Dampak pandemi Covid-91 tak berhenti  sampai kini. Saat-saat ini, dunia sekolah diguncang pandemi teknologi. Teknologi berbasis internet berkelindan dengan kapitalisasi kemudian muncul secara marak berbentuk gawai dan aplikasi (Google, Zoom, Skype, dll) yang membutuhkan sumber daya akses internet.Â
Sekolah yang selama ini dibuat ngeri harus mulai merangkul gawai dan teknologi ini agar berarti. Gagapnya sekolah, sejatinya telah diakui. Benarkah sekolah akan mati, karena teknologi atau aplikasi akan menggeser pedagogi?
Apa yang terjadi belakangan ini dengan pandemi membuat dunia sekolah yang mendidik generasi negeri memikul tanggung jawab lebih tinggi. Situasi seolah memaksa guru "berganti profesi".Â
Guru yang biasanya lantang berteriak dan lincah menari  di kelas harus berinovasi menggunakan teknologi dan gawai berbasis internet. Apa yang terjadi seperti menjadi gelombang revolusi 4.0 yang nyata bagi para guru yang memberi efek kejut dalam cara guru mendidik dan mengajar murid.
Perubahan ini pasti membutuhkan waktu. Sayangnya, kesabaran tak lagi menjadi keutamaan dalam fenomena ini. Masyakarat menuntut sekolah dan guru segera mengubah diri. Tak ayal lagi, pasti banyak hal masih menjadi mimpi jika ingin mendapat hasil dini, tanpa mau bersinergi.
Hasil survei KPAI, seperti dilansir oleh Komisioner KPAI Retno Listyarti, menyebut bahwa sebanyak 76,7 persen siswa menyatakan tidak senang (tidak bahagia) mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi wabah Covid-19 ini. Â Sedangkan 23,3 persen sisanya, menganggap PJJ mengesankan. (Kompas, 27/4/2020)
Kondisi ini bisa dipahami mengingat infrastruktur penunjang  pembelajaran jarak jauh masih belum memadai. Beragam faktor dan kendala bisa ditelusuri menjadi penyebab, misalnya: rendahnya tingkat penetrasi internet di Indonesia  (sebesar 51,91 persen dan 78,08 persen di kota), guru kurang literat terhadap pemanfaatan teknologi pembelajaraan dan informasi, kurikulum tidak ramah teknologi.
Gagalnya kurikulum 2013 memasukkan teknologi dalam bidang studi juga berkontribusi maka saatnya kini harus dievaluasi. Situasi itu diperparah oleh kurikulum sekolah yang memang didesain untuk situasi dan kelas tatap muka (face to face) tanpa emergency.Â
Untunglah, Mas menteri pendidikan menyadari dan tak lagi mengusik perlunya kurikulum baru sebagai harga mati. Sikapnya sungguh patut diapresiasi, karena ia lebih empati pada kesehatan mental siswa, guru, dan orangtua akibat situasi yang terjadi saat ini (Media Indonesia, 8/5/2020).
Teknologi itu instrumen
Dalam dua dekade terakhir, sebuah kerangka berpikir untuk menera pembelajaran yang efektif, menurut McTighe dan Wiggin (2005), nampak dalam tiga elemen dasar, yakni: tujuan belajar (goal of learning), bukti belajar (evidence of learning), dan strategi pembelajaran (strategy of learning) yang digunakan.
Ketiga elemen tersebut saling terkait satu sama lain. Seorang guru biasanya memahami dengan baik tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan mengerti persis apa yang harus dilakukan atau ditunjukkan muridnya sebagai bukti ketercapaian pembelajaran. Jika keduanya disepakati (agree-upon), barulah mereka memilih cara dan strategi untuk mencapai semuanya. Â Â Â Â Â Â
Lalu di mana peran teknologi? Teknologi dan gawai berbasis internet diperlukan guru untuk mengoptimalkan cara atau strategi pembelajar. Peran itu antara lain searching materi belajar (konten), delivery materi ajar (menerangkan, membuat simulasi/ contoh/ model dll), asesmen belajar (tes maupun non tes).
Jelaslah bahwa teknologi hanyalah sebuah instrumentasi dari pembelajaran itu sendiri. Teknologi bisa diganti, karena ia bukan harga mati. Kreativitas dan inovasi guru akhirnya yang menentukan. Guru sebaiknya tidak lagi terpaku diri mengacaukan instrumen dengan yang lebih esensi yakni pembelajaran itu sendiri.
Apa yang esensi dalam pembelajaran daripada pedagogi? Masalahnya, apakah guru senantiasa berinovasi dalam pedagogi melampaui teknologi? Guru dengan keterbatasan dengan teknologi atau gawai dengan akses internet tidak boleh berhenti. Mereka dapat memanfaatkan alternatif lain, misalnya, memodifikasi tagihan belajar yang diharapkan dari para murid atau meminimalkan pemanfaatan teknologi daring melalui sinergi dengan stakeholders (murid atau orangtua).
Diferensiasi pedagogi
Masalah pembelajaran daring akan datang bertubi-tubi jika cara guru mengajar (the way of teaching) dan cara murid belajar (the way of learning) hanya mendalilkan pembelajaran  langsung (face to face) di kelas reguler.
Dalam konteks dan situasi pendidikan yang berbeda saat ini, selayaknya guru dapat menerapkan bentuk-bentuk inovasi pedagogi yang berbeda sesuai dengan konteks, situasi, dan keterbatasan untuk masing-masing kelompok siswa. Guru tidak harus senatiasa menggunakan teknologi berbasis aplikasi dan gawai pembelajaran daring berbasis internet jika situasinya tidak memungkinkan terjadi.
Hal ini juga sejalan dengan rekomendasi laporan OECD yang mendorong perlunya inovasi dan diferensiasi pedagogi, tidak sekedar pembelajaran berbasis ICT (information and communication technology).
Merujuk salah satu laporan OECD (2018), berjudul "Teachers as Designers of Learning Environments: the Importance of Innovative Pedagogies," yang sangat merekomendasi perlunya guru memiliki inovasi-inovasi pedagogi dalam pembelajaran di sekolah.
Keenam komponen inovasi pedagogi dimaksud adalah: (a) pembelajaran bauran (blended learning) yang merupakan gabungan antara pembelajaran tatap muka (face-to-face) dan daring (online), (b) pedagogi permainan (gaming pedagogy), (c) pembelajaran ekperimen, (d) ICT sebagai platform pembelajaran, (e) pembelajaran yang memadukan unsur intelektual, kinestetik, dan sosial, dan (f) multi literasi dan pembelajaran berbasis diskusi dan kolaborasi.
Itu artinya, untuk daerah yang memiliki penetrasi akses internet rendah maka pedagogi permainan, kolaborasi, kreasi, Â keterampilan sosial bersama keluarga misalnya, dapat menjadi pilihan. Lalu, guru meminta siswa menuliskan refleksi pengalaman belajarnya serta nilai-nilai yang diperoleh pengalaman bermain dan berinteraksi sosial itu. Merefleksi (pemaknaan) merupakan bagian penting dalam pembelajaran tingkat tinggi.
Sebaliknya, untuk sekolah-sekolah di daerah dengan akses penetrasi internet yang tinggi dapat melakukan pembelajaran bauran, mengoptimalkan ICT dengan memberikan keleluasaan siswa mengeksplorasi materi dan melakukan diskusi dalam interaksi pembelajaran virtual  bersama teman,  orangtua, dan guru daringnya.
Maka dalam keterbatasan, guru tetap dapat mendampingi pekembangan pengetahuan (head), keterampilan (hand), dan sikap/ nilai (heart) secara kreatif, kontekstual, dan berkesinambungan.
Keterbatasan memberikan ruang dan peluang siswa bereksperimentasi dan berelasi dalam interaksi humanistik secara langsung akan membuat pembelajaran mudah jatuh dalam relasi yang kaku, hanya fokus pada materi, jauh dari penanaman nilai dan kebermaknaan belajar.
Jika hasil survei tingkat kebahagiaan siswa di atas menggambarkan puncak gunung es situasi psikologis dan relasi pembelajaran  di kelas  reguler (tatap muka) tentu sesuatu yang memprihatinkan.
Sebaliknya, jika ketidakbahagian siswa dijadikan ukuran pembelajaran daring maka sesungguhnya ada suatu kerinduan positif para siswa untuk secepatnya kembali ke sekolah, bertemu teman-temannya, dan belajar secara normal seperti sedia kala. Energi ini mestinya dapat ditangkap orangtua dan guru agar siswa dengan sadar taat dengan aturan dan kebijakan pemerintah selama masa pandemic Covid-19.
Sebuah medan yang indah di mana siswa dapat menghidupi nilai dan keutamaan secara konkrit yang mungkin tak tersapa dalam pembelajaran tatap muka namun bersemi di masa karantina.
Guru dan orangtua dapat mengisi hari-hari dengan pembelajaran yang lebih mengolah hati dan nilai-nilai humanistik, mengasah  sikap kritis dan peduli, membangun sikap respek dan peduli pada sesama anggota keluarga.  Itu semua justru menguatkan asumsi bahwa intended (direncanakan) dan unintended (tidak direncanakan) selalu terjadi dalam implementasi kurikulum di sekolah.
 Semua itu adalah soal pedagogi, yakni seni cara mendidik dan menemani anak-anak yang lebih menyentuh hati. Guru yang memiliki kemampuan abstraksi dan komitmen memadai selalu menemukan cara untuk terus mendampingi dan membagikan apa yang dihidupi dengan hati dan akal budi. Mungkin, apa yang dilakukan guru saat ini tidak berjalan maksimal mengingat pola rancang pembelajaran bersifat langsung (face to face).
 Meski begitu, guru masih punya ruang untuk berkreasi dan berimaginasi dengan membawa praktik pembelajaran menyentuh ranah sosial, emosional, kolaborasi, komunikasi, imaginasi, dan kreasi. Dalam domain deperti itu, teknologi bukanlah harga mati yang harus dipenuhi. Dengan sedikit kemauan dan kreasi bisa jadi menggarap domain-domain itu akan memberikan dampak pengiring (nurturant effect) hasil belajar melebihi ekspektasi yang dibayangkan guru itu sendiri.
 Akhirnya, kreasi dan inovasi guru adalah kunci. Masyarakat boleh latah menuntut guru menguasai teknologi atau aplikasi berbasis internet demi pandemi teknologi segera teratasi.  Bisa jadi. Yang pasti, teknologi dan aplikasi hanyalah salah satu instrumen dalam strategi; dan karenanya ia tak akan pernah menggantikan pedagogi guru yang selama ini justru dianggap lemah dan tak mengalami inovasi dalam mendidik anak-anak negeri. ooo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H