Mohon tunggu...
thomas wibowo
thomas wibowo Mohon Tunggu... Guru - pedagog

praktisi pendidikan di kolese kanisius jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menang atau Kalah, Seberapa Bernilai?

24 April 2020   14:19 Diperbarui: 24 April 2020   14:37 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Koleksi Pribadi

Dalam suatu kesempatan menghadiri tabhisan seorang rahib keagamaan, saya dibuat terkesima sejenak. Awalnya, tatkala seorang calon calon rahib keagamaan itu bertutur  bagaimana dirinya menapaki jalan panggilannya. Ceritanya yang lugu, sungguh interesan dan menarik hati saya.

Singkat cerita demikian. Ia, sang calon rahib itu, adalah seorang anak yang dibesarkan dari keluarga yang hebat dan terpandang. Setidaknya, menurut ukuran situasi dan strata sosial masyarakat waktu itu. Sebagai anak yang dibesarkan dari keluarga dengan bibit, bobot, dan bebet teruji, ia berpandangan bahwa sudah seharusnya ia bercita-cita tinggi dan menjadi orang hebat pula. Apa yang diidamkan dan dicita-citakan harus menjadi kenyataan.

Dalam kamus hidupnya, tidak ada kata "kalah". Juara di kelas sudah biasa diraihnya. Pergaulannya luas dan disegani. Dia harus menjadi pemenang. "Kalau ia menjadi pemenang maka hidupnya akan senang dan bahagia," pikirnya. Hanya pencundang yang (mau) kalah. Nafsu dan gairah mengalahkan orang lain seolah hanya menjadikannya pribadi ambius, pongah, sombong, dan tidak peduli dengan orang lain.

Selalu menang, sejak kecil hingga dewasa, tidak membuat dirinya semakin bijak. Pengalaman menjadi pemenang rupanya juga tidak memuaskan dirinya. Dia merasa hampa, hatinya kering, dan dahaga tak ada habisnya. Hatinya gelisah - meronta dan selalu bertanya, "kalau aku selalu menang dan jagoan, mengapa diriku merasa sepi dan sendiri?" sebuah gerakan batin mengguncang hatinya.

Guncangan batin itu membawa buah pertobatan. Kemenangan yang selalu diimpikan berubah arah. Bukan lagi perang untuk mengalahkan lawan atau orang lain. Dirinya, itulah sekarang yang ingin dikalahkannya.

Saat ini dia bahagia. Dia telah mengalahkan diri bagi orang lain. Membiarkan dirinya sendiri kalah dan menerima Tuhan yang menundukkan hatinya adalah kemenangan sejati yang dirindukan.

Bermata dua

Dari jaman adam-hawa, menang atau kalah selalu ada. Jaman ini, tak kalah gila. Harta, tahta, dan kuasa telah menjadi bahasa simbolik sosial ukuran kemenangan. Kalah adalah aib. Benarkah demikian yang sebenarnya?

Sejak kecil manusia sejatinya telah belajar bahasa "kalah" dan "menang". Rupanya berbeda meski esensinya sama. Tengoklah masa kecil kita. Banyak anak kecewa dan putus asa karena kekalahan. Hidupnya seolah tak berharga, kehilangan keyakinan dan harapan.

Pengalaman kalah dialami seorang anak  dialami sejak mereka masih kecil. Masih ingatkah tatkala kita belajar merangkak dan berjalan? Anak yang terjatuh saat berjalan biasanya menangis. Mungkin dia merasa kalah, gagal berjalan menapaki masa depan di tanah lapang.

Namun demikian, biasanya belajar tak mengenal titik terminal. Uluran tangan orang dewasa (guru, sahabat, kenalan, teman matau lawan) menolongnya bangkit dan kembali berjalan. Demikian, pengalaman itu akan berulang dan setiap anak menerima uluran tangan orang dewasa, merekan akan tersenyum sebegitu rupa. Senyuman yang keluar dari hati yang tidak bisa diterjemahkan oleh kelu lidah yang tak bisa mengeja.

Sekalipun demikian, pengalaman kalah karena jatuh selalu memberi sisi kemenangan. Senyuman yang menghiasi raut adalah pertanda kepuasan. "Saya bisa berdiri dan melangkah lagi," mungkin itu yang akan tereja dari mungil bibirnya.

Itulah mengapa, acapkali orangtua membiarkan anaknya tersungkur jatuh dan membiarkannya meronta mencari uluran tangan yang tidak segera tersedia. Waktu membuatnya duduk ragu dan termangu mesti melakukan apa. Maka, meski terbata anak itu bangkit juga. Dia menyaksikan bahwa meski tak ada uluran asa toh orangtuanya tetap ada di sana.

Pengalaman "jatuh" dan "bangkit", menang dan kalah rupanya menjadi hal biasa. Itulah hidup. Menjelaskan hidup sekaligus mengenalkan kematian. Memaparkan menang-kalah atau jatuh-bangkit adalah tidakan bermata dua. Kita tidak bisa membuatnya bebas nilai. Memilih salah satunya justru menunjukkan bahwa orang dewasa itu sedang menihilkan nilai dalam pendidikan anak-anaknya.

