Maka dalam keterbatasan, guru tetap dapat mendampingi pekembangan pengetahuan (head), keterampilan (hand), dan sikap/ nilai (heart) secara kreatif, kontekstual, dan berkesinambungan.
Keterbatasan memberikan ruang dan peluang siswa bereksperimentasi dan berelasi dalam interaksi humanistik secara langsung akan membuat pembelajaran mudah jatuh dalam relasi yang kaku, hanya fokus pada materi, jauh dari penanaman nilai dan kebermaknaan belajar.
Jika hasil survei tingkat kebahagiaan siswa di atas menggambarkan puncak gunung es situasi psikologis dan relasi pembelajaran  di kelas  reguler (tatap muka) tentu sesuatu yang memprihatinkan.
Sebaliknya, jika ketidakbahagian siswa dijadikan ukuran pembelajaran daring maka sesungguhnya ada suatu kerinduan positif para siswa untuk secepatnya kembali ke sekolah, bertemu teman-temannya, dan belajar secara normal seperti sedia kala. Energi ini mestinya dapat ditangkap orangtua dan guru agar siswa dengan sadar taat dengan aturan dan kebijakan pemerintah selama masa pandemic Covid-19.
Sebuah medan yang indah di mana siswa dapat menghidupi nilai dan keutamaan secara konkrit yang mungkin tak tersapa dalam pembelajaran tatap muka namun bersemi di masa karantina.
Guru dan orangtua dapat mengisi hari-hari dengan pembelajaran yang lebih mengolah hati dan nilai-nilai humanistik, mengasah  sikap kritis dan peduli, membangun sikap respek dan peduli pada sesama anggota keluarga.  Itu semua justru menguatkan asumsi bahwa intended (direncanakan) dan unintended (tidak direncanakan) selalu terjadi dalam implementasi kurikulum di sekolah.
 Semua itu adalah soal pedagogi, yakni seni cara mendidik dan menemani anak-anak yang lebih menyentuh hati. Guru yang memiliki kemampuan abstraksi dan komitmen memadai selalu menemukan cara untuk terus mendampingi dan membagikan apa yang dihidupi dengan hati dan akal budi. Mungkin, apa yang dilakukan guru saat ini tidak berjalan maksimal mengingat pola rancang pembelajaran bersifat langsung (face to face).
 Meski begitu, guru masih punya ruang untuk berkreasi dan berimaginasi dengan membawa praktik pembelajaran menyentuh ranah sosial, emosional, kolaborasi, komunikasi, imaginasi, dan kreasi. Dalam domain deperti itu, teknologi bukanlah harga mati yang harus dipenuhi. Dengan sedikit kemauan dan kreasi bisa jadi menggarap domain-domain itu akan memberikan dampak pengiring (nurturant effect) hasil belajar melebihi ekspektasi yang dibayangkan guru itu sendiri.
 Akhirnya, kreasi dan inovasi guru adalah kunci. Masyarakat boleh latah menuntut guru menguasai teknologi atau aplikasi berbasis internet demi pandemi teknologi segera teratasi.  Bisa jadi. Yang pasti, teknologi dan aplikasi hanyalah salah satu instrumen dalam strategi; dan karenanya ia tak akan pernah menggantikan pedagogi guru yang selama ini justru dianggap lemah dan tak mengalami inovasi dalam mendidik anak-anak negeri. ooo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H