji Mataram Islam (Achmad, 2018). Untuk bisa mencapai hal tersebut, maka penaklukan di berbagai wilayah di Pulau Jawa dilaksanakan.

Kadipaten Surabaya menjadi salah satu wilayah yang paling sulit untuk ditundukan, karena kuatnya pertahanan militer dan baiknya taktik dalam pertempuran (Purwadi & Kazunori, 2007). Alasan lain mengapa Kadipaten Surabaya sangat kuat adalah karena kekuatan logistiknya disanggah oleh banyak wilayah taklukan seperti Tuban, Madura, Wirasaba, Malang, Lumanjang. Lasem, Sukadana dan wilayah penaklukan lainnya.

Lukisan ilustrasi penyerbuan Mataram ke Surabaya | soekapoera.or.id
Lukisan ilustrasi penyerbuan Mataram ke Surabaya | soekapoera.or.id

Kekuatan dan keuntungan geopolitik Kadipaten Surabaya kemudian berimbas pada semakin diakuinya kedaulatan Kadipaten Surabaya sebagai Kadipaten yang kuat di timur Pulau Jawa. Pengakuan ini pun kemudian berpengaruh pada pola perdagangannya dan ditandai dengan hadirnya kapal-kapal dagang Kadipaten Surabaya, mulai dari Selat Malaka hingga ke Kepualauan Maluku (Rickfles, 2008).

Kekuatan yang begitu besar dan makin meluas dari Kadipaten Surabaya tentu saja membuat gerah para penguasa Mataram Islam. Dalam buku Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan Di Nusantara karya Sri Wintala Achmad (2018), mengisahkan bahwa Kerajaan Mataram Islam sudah berusaha menyerang Kadipaten Surabaya sejak tahun 1601 atau sejak era pemerintahan Panembahan Senopati.

Dikutip dari portal media online Historia.id (10/7/2019), Sejarawan Universitas Gadjah Mada. Dr. Sri Margana, menjelaskan, alasan kenapa penguasa Mataran Islam sejak lama begitu ambisius untuk menaklukan Kadipaten Surabaya adalah karena alasan legitimasi kekuasaan religius. Dalam pernyataannya, Margana menyebutkan bahwa para penguasa Surabaya adalah keturunan para wali, sementara Mataram adalah keturunan petani.

Legitimasi kuasa berdasarkan tahkta suci agama menjadi penting pada periode saat itu, karena masyarakat Jawa masih memegang teguh kepercayaan bahwa pemimpin atau raja adalah pusat semesta (kosmis) yang mengatur antara alam dengan manusia. Hal ini kemudian menciptakan perspektif bahwa raja adalah keturunan dari nabi dan dewa, sehingga mereka berhak untuk memerintah dan berkuasa.

Masyarakat Jawa pada saat itu yang sudah memeluk agama Islam, secara berbarengan juga masih menjalankan tradisi Kejawen. Kaum Abangan adalah sebutan bagi mereka yang sudah menganut agama Islam, namun masih menjalankan agama budaya mereka, Kejawen. Kejawen menjadi suatu kepercayaan yang dipegang teguh.

Karena saat itu masyarakat Jawa masih dipengaruhi oleh doktrin dan praktik kepercayaan dari Hindu-Budha mengenai animisme. Hal ini kemudian menciptakan suatu perspektif religius yang kental dengan kosmologi, mitologi dan seperangkat konsepsi mistis, seperti pengagungan terhadap jiwa-jiwa yang sakti, penghormatan kepada arwah dan tempat yang di keramatkan (Mulder, 2001).

Atas alasan spiritual dan kepercayaan yang berkembang itulah yang membuat penguasa Mataram Islam rela melakukan cara apapun agar dapat menaklukan Kadipaten Surabaya sebagaian bagian dari misi untuk mengusai Pulau Jawa raya. Perjuangan untuk menaklukan Surabaya berlanjut hingga era pengangkatan dan pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1613.

Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, taktik perang untuk merebut Kadipaten Surabaya mengalami perubahan. Alih-alih mengikuti taktik perang para pendahulunya dengan menyerang langsung, Sultan Agung lebih memilih untuk menyerang wilayah kantung yang penting bagi Kadipaten Surabaya. Aksi militer perdana Sultan Agung untuk menyerbu Kadipaten Surabaya pada tahun 1613, dilaksanakan oleh Tumenggung Surantani dan Tumengung Alap-Alap.

Menurut Babad Tanah Jawi Sejarah Asal Mula Raja-Raja Jawa karya Purwadi & Kazunori (2007), dalam aksi perdana, Tumenggung Surantani tewas ditangan Raden Panji Pulangjiwa dari Madura (menantu Rangga Tohwijaya, Bupati Malang) dalam perang Sungai Andaka (sekarang Sungai Brantas). Namun, Tumenggung Alap-Alap dapat mengalahkan dan membalaskan dendamnya kepada Raden Panji Pulangjiwa dengan ‘perangkap’ yang sudah disiapkan.

Aksi militer perdana yang diutus oleh Sultan Agung dengan menyarang Malang dan Lumanjang, menciptakan eskalasi perang dan penaklukan yang lebih besar terhadap wilayah-wilayah kantung lain yang dikuasai Kadipaten Surabaya, seperti Wirasaba, Lasem, Mojokerto, Tuban, Pasuruhan dan wilayah kantung penting lainnya.

Perang melawan Kadipaten Surabaya hampir mencapai puncaknya ketika Pulau Madura dan Sukadana (Kalimantan) berhasil ditaklukan oleh sang Sultan dengan mengirim Tumenggung Bahureksa (Bupati Kendal) untuk menaklukan Sukadana dan Ki Juru Kiting untuk menaklukan Pulau Madura (Achmad, 2018).

Kedua wilayah ini adalah bagian penting karena menyokong kekuatan militer dan logistik pangan yang selalu siap sedia membantu pertahanan dan perbekalan bagi Kadipaten Surabaya jika diserang oleh pihak lawan. Dengan jatuhnya Pulau Madura dan Sukadana, praktis posisi kekuatan Kadipaten Surabaya juga berangsur-angsur lemah. Hal lain yang juga menguntungkan bagi Mataram adalah dikuasainya Mojokerto.

Mojokerto adalah salah satu daerah taklukan Mataram yang dilewati oleh Sungai Brantas yang menjadi induk bagi Sungai Mas, sungai yang menjadi sumber air baku bagi penduduk Kota Kadipaten Surabaya. 

Dalam Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam Sampai Pangeran Purbaya karya Olthof (2016) dan dalam buku karya H.J De Graaf yang berjudul Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (2002), Tumenggung Mangun Oneng menjadi pemimpin dalam peristiwa penaklukan Kadipaten Surabaya pada tahun 1620-1625.

Ilustrasi lukisan mengenai suasana lingkungan Keraton Mataram Islam | akarasa.com
Ilustrasi lukisan mengenai suasana lingkungan Keraton Mataram Islam | akarasa.com

Mojokerto pada saat itu adalah wilayah paling dekat dengan Kadipaten Surabaya dan berfungsi sebagai daerah pangan. Dikuasainya Mojokerto oleh Mataram dimanfaatkan dengan merusak lahan persawahan milik warga untuk memutus rantai logistik dan mendesak penduduk Kota Surabaya agar menyerah dan mengakui kedigdayaan Mataram.

Jaraknya yang dekat dengan Kadipaten Surabaya menjadikan Mojokerto sebagai tempat yang strategis untuk mendirikan pusat komando dan perkemahan pasukan Mataram. Tumenggung Mangun Oneng kemudian mendapatkan ide untuk membangun sebuah bendungan yang kelak dinamakan dengan ‘bendungan Jepara’ untuk menyumbat aliran air dari Sungai Brantas menuju Sungai Mas Surabaya (Graaf, 2002).

Bendungan ini dibuat karena Mataram perlu mencari cara lain yang lebih efektif dan jauh lebih merusak pertahanan Surabaya tanpa harus mengerahkan pasukan seperti perang terdahulu yang sering diwarnai dengan kekalahan. Menurut Rickfles (2008), pertahanan militer Surabaya di dukung oleh kekuatan meriam dan dikelilingi parit. Hal inilah yang menyebabkan kenapa pasukan Mataram selalu kalah dan perlu mencari cara lain.

Strategi ‘bendungan Jepara’ yang diusulkan oleh Tumenggung Mangun Oneng terbuat dari potongan kelapa dan bambu yang ditumpuk bersusun dari dasar hingga ke permukaan sungai. Saat air sungai sudah tersumbat, pasukan Mataram kemudian memasukan bangkai hewan yang dapat menyebabkan bau busuk dan penyakit seperti diare serta mengikatkan buah aren pada batang pohon bambu yang dapat mengakibatkan penyakit gatal-gatal.

Tercemarnya Sungai Mas oleh ‘senjata biologis’ sang Sultan lewat taktik Tumenggung Mangun Oneng semakin memperparah keadaan masyarakat Kota Surabaya yang sebelumnya sudah dilanda wabah kelaparan karena dikuasainya jalur logistik Sukadana dan Madura oleh Mataram. Sungai yang sudah tercemar kemudian menimbulkan wabah penyakit, seperti diare, disentri, batuk dan penyakit lainnya.

Taktik ini pada akhirnya membuahkan hasil. Keadaan kondisi masyarakat Surabaya yang semakin sengsara membuat penguasa Kadipaten Surabaya, Pangeran Jayalengkra mengutus Pangeran Pekik, putra mahkotanya untuk menemui Tumenggung Mangun Oneng dan menyatakan kekalahannya atas Kerajaan Mataram Islam pada tahun 1625.  Dikuasainya Kadipaten Surabaya resmi membuat Mataram semakin memiliki kedigdayaannya di bagian timur Pulau Jawa.

‘Senjata biologis’ milik Sultan Agung setidaknya dapat menyadarkan kita, bahwa perang dan penderitan memang membawa sejarah luka yang mendalam. Tetapi, tanpa adanya perang dengan senjata biologis di masa lampau, mungkin tidak akan ada aturan perang yang mengatur penggunaan senjata biologis dan ini jelas berbahaya bagi peradaban manusia. Cukup senjata biologis Sultan Agung saja yang membuat penderitaan perang di masa lampau, jangan ada lagi senjata biologis dalam perang, karena berdamai dan bersahabat itu lebih indah, percayalah.

Daftar Pustaka:
Rickfles. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta. PT Serambi Ilmu Semesta.

Graaf. 2002. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.

Achmad. 2018. Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan Di Nusantara.Yogyakarta. Araska

Mulder. 2001. Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia. Yogyakarta. LKIS

Olthof. 2016. Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam Sampai Pangeran Purbaya. Yogyakarta. Narasi

Purwadi & Kazunori. 2007. Babad Tanah Jawi Sejarah Asal Mula Raja-Raja Jawa. Yogyakarta. Gelombang Pasang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun