Kekuatan yang begitu besar dan makin meluas dari Kadipaten Surabaya tentu saja membuat gerah para penguasa Mataram Islam. Dalam buku Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan Di Nusantara karya Sri Wintala Achmad (2018), mengisahkan bahwa Kerajaan Mataram Islam sudah berusaha menyerang Kadipaten Surabaya sejak tahun 1601 atau sejak era pemerintahan Panembahan Senopati.
Dikutip dari portal media online Historia.id (10/7/2019), Sejarawan Universitas Gadjah Mada. Dr. Sri Margana, menjelaskan, alasan kenapa penguasa Mataran Islam sejak lama begitu ambisius untuk menaklukan Kadipaten Surabaya adalah karena alasan legitimasi kekuasaan religius. Dalam pernyataannya, Margana menyebutkan bahwa para penguasa Surabaya adalah keturunan para wali, sementara Mataram adalah keturunan petani.
Legitimasi kuasa berdasarkan tahkta suci agama menjadi penting pada periode saat itu, karena masyarakat Jawa masih memegang teguh kepercayaan bahwa pemimpin atau raja adalah pusat semesta (kosmis) yang mengatur antara alam dengan manusia. Hal ini kemudian menciptakan perspektif bahwa raja adalah keturunan dari nabi dan dewa, sehingga mereka berhak untuk memerintah dan berkuasa.
Masyarakat Jawa pada saat itu yang sudah memeluk agama Islam, secara berbarengan juga masih menjalankan tradisi Kejawen. Kaum Abangan adalah sebutan bagi mereka yang sudah menganut agama Islam, namun masih menjalankan agama budaya mereka, Kejawen. Kejawen menjadi suatu kepercayaan yang dipegang teguh.
Karena saat itu masyarakat Jawa masih dipengaruhi oleh doktrin dan praktik kepercayaan dari Hindu-Budha mengenai animisme. Hal ini kemudian menciptakan suatu perspektif religius yang kental dengan kosmologi, mitologi dan seperangkat konsepsi mistis, seperti pengagungan terhadap jiwa-jiwa yang sakti, penghormatan kepada arwah dan tempat yang di keramatkan (Mulder, 2001).
Atas alasan spiritual dan kepercayaan yang berkembang itulah yang membuat penguasa Mataram Islam rela melakukan cara apapun agar dapat menaklukan Kadipaten Surabaya sebagaian bagian dari misi untuk mengusai Pulau Jawa raya. Perjuangan untuk menaklukan Surabaya berlanjut hingga era pengangkatan dan pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1613.
Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, taktik perang untuk merebut Kadipaten Surabaya mengalami perubahan. Alih-alih mengikuti taktik perang para pendahulunya dengan menyerang langsung, Sultan Agung lebih memilih untuk menyerang wilayah kantung yang penting bagi Kadipaten Surabaya. Aksi militer perdana Sultan Agung untuk menyerbu Kadipaten Surabaya pada tahun 1613, dilaksanakan oleh Tumenggung Surantani dan Tumengung Alap-Alap.
Menurut Babad Tanah Jawi Sejarah Asal Mula Raja-Raja Jawa karya Purwadi & Kazunori (2007), dalam aksi perdana, Tumenggung Surantani tewas ditangan Raden Panji Pulangjiwa dari Madura (menantu Rangga Tohwijaya, Bupati Malang) dalam perang Sungai Andaka (sekarang Sungai Brantas). Namun, Tumenggung Alap-Alap dapat mengalahkan dan membalaskan dendamnya kepada Raden Panji Pulangjiwa dengan ‘perangkap’ yang sudah disiapkan.
Aksi militer perdana yang diutus oleh Sultan Agung dengan menyarang Malang dan Lumanjang, menciptakan eskalasi perang dan penaklukan yang lebih besar terhadap wilayah-wilayah kantung lain yang dikuasai Kadipaten Surabaya, seperti Wirasaba, Lasem, Mojokerto, Tuban, Pasuruhan dan wilayah kantung penting lainnya.
Perang melawan Kadipaten Surabaya hampir mencapai puncaknya ketika Pulau Madura dan Sukadana (Kalimantan) berhasil ditaklukan oleh sang Sultan dengan mengirim Tumenggung Bahureksa (Bupati Kendal) untuk menaklukan Sukadana dan Ki Juru Kiting untuk menaklukan Pulau Madura (Achmad, 2018).
Kedua wilayah ini adalah bagian penting karena menyokong kekuatan militer dan logistik pangan yang selalu siap sedia membantu pertahanan dan perbekalan bagi Kadipaten Surabaya jika diserang oleh pihak lawan. Dengan jatuhnya Pulau Madura dan Sukadana, praktis posisi kekuatan Kadipaten Surabaya juga berangsur-angsur lemah. Hal lain yang juga menguntungkan bagi Mataram adalah dikuasainya Mojokerto.