Tindakan itu nyata dan gamblang di sekitar kita. Setiap hari nampak lalu lalang di depan mata. Anak-anak "dipaksa" menjadi pemenang, harus unggul dan juara dalam beragam rupa: kursus ini dan itu, karate dan sempoa, matematika dan seni suara, berenang dan bahasa, dan lain sebagainya. Nampak luar biasa, orangtua sungguh menyiapkan "tahta" agar anaknya tidak menderita, mungkin, seperti mereka orangtuanya. Jangan sampai tetes air mata menghiasi hidup anaknya.

Sayangnya, keterampilan hidup dapat diteguk dalam beragam rupa, juga tetes air mata. Air mata atau kegagalan yang menyapa pengalaman anak-anak agar jernihlah akal budi dan hatinya. Sayangnya, mala petaka dan kesialan yang lebih dirasa. Padahal, begitulah rasanya pengalaman "gagal" dan airmata tetapi dengannya membasuh luka, memurnikan langkah serta tugas perkembangan belajarnya sebagai manusia.

Pengalaman gagal atau kalah sesungguhnya membuat manusia lebih empati. Lebih berani memikul resiko dan tak mudah lari dari tanggung jawab. Kepada siapa? Pada dirinya sendiri dan komunitas sosialnya. Pada rekan dan lawannya. Pada yang sejenis dan lawan jenisnya. Pada yang sewarna dan sesuku.

Pengalaman itu juga mengajarkan sikap solider, soliter, dan tidak memonopoli kebenaran. Kaumku bukanlah kaummu, aliranku beda dengan mazabmu. Kamu putih dan aku coklat. Kamu jawa dan aku tionghua. Semua itu hanyalah kosa kata dan buah-buah kepicikan atas pendidikan yang membabi buta. Sayangnya kita, orang dewasa, menjadi arsitektur tanpa rasa pada generasi muda yang sesungguhnya terkadang basa-basi dan kiasan kata kita yang tidak bermakna.

Membadankan

Karena hidup bukanlah resep masakan, maka tak ada resep dan menu cepat saji yang bisa dibeli untuk menjadi nutrisi dan solusi.

Pengalaman hanya bermakna manakala indera kita mencecap dan merasakannya dengan kemendalaman. Semakin anak dimasukkan dalam lingkungan bebas nilai dan dijauhkan dari resiko sekecil apapun, maka orangtua sedang merancang kegagalan untuk anaknya.

Banyak orangtua merasa dengan memproteksi anak secara luar biasa, dia sedang memberikan cinta kasih tanpa batas bagi anaknya. Benarkah? Tentu saja tidak demikian.  Yang dilakukan orangtua itu sesungguhnya sedang mencabut "kekuatan" hakiki anak itu menghadapi keterasingan hidupnya sendiri. Jika itu yang terjadi, benarlah adagium yang mengatakan "orangtua masa kini sedang membunuh pelan-pelan imunitas individu dan sosial si anak."

Anak-anak memiliki tugas perkembangan sendiri. Dia perlu belajar mulai dari yang sensori motorik sampai operasional formal. Jika mereka sedang bermain dalam tataran operasional konkrit biarlah menikmatinya dalam kegembiraan sosial bersama rekan sesamanya.

Lumpur di sawah akan mengotori bajunya, tapi dengan ada dan bermain di sana bisa pula membuatnya serasa sejiwa dengan bumi rahim kehidupannya. Maka, jangan dicabut benih kehidupan mereka hanya demi memenuhi dahaga aktualisasi diri (self-actualization) dan  prestasi atau pengakuan sosial (esteem needs) orangtuanya.

Juga pengalaman di sekolah. Dalam entitasnya, sekolah kiranya merupakan miniatur konstruksi sosial masyarakat di manapun berada. Baik dan buruknya kualitas sekolah atau praksis pendidikannya menjadi ukuran maju mundurnya tatanan sosial yang ada masyarakat. Demikian juga sebaliknya. Keduanya saling melengkapi, menuntun, dan mengontrol.

Maka ada yang ganjil, jika pendidikan nilai di sekolah berjalan prematur hanya karena politisasi yang tak perlu. Padahal pendidikan nilai bukan sekedar urusan administrasi. Kalau hanya itu yang terjadi institusi ini mulai kehilangan arti. Itulah mengapa saatnya sekolah harus mandiri. Sekolah saatnya memiliki otonomi dan penuh kreasi menjadi laboratorium penanaman nilai bagi para insan yang merindukan kebeningan budi dan hati.  Tidak lagi mudah jatuh dalam bentuk-bentuk transaksi menang kalah dan jual diri. Kita rindu, sekolah hadir kembali menjadi asa di tengah masyarakat yang mulai kehilangan visi dan jati diri.

Janganlah sekolah jatuh kembali dalam  soal menang-kalah dengan penuh percaya diri. Padahal sejatinya kita salah memberi arti. Saat yang baik mengisi hari sambil merenungkan ada apa di balik pandemi ini. Selamat berpuasa dan bermati raga sahabat insani anak negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun