Anak-anak memiliki tugas perkembangan sendiri. Dia perlu belajar mulai dari yang sensori motorik sampai operasional formal. Jika mereka sedang bermain dalam tataran operasional konkrit biarlah menikmatinya dalam kegembiraan sosial bersama rekan sesamanya.
Lumpur di sawah akan mengotori bajunya, tapi dengan ada dan bermain di sana bisa pula membuatnya serasa sejiwa dengan bumi rahim kehidupannya. Maka, jangan dicabut benih kehidupan mereka hanya demi memenuhi dahaga aktualisasi diri (self-actualization) dan  prestasi atau pengakuan sosial (esteem needs) orangtuanya.
Juga pengalaman di sekolah. Dalam entitasnya, sekolah kiranya merupakan miniatur konstruksi sosial masyarakat di manapun berada. Baik dan buruknya kualitas sekolah atau praksis pendidikannya menjadi ukuran maju mundurnya tatanan sosial yang ada masyarakat. Demikian juga sebaliknya. Keduanya saling melengkapi, menuntun, dan mengontrol.
Maka ada yang ganjil, jika pendidikan nilai di sekolah berjalan prematur hanya karena politisasi yang tak perlu. Padahal pendidikan nilai bukan sekedar urusan administrasi. Kalau hanya itu yang terjadi institusi ini mulai kehilangan arti. Itulah mengapa saatnya sekolah harus mandiri. Sekolah saatnya memiliki otonomi dan penuh kreasi menjadi laboratorium penanaman nilai bagi para insan yang merindukan kebeningan budi dan hati. Â Tidak lagi mudah jatuh dalam bentuk-bentuk transaksi menang kalah dan jual diri. Kita rindu, sekolah hadir kembali menjadi asa di tengah masyarakat yang mulai kehilangan visi dan jati diri.
Janganlah sekolah jatuh kembali dalam  soal menang-kalah dengan penuh percaya diri. Padahal sejatinya kita salah memberi arti. Saat yang baik mengisi hari sambil merenungkan ada apa di balik pandemi ini. Selamat berpuasa dan bermati raga sahabat insani anak negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H