Perempuan bermata ranum nan tajam itu sungguh menggariskan padanya suatu rasa yang cukup rumit untuk disikapi, sampai-sampai baginya tidur seakan menjadi pantangan yang asyik tapi haram. Rasa itu menisbatkan padanya banyak hal aneh yang tak masuk akal tapi benar-benar ada dan dengan kemauan yang enggan, ia menerimanya. Cik cik. Mengapa kau enggan tidur? Bukankah besok kau harus ke kampus ya? Â Ujar cicak di sebelah sudut tembuk bagian kanan dari pintun masuk. Mengapa kau mengagakan saya kalau pada akhirnya kau malah pergi menggauli segala andaikatamu yang ekpansif itu?Â
Teriak buku di atas mejanya yang setelah dibuka, malah dibuatnya menjadi nganggur. Percuma saya buka mata lebar-lebar kalau kau hanya pake untuk menghayal. Pinta bolham yang menggantung nganga di atas langit kamar bagai pelir anjing. Jika hidupmu hanya pada seputaran andaikata-andai kata itu, tolonglah jangan tindis aku. Aku empuk kok tidak pernah satu malampun kau tiduri saya? kamu jahat abang. Â Â
 Sepanjang malam-malamnya setelah mengenal perempuan itu, dikepalanya beranakkan percakapan-percakapan konyol. Ah cicak, meja, Kasur, bolham lampu kamu kok ada di kepala saya? kenapa kamu malah kontra dengan saya? kalau kalian masih terus ributkan pergaulan saya dengan andaikata say aini, saya buang kalian. Bukankah kalian milik saya? tapi saya butuh mereka juga. Tampak jelas propaganda antara kepala dan hati menjadikannya semakin ke sana semakin tak terkendali dan tak masuk akal. Ia seringkali bercerita pada Baginda perihal semua ini tetapi memperoleh jawaban yang sama saja dan justru membuatnya muak.
Baginda. Kau tau tidak kalau saya suka Hana perempuan yang di Latihan itu?Â
Ya. Ya saya tau. Itu anak satu-satunya pak Apolinaris dan tanta Makdalena.
Kau kenal orang tuanya ya? Kenalkan saya pada mereka ya Ginda.
Kau sudah pacaran sama Hana?Â
Belum.Â
Lah terus?
Ya saya suka saja sama dia.
Kalau kau suka sama dia, pergi dan ungkapkan saja. Jangan  bermain manufer seperti  ini